
COVID-19 justru membuat warga lebih sadar menyimpan pangannya.
Berbeda dengan tahun 2019 dan sebelumnya, petani Kampung Papring Kalipuro, Banyuwangi, mulai menyiapkan cadangan pangan, untuk mengantisipasi terjadi kesulitan makanan akibat pandemi COVID-19. Sejak musim panen Maret- April 2020, mereka kembali menggunakan lumbung skala rumah tangga atau ‘jurung’ untuk menyimpan hasil panen jagung.
Sebagian lain tetap dijual, terutama yang tidak memiliki tanaman porang.
Hal ini tak lepas dari upaya pemuda Papring untuk mengembalikan kejayaan lumbung skala rumah tangga tersebut. Para pemuda berharap para petani tidak menjual semua hasil panen musim ini seperti jagung dan kacang tanah untuk cadangan makanan selama menghadapi wabah virus corona (COVID-19).
Sehingga, saat ini dari 69 kepala keluarga di kampung Papring, sudah ada 38 lebih jurung (lumbung) untuk menyimpan jagung milik warga aktif kembali untuk menyimpan. Kalau sebelumnya dijual, sekarang disimpan.
Perubahan pola simpan ini berbeda sebelum terjadi pandemi COVID-19, di mana seluruh hasil panen jagung dijual ke tengkulak. Sehingga petani akan kebingungan untuk bekal pangan dan saat musim tanam, karea harus membeli beras dan membeli bibit untuk masa tanam berikutnya.
Pada musim panen tahun ini, petani yang memanfaatkan lahan di areal KPH Banyuwangi utara masih berlangsung. Tidak hanya jagung, warga juga menyimpan sebagian hasil panen kacang tanah untuk cadangan bibit dan kebutuhan bumbu dapur hingga bahan membuat kue.
Rata-rata kalau kacang sebagian dijual, hanya menyisakan untuk kebutuhan bibit dan stok sajian menghadapi puasa Ramadhan dan lebaran. Jadi minimal tidak dijual semua, minimal masih menyisa untuk bibit musim tanam selanjutnya.
Proses penyimpanan pada Lumbung-lumbung pangan tersebut disimpan 2-3 meter di atas tungku memasak dengan cara ditimbun di atas papan kayu maupun bambu.
Jadi selaput jagungnya tetap tidak dikupas, tetap utuh langsung ditaruh di para para di atas tungku. Karena asapnya tungku memasak bisa mengawetkan jagung dan kacang itu.
Salah satu petani yang kembali mengaktifkan lumbung jagung adalah Asnoto. Hasil panen jagungnya kali ini 80 persen disimpan di lumbung, dan sisanya dijual.

“Untuk jagung yang dijual 80 persen, sisanya untuk persediaan pangan jangka pendek,” kata Asnoto yang juga ketua RT 03 RW. 02 Papring ini.
Alasan menyimpan hasil panen kali ini, menurut Asnoto, kembali bisa dirasakan karena tengkulak yang biasanya membeli semua hasil panen petani pada musim panen kali ini tidak datang. Masukan para pemuda agar kembali mengaktifkan lumbung akhirnya mendapatkan dukungan petani termasuk Asnoto.
Sisi positifnya, tengkulak kali ini tidak datang seperti tahun dulu. Mungkin pasar lagi jatuh terdampak wabah ini. Penyimpanan saat ini tidak hanya untuk bibit tapi juga bekal selama masa pandemik dan sampai masa tanam selanjutnya. Sehingga penyimpanan jagung menjadi alternatif warga.
Saat ini, kata Asnoto, harga jagung yang sudah dipisahkan dari batang buah Rp 5.000 per kilogram. Kemudian Rp 1.500 untuk jagung yang belum dipisahkan dari batang buah.
Abdul Hadi petani lain yang juga kembali mengaktifkan lumbung di rumahnya mengatakan, kebiasaan masyarakat mengonsumsi jagung saat ini sudah mulai tinggi. Hal ini seiring berkurangnya stigma makan nasi bercampur dengan jagung merupakan warga dari kalangan tidak mampu. Saat ini justru banyak orang dari luar kampungnya yang memesan nasi jagung.
Menurut Abdul Hadi, jagung dicampur nasi. Dulu tahun 1970-1980 an orang makan jagung imagenya orang miskin dan makan nasi putih identik orang mampu. Kalau sekarang, banyak orang mulai bangga makam nasi jagung. Karena orang yang datang dari luar kota rata-rata minta nasi jagung. Dari situ warga tidak lagi gengsi makan nasi jagung.
Satu jurung atau lumbung milik Hadi bisa menampung hingga 2.000 biji jagung. Warga tidak menggunakan satuan berat untuk mengukur kapasitas muatan di jurung.
Menariknya, saat menaikkan jagung ke atas jurung, ada tradisi unik yang masih dipertahankan yakni tidak boleh berbicara.
Filosofi tidak boleh ngomong karena lagi melakukan penyimpanan. Melakukan penyimpanan tidak boleh rame-rame agar hasil banyak atau sedikit tidak menimbulkan kecemburuan sosial.

Di sisi lain, keberadaan tanaman porang (Amorphophallus muelleri) yang mulai dibudidayakan sejak tahun 2015 oleh masyarakat Papring, cukup membantu menambah penghasilan selama musim pandemi COVID-19 ini. Dengan harga kisaran Rp 7.000 – Rp 8.000 per kg, saat ini warga lebih banyak memanfaatkan lahannya sendiri.
Namun, saat ini hasil panen baru bisa dijual dalam kondisi segar dikarenakan belum adanya alat olah (pengiris/pengering). Pengumpul selanjutnya menjual hasil kumpulan petani kepada pembeli dari pabrik. Umbi Porang ditanam dan tumbuh di awal musim penghujan dengan masa tumbuh sekitar empat hingga lima bulan. Bulan keenam sudah bisa dipanen.
Petani Porang, Suyono, mengatakan, bibit umbi Porang dijual dengan harga variatif, sekitar Rp 7.000 – Rp 7.500 perkilo, pengumpul ke pembeli dari pabrik sekitar Rp 8.000 – Rp 9.000. Sedangkan bibit yang berasal dari biji katak harga sekitar Rp 50.000 per kg.
Porang adalah tanaman yang toleran dengan naungan hingga 60 persen. Porang dapat tumbuh pada jenis tanah apa saja di ketinggian 0 sampai 700 mdpl. Bahkan, sifat tanaman tersebut dapat memungkinkan dibudidayakan di lahan hutan di bawah naungan tegakan tanaman lain.
Untuk bibitnya biasa digunakan dari potongan umbi batang maupun umbi yang telah memiliki titik tumbuh atau umbi katak (bubil) yang ditanam secara langsung.
Kalipuro memiliki kebun untuk tanaman palawija seluas 634 Ha dengan 80 persen ditanami Porang di antara tanaman lainnya, seperti kacang dan tanaman tahunan lainnya.
Kacang tanah bagi masyarakat Papring juga cukup membantu menanggulangi krisis pangan di masa pandemi COVID-19 , menjadikan tanaman kacang tanah sebagai upaya peningkatan ekonominya.
Sejak tahun 1990-an masyarakat Papring telah membudidayakan kacang tanah di sela-sela budidaya sayuran karena mampu mengembalikan kesuburan tanahnya. Pengikatan nitrogen oleh bintil akar kacang tanah dapat menambah ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam tanah. Maka tidak heran jika dilahan kebun warga banyak ditemui tanaman kacang tanah, baik dikebun sendiri maupun di lahan Perhutani.
Dengan kondisi tersebut, di mana hasil panen porang dan kacang bisa dijual bebas, warga dapat melakukan penyimpanan jagung di lumbung atau jurung sebagai persediaan pangan dan bibit, menjadi alasan kuat agar hasil panen tidak hilang dalam sekejap di tangan tengkulak.
Saat informasi wabah COVID-19 masuk di kampung Papring, warga langsung membuat ritual adat bersih desa pada awal April 2020. Ritual ini melibatkan 41 pemuda warga kampung dan tokoh masyarakat Papring. Dengan skema peserta ritual mengikuti protokol, yaitu berjarak 1 meter. Ritual ini menggunakan formasi 4 penjuru mata angin yang digelar di perempatan kampung.
Setelah ritual, kampanye penyimpanan hasil pertanian, seperti jagung, kacang, jahe, cabe dan tomat dilakukan lebih masif sebagai upaya antisipasi pangan bagi warga kampung Papring.
Salah satu upaya tersebut adalah mengembalikan tradisi adat “jurung” atau penyimpanan hasil pertanian di atas para-para dapur. Ini mulai diikuti oleh warga Papring.
Jumlah warga Papring sendiri ada 300 KK dan proses penyimpanan jagung di atas jurung dilakukan oleh warga sekitar 170 pemilik jurung dan yang aktif menyimpan sekitar 100 warga. [b]