Oleh Anton Muhajir
Blog, sebagai sebuah hal baru dalam perkembangan media massa, tidak mengambil peran media mainstream yang sudah ada. Media mainstream seharusnya bisa bersinergi dengan blog sebagai sebuah kekuatan baru. Tema ini mengemuka dalam diskusi bertema “New Media: Akhir Media Konvensional?” yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Sanur, Kamis (27/11).
Enda Nasution, yang dikenal sebagai blogger terkemuka Indonesia, mengatakan blog dan media mainstream bisa saling mengisi. “Blog tidak mengkanibal media mainstream tapi melengkapi,” kata Enda.
Menurut Enda, blog, media mainstream, dan publik berada pada blogosphere ecosystem yang sama. Blog, sebagai bagian dari social media, memegang posisi yang mewakili suara-suara personal. Blog bersama social media lain yang disediakan oleh teknologi informasi seperti email, instan messenger, microblogging, dan petisi online mengantarkan informasi dari sisi personal dengan gaya tutur subjektif.
“Kekuatan itu kemudian didukung oleh media mainstream yang menjembatani social media dengan publik,” kata Enda, yang di kalangan blogger disebut sebagai Bapak Blogger Indonesia.
Enda memberikan contoh kekuatan blog untuk mewakili kepentingan publik pada kasus tuntutan penyelamatan Situ Babakan di Bandung, Jawa Barat. Komunitas pecinta situ di jantung kota Bandung itu berusaha melawan usaha pemerintah yang akan mengganti situ dengan mall.
“Mereka kemudian membuat blog yang disebarluaskan melalui mailing list, Facebook, petisi online, dan social media lain agar situ tersebut tetap dipertahankan yang oleh media mainstream kemudian ditangkap sebagai sebuah isu. Jadi blog dan media mainstream justru bersinergi dalam masalah ini,” ujar Enda.
Menurut pemilik blog enda.goblogmedia.com tersebut saat ini memang terjadi pergeseran dari media konvensional ke apa yang disebut sebgai new media. Dalam new media yang berbasis pada Web 2.0 tersebut, konsumen media tak lagi hanya sekadar mengonsumsi media, tapi juga memproduksi media sendiri. Dari Consumerism ke Producerism. Maka muncul apa yang disebut sebagai prosumer, produser sekaligus konsumer media.
Hal ini bisa terjadi, lanjutnya, karena dalam new media produser tersebut bisa memotong cost of production dan cost of distribution.
Masalahnya, kata Enda, dengan kemudahan untuk memproduksi media tersebut maka ada konsekuensi rendahnya kualitas muatan dalam new media tersebut. “Karena new media cenderung bersifat tidak bisa dikontrol, sehingga tiap orang bisa memproduksinya,” tambah Enda.
Pertumbuhan blogger di Indonesia sendiri menurut Enda termasuk signifikan. Kalau tahun lalu ada sekitar 300.000 blog, tahun ini sudah ada sekitar 600.000 blog. “Tahun depan saya yakin akan lebih dari satu juta blog. Ini kekuatan yang luar biasa,” katanya.
Pesatnya pertumbuhan blog itulah yang bagi sebagian media mainstream memang jadi ancaman. Bill Gates misalnya pernah mengatakan bahwa kekuatan new media akan membuat media mainstream gulung tikar.
“Media cetak kemudian berpikir bagaimana caranya agar survive. Satu-satunya jalan adalah dengan beralih ke dot com,” kata Agung Adiprasetyo, CEO Kompas Gramedia Group, dalam diskusi yang sama.
Menurut Agung, tantangan new media itu yang membuat Kompas sebagai media terbesar di Indonesia juga ikut menggunakan teknologi informasi sebagai media untuk publikasi. Sejak tahun 2000, Kompas mulai aktif menggunakan Kompas Online, yang saat itu hanya versi online dari edisi cetak.
Dalam perkembangannya, saat ini Kompas.com bahkan menjadi media konvergensi yang mengawinkan berbagai teknologi dalam media seperti teks, foto, bahkan video. Bahkan ruang untuk komunitas, sesuatu yang menjadi modal utama new media, pun kini ada dalam Kompas.com.
“Dengan cara itu maka media mainstream akan tetap survive. Dia tidak akan mati,” kata Agung di depan sekitar 100 peserta seminar.
Seminar itu sendiri diadakan oleh AJI Indonesia dalam rangkaian Kongres AJI. Selain seminar, akan ada pembahasan tentang organisasi dan pengurus baru. Kongres akan diadakan sampai Sabtu nanti.[b]