Oleh Anton Muhajir
Dengan hati-hati Kadek Budi Juliantara, 13 tahun, membersihkan duri di pundak Kadek Anjasmara, 12 tahun. Menggunakan ujung peniti, Juliantara menusuk goresan-goresan luka di pundak temannya itu untuk mengambil sisa duri di bekas luka itu.
Dua remaja ini berpakaian adat. Berbeda dengan pakaian adat Bali pada umumnya yang menggunakan baju, pakaian adat di Tenganan tanpa baju. Dua remaja ini pun bertelanjang dada. Mereka hanya menggunakan sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat kepala (udeng) tanpa baju. Bersama teman-temannya, dua remaja ini sedang menunggu perang pandan dimulai.
Peran pandan adalah tradisi warga Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Karangasem tempat di mana dua murid SMP Negeri 1 Manggis ini tinggal. Sebagai warga Tenganan, Juliantara dan Anjasmara pun harus ikut kegiatan yang oleh warga setempat disebut mekare-kare ini. Ritual ini digelar tiap tahun di Desa Tenganan. Desa yang terletak di 70 km timur Denpasar ini masuk salah satu desa tua di bali, disebut bali aga, selain Trunyan di Kintamani, Bangli.
Kepercayaan warga Tenganan agak berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Umat Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi. Namun bagi warga Tenganan Dewa Indra adalah dewa dari segala dewa. Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan.
Karena memuja Dewa Indra sebagai dewa tertinggi, maka perang adalah sesuatu yang akrab bagi Tenganan. Bentuk desa ini dibuat seperti benteng. Struktur desa adalah jaga satru yang berarti waspada pada musuh. Hanya ada empat pintu utama (lawangan) untuk masuk desa ini sehingga memudahkan warga untuk tahu siapa saja yang datang. Lokasi desa yang dikelilingi bukit, menurut mantan Kepala Desa I Nyoman Sadra, adalah benteng itu sendiri.
Selain bentuk desa, ritual di desa ini pun akrab dengan simbol-simbol perang. “Bagi kami, perang adalah upacara untuk menghormati leluhur,” kata Sadra dalam sebuah obrolan dengan saya.
Perang yang digelar di Tenganan antara lain adalah mesabatan biu atau perang pisang yang digelar untuk menunjukkan kedewasaan. Perang pisang ini hanya diikuti oleh remaja. Ada pula perang lumpur yang tujuannya kurang lebih sama dengan perang pisang. Di antara perang-perang tersebut, perang pandan sudah kadung jadi yang paling terkenal.
Semula perang ini dilakukan tertutup dalam artian hanya untuk warga Tenganan. Perang ini memang bagian dari upacara besar yang disebut Usaba Sambah. Ketika pariwisata mulai masuk desa ini pada 1930an, perang pandan yang semula sakral pun jadi profan. Orang luar tak hanya boleh menonton, mereka pun boleh ikut bertarung.
Tahun ini perang pandan digelar pada 9-10 Juni. Ribuan penonton pun tumpek blek di desa ini. Menjelang masuk desa, mobil dan bis berjejer sepanjang jalan yang biasanya relatif sepi. Di dalam desa, saya bahkan sampai kesulitan mencari tempat parkir sepeda motor saking penuhnya. Padahal biasanya sepeda motor selain milik warga lokal tidak boleh masuk.
Selama perayaan perang pandan Tenganan pun mirip pasar malam. Di sekitar bale petemu, tempat perang digelar, banyak pedagang kaki lima. Penjual minuman, bakso, mainan, sampai bra pun berjejer di depan rumah warga. Pedagang musiman ini bersaing dengan warga setempat yang memang menjadikan rumahnya sebagai art shop untuk menjual aneka cindera mata khas Tenganan seperti kain tradisional gringsing, kalender, dan lukis telur.
Di antara para pedagang itu, ada pula para penjudi tradisional seperti bola adil. Judi memang sesuatu yang jadi parasit dalam setiap upacara besar di Bali. Dia selalu mendompleng ritual di Bali, termasuk di perang pandan ini. Ironisnya, pemain judi ini justru sebagian besar anak-anak. Jadi sekalian main judi, mereka juga menonton perang pandan.
Tiap laki-laki di desa ini wajib ikut perang pandan ini. Begitu pula Juliantara. Hari ini dia kembali ikut perang. Sambil menunggu perang pandan dimulai, Juliantara dan teman-temannya membersihkan sisa duri pandan di tubuh mereka sisa perang sehari sebelumnya. Selain di pundak, luka-luka itu terlihat pula di punggung dan pinggang.
Luka yang sudah mengering itu akibat goresan duri daun pandan (Pandanus amaryllifolius). Daun bergerigi di dua sisinya inilah yang mereka bawa siang itu sambil menunggu perang dimulai. Daun pandan itu dipotong sepanjang sekitar 15 cm lalu diikat sebanyak 10-15 buah. Sebagian anak-anak mengurangi tajamnya gerigi itu dengan menggoreskannya pada batu atau dinding rumah, termasuk Juliantara. “Biar durinya tidak terlalu sakit,” kata Anjasmara.
Juliantara dan Anjasmara adalah dua sahabat. Mereka berteman sejak kecil, di rumah maupun di sekolah. Namun ketika perang pandan digelar mereka jadi lawan bagi satu sama lain. “Sejak kecil sampai sekarang dia jadi lawanku,” kata Juliantara.
Sekitar pukul 2 siang gamelan di bale petemu, balai pertemuan, mulai ditabuh. Suara penonton makin riuh. Juliantara dan teman-temannya beranjak mendekati panggung.
Ribuan penonton sesak mengelilingi panggung berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi itu. Dengan tinggi sekitar 1 meter, panggung benar-benar seperti ring tinju. Bedanya ini tanpa tali pengaman mengelilingi. Pengamannya adalah para pemedek (orang yang ikut upacara) itu sendiri.
Sebelum perang pandan dimulai, ada ritual minum tuak dulu. Tuak di bambu itu dituangkan ke daun pisang yang berfungsi seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain. Semua lalu dikumpulkan pada satu orang yang kemudian membuang tuak itu ke samping panggung. Bau tuak tercium kuat siang itu.
Mangku Widia, pemimpin adat di Desa Tenganan, duduk di salah satu pojok panggung. Dia memberi aba-aba dengan suaranya. Dua pemuda bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan di tangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman daun ata di tangan kiri. Penengah, layaknya wasit, berdiri di antara dua pemuda ini.
Setelah penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi, dua pemuda itu saling menyerang. Mereka memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Mereka berpelukan. Saling memukul punggung lawan dengan daun pandan itu lalu menggeretnya. Karena itu ritual ini disebut pula megeret pandan.
Peserta perang yang lain bersorak memberi semangat. Gamelan ditabuh dengan tempo cepat. Dua pemuda itu saling berangkulan dan memukul hingga jatuh. Penengah memisahkan keduanya dibantu pemedek yang lain.
Pertandingan itu tak berlangsung lama. Kurang dari satu menit bahkan. Selesai satu pertandingan langsung disambung pertandingan yang lain.
Hingga giliran Juliantara dan Anjasmara pun tiba. Mereka berhadapan lalu saling menyerang. Saya teringat Achiles di film Troy yang menyerang musuhnya dengan garang. Tapi ini berbeda. Kalau Achiles yang diperankan Brad Pitt itu menyerang lawan untuk menghabisi nyawa, maka dua remaja ini menyerang hanya untuk melukai. Achiles berperang demi kekuasaan, Juliantara berperang karena penghormatan pada leluhur.
Ketika penengah memisahkan maka selesailah pertandingan Juliantara dan Anjasmara. Mereka mundur dari gelanggang lalu kembali menonton pertandingan lain.
Seperti pertandingan lain, selalu ada ketakutan yang muncul sebelumnya bertanding. Begitu pula Juliantara. “Sebelum mulai selalu deg-degan. Takut sakit. Tapi begitu mendengar gamelan, takutnya langsung hilang. Gamelannya membuat saya berani,” katanya.
Keberanian itu, menurut Juliantara, datang begitu saja ketika pertandingan tiba. “Saya juga tidak tahu kok bisa begitu,” tambah Anjasmara.
“Biar keliatan gagah juga,” sahut Juliantara diiringi tawa teman-temannya.
Perang pandan memang kegiatan maskulin, macho. Pesertanya hanya laki-laki. Perempuan hanya menjadi penyaksi ketika perang berlangsung. Namun begitu perang selesai, para perempuan sigap memberikan obat. “Kalau sudah dikasih obat baru terasa perih. Tapi cepat sembuhnya,” ujar Anjasmara.
Selesai perang, punggung dan pundak peserta memang penuh bercak darah yang mengalir akibat geretan daun pandan. Tapi bagi mereka itulah bukti bahwa mereka sudah berbakti pada tradisinya. “Kalau sudah keluar darah, saya merasa sudah melakukan bakti saya pada leluhur,” kata Juliantara. [b]
Bali adalah surga bagi saya. Tapi kenapa para wisatawan yg datang kita tawarkan dengan surga buatan, hanya menonjolkan keunikan ekonomis kita ketimbang spirit kita?
maafkan renungkanlah sobatku..
Apakah ini sudah benar dan hal yang benar?
Perjudian, minuman keras yang melibatkan anak-anak? apa jadinya bila tradisi seperti ini terus-menerus diwariskan dari generasi kegenerasi?
Mereka taak akan tau lagi apa yang salah dan apa yang benar.
Bahkan dalam ritual agama ini menjadi suatu yang melekat dan sulit dihilangkan(seperti kalimat dalam artikel ini, sudah jadi parasit yang sulit dalam setiap ritual dan upacara), bagimana mungkin bisa campur aduk begini?
Inikah yang diinginkan leluhur2 yang sudah meninggal dan ada di alam baka itu?
apa yang keliru? renungkanlah sobat-sobatku…maafkan sebesar-besarnya.
Sobatku…maafkan aku,
Jika ada reinkarnasi, kenapa masih ada upacara menghormati leluhur lagi? toh mereka akan jadi generasi baru lagi bahkan anda tak tau kapan mereka muncul kembali. bisa jadi dia akan menjadi cucu, cicit atau entah apa dari orang yang merayakan upacara utk leluhur itu.
Jika ada diantara leluhur itu yg sifat dan perbuatannya tdk baik, dan dia juga nanti akan reinkarnasi lagi, janganlah buang-buang dana utk mereka nanti aja bila mereka muncul kembali, beri kehidupan yang lebih cukup dan sejahtera untk mrk agar tak menurunkan lagi sifat-sifat tidak baik. Bukankah evolusinya masih akan terjadi lagi?
maafkan aku sobatku…maafkan!
Jika salah maafkan, jika benar pikirkanlah..
Sobatku yang baik…
ada kalimat menarik dari artikel diatas yang diucapkan oleh salah seorang peserta perang Megaret pandan ini. Dia bilang…
Selesai perang,
punggung dan pundak peserta memang penuh bercak darah yang mengalir akibat geretan daun pandan. Tapi bagi mereka itulah bukti bahwa mereka sudah berbakti pada tradisinya. “Kalau sudah keluar darah, saya merasa sudah melakukan bakti saya pada leluhur,” kata Juliantara.
Renungkanlah sobatku..Apa relevansi kegiatan perang-perangan pakai pandan berduri itu, dengan menyakiti badan mereka sendiri, terhadap bhakti pada leluhurnya???
Ini tradisi yang menyenangkan orang hidup atau mereka yang telah mati?
Apakah itu cara Benar sebagai wujud bakti seseorang pada arwah nenek moyangnya yang sudah meninggal dunia dialam baka sana?
Tahukah orang-orang yang teribat dalam tradisi itu atas apa sesungguhnya yang dibutuhkan dan diharapkan para leluhurnya dialam penantian itu?
Salahkah ungkapan-ungkapan itu? jika iya maafkanlah