Bersepeda tak hanya menyenangkan dan menyehatkan. Dia juga bisa untuk menyuarakan perlawanan.
Inilah yang kami lakukan selama sepuluh hari, bersepeda dari Bali ke Jakarta sambil menyatakan menolak reklamasi Teluk Benoa, Bali.
Dahulu, sepeda adalah moda transportasi sangat penting untuk berpindah tempat. Kini, kepopuleran sepeda semakin melejit pada saat liburan sekolah, kegiatan doorprize fun bike dan keberadaan club-club sepeda.
Sepeda pun dijadikan sebagai alat kesehatan dalam menyembuhkan sakit asam urat, asma dan masalah kegemukan. Bersepeda menjadi olahraga menyenangkan ketika melaju di jalur hijau, sejuk dan cuaca tidak panas.
Berbeda jika bersepeda dengan suasana kemacetan, polusi udara, aspal panas ketika terik matahari dan jalanan menanjak, maka itu adalah tantangan.
Sebelumnya saya pernah mendengar cerita orang asing menghabiskan sebagian hidupnya dengan bersepeda keliling dunia, cerita sepasang sejoli yang bersepeda dari Bandung ke Bali kemudian honeymoon dan cerita anak kampus yang liburan semester dengan bersepeda lintas Jawa Bali.
Semua itu cerita yang membuat kesan luar biasa.
Kemudian organisasi sepeda Samas sebagai wadah semua klub sepeda di Bali, sering menyambut setiap pesepeda yang datang ke Bali. Saking seringnya menyambut, maka muncul keinginan bagaimana rasanya jika kita yang disambut.
Lahirlah kegiatan Samas Bali mengayuh pedal Bali – Jakarta pada 20 – 29 November 2014. Dengan kekuatan enam orang, kami membawa misi lingkungan dan menolak reklamasi Teluk Benoa Bali.
Sepuluh hari hari meninggalkan anak istri keluarga demi sebuah cerita dan orang-orang. Itulah Kadek Sugiarta (51 tahun) sebagai perangkai bunga, Yusron (50 tahun) sebagai penjahit, I Wayan Wisnaya (46 tahun) sebagai kontraktor, I Nyoman Dama (43 tahun) bergelut dengan rental vila, Dwi Puspasari (44 tahun) sebagai montir dan saya sendiri, Mahayanthi (24 tahun) sebagai mahasiswa Unud.
Pengalaman tersebut hingga kini melahirkan rasa persaudaraan yang erat. Ada 2 pesepeda lagi yang turun dari Bandung menuju Jakarta, yaitu Endra Datta dan Evan Ivan.
Perjalanan
Tepat pukul 06.00 Wita 20 November 2014, kami dilepas di Patung Catur Muka Denpasar oleh teman-teman pesepeda dan sekaligus wawancara wartawan. Perjalanan panjang dimulai dengan istirahat siang di area Pura Rambut Siwi, menikmati hujan selamat tinggal di daerah Melaya Jembrana, menyeberangi pelabuhan Ketapang Gilimanuk dan bermalam di Koramil Wongsorejo Banyuwangi.
Pada hari kedua menikmati tanjakan kecil Taman Nasional Baluran di pagi hari sambil difoto-foto oleh seorang wartawan, istirahat siang di Alun-alun Situbondo, kemudian ban sepeda Nyoman Dama pecah namun langsung ditangani dengan cepat.
Kami menikmati sore indah di sepanjang jalan pembangkit listrik tenaga uap Paiton dan bermalam di rumah teman pesepeda bernama Bambang Irianto di daerah Probolinggo. Malam itu badan terasa letih dan pegal.
Pada hari ketiga pantangan tour jauh pun datang yaitu anyang-anyangan karena asupan air putih masih kurang melihat cuaca ketika itu sangat terik saat melaju di daerah Pasuruan dan Bangil. Istirahat siang dengan menu masakan padang di Porong pun menjadi kesenangan setelah melewati panas ekstrem tersebut.
Kami mampir ke wisata lumpur lapindo Sidoarjo sebentar untuk berfoto sambil membayangkan kemarahan alam dalam eksploitasi berlebihan.
Sebelum sore, kami mencoba es tebu yang banyak dijual sepanjang jalan pantura dan ngemil bakso sore di daerah Gresik. Pada malam harinya kami istirahat di penginapan di daerah Lamongan namun sebelumnya sudah mencicipi soto lamongan yang khas itu.
Jalur Porong – Gresik – Lamongan itu ngeri dan tidak bersahabat untuk pesepeda. Maka konsentrasi tinggi sangat penting dalam bersepeda.
Pada hari keempat adalah keadaan tubuh yang tahan banting dan hilangnya semua rasa pegal dan letih. Kayuhan pedal semakin enteng dan ringan. Melalui jalur Bojonegoro dan temen-temen biasa memplesetkan kata Bojognegro sebagai lelucon perjalanan.
Makan nasi padang lagi di daerah Cepu sambil tidur siang 20 menit di bawah meja warung tersebut. Tim sangat senang melewati hutan jati di atas kota Cepu karena jalur hijau, sejuk, sedikit kendaraan dan tanjakan perlahan. Ini adalah jalur hijau pertama yang menyenangkan bagi pesepeda.
Istirahat malam di Kota Blora adalah pilihan tepat sambil menikmati bebek goreng di sebelah penginapan.
Hari kelima diawali dengan sarapan sate blora di pasar tradisonal. Ini adalah pengalaman pertama menikmati sate dengan sistem bayar sesuai jumlah tusuk yang dimakan. Semakin semangat mengayuh pedal setelah berhasil mencicipi makanan khas blora.
Melaju ke arah Purwodadi kemudian makan siang di sana dan berakhir di kota Semarang dengan suasana kota yang macet dan becek karena hujan deras sebelumnya.
Hari keenam, mulai merasakan suasana kebudayaan Jawa Tengah, melewati daerah Kendal dan menikmati sate kambing bawah tiga bulan (batibul) khas Pekalongan saat makan siang. Seorang pewarta warga Djnarto dari Pematang sempat mengabarkan kondisi tim saat melaju ke arah Tegal melalui tulisannya yang sudah terbit.
Akhirnya kota Tegal menjadi tempat istirahat malam pelepas lelah.
Hari ketujuh ketika pagi yang cerah itu tim melaju melintasi daerah Brebes dan meninggalkan Provinsi Jawa Tengah. Ketika istirahat siang tim sudah berada di Cirebon, Jawa Barat dengan santapan empal gentong sebagai makanan khas cirebon. Semangat membara semakin terasa untuk mendekati Bandung tapi sore itu team melintasi Tegalwangi dulu sambil ngemil bakso sebelum menghajar tanjakan Sumedang.
Jam menunjukan pukul 7 malam dan kami masih menghabiskan tanjakan Sumedang dengan banyaknya kendaraan besar melaju kencang. Untungnya banyak pohon besar dan dataran tinggi sehingga udara sangat sejuk dan dingin malam itu.
Hingga akhirnya pukul 9.30 malam baru menemukan tempat istirahat malam dengan fasilitas kolam renang. Maka, kaum lelaki pun berendam melepas letih di kolam renang sedangkan kaum wanita hanya sibuk main handphone sambil mencuci pakaian.
Hari kedelapan adalah hari santai karena bangun siang dan memulai perjalanan pukul 8 pagi. Yang namanya kuliner tidak pernah terlupakan, berada di Kota Sumedang maka sarapan kami adalah tahu sumedang ditambah lontong. Rasa yang luar biasa karena pertama kali mencobanya.
Selama perjalanan begitu nikmat hanya melaju di jalan turunan menuju Kota Bandung tapi sebelum memasuki Bandung tim sudah disambut oleh pesepeda Bike to Campus Bandung. Seneng banget baru lihat pesepeda anak muda dan energik karena sebelumnya dominan melihat bapak-bapak yang bersepeda.
Makan siang dulu di warteg Kota Bandung kemudian melaju ke arah Eiger Bandung untuk bertegur sapa. Mengobrol santai sampai sore di Kota Bandung begitu nyaman, menjadikan ajang itu sebagai media pertukaran informasi mengenai masalah lingkungan di masing-masing daerah.
Kami pun tetap menyuarakan tolak reklamasi Teluk Benoa Bali kepada rekan-rekan sejawat sepeda di Bandung.
Dua pesepeda dari Bali pun mendarat di Bandung untuk bergabung menuju Monas. Malam itu istirahat di Wisma BNI dengan lokasi tempat tanjakan dan suasana sejuk segar. Pesepeda Bike to Campus Bandung juga ikut mengantar kami sampai wisma BNI dan mengucapkan selamat tidur.
Romantis
Hari kesembilan menjadi semakin ramai dan bersemangat setelah kedatangan Endra dan Evan. Tim pun berjumlah 8 orang bersiap melawan puncak pass dan beberapa sejawat Bike to Campus Bandung ikut mengantar kami sampai di Padalarang.
Wah, senang sekali diantar pesepeda muda dan berani. Terima kasih Bike to Campus Bandung. Teruslah bersepeda untuk mengurangi kemacetan parah di Bandung.
Tak lupa kami berfoto perpisahan dan sekaligus mereka menulis perjalanan tim untuk dicetak dalam majalah kampus mereka. Cianjur adalah kota istirahat siang dengan menu masakan padang lagi dan lagi.
Siang itu Evan berkata, “Kalian semangat ya sampai puncak. Aku mau naik bemo dari sini. Gak kuat dengan tanjakan puncak pass.” Kami yang tidak tahu medan langsung nyahut ok.
Perlahan tapi pasti, kayuhan kami mulai pisah sesuai ritme masing-masing. Saling menunggu di beberapa titik untuk tetap bisa memantau satu sama lain. Apalagi kaum wanita, kasihan jika ditinggal jauh-jauh.
Sampai pada sebuah titik 3 KM sebelum puncak, hujan deras pun mengguyur dengan romantis. Warung dan teh panas adalah pilihan tepat, menunggu hujan 30 menit lalu kenakan jas hujan dan menerobos hujan yang mulai reda tersebut.
Kapan lagi hujan-hujanan sambil bersepeda di puncak kalau bukan sekarang, itulah candaan kami. Saking letihnya dengan tanjakan, salah satu tim menuntun sepedanya sambil bernyanyi indah.
Kebun teh pun mulai nampak yang menandakan bahwa puncak akan tiba, ditambah lagi dengan banyaknya kendaraan parkir di beberapa restoran di puncak pass.
Rasa bahagia dan puas ketika itu berada di Puncak Bogor. Rasa lapar pun seketika hilang. Ingin rasanya berfoto bersama di puncak pass dengan suasana sunset dan kebun teh. Tapi apa daya, hujan sudah membuat handphone kami terbungkus plastik di dalam tas.
Suasana itu hanya terekam dalam ingatan kita masing-masing betapa indahnya puncak pass.
Setelah semua oke maka lampu-lampu sepeda mulai dinyalakan dan bersiap menuruni puncak pass dengan badan menggigil kedinginan. Mendekati Kota Bogor, kemacetan mulai mengganggu jalur sepeda. Naik turun bahu jalan pun sudah biasa untuk kelancaran bersama. Sambutan dari Bike to Work Bogor begitu hangat dan langsung mengantar kami bermalam di sekolah alam.
Minuman jahe adalah suguhan hangat pada malam itu. Terima kasih untuk Bike to Work Bogor.
Hari kesepuluh atau hari terakhir menuju Monas dan Bundaran HI sudah berada di depan mata. Team dijemput dua pesepeda Bike to Work Jakarta dan diantar menuju Monas. Adik-adik Bike to School Bogor juga ikut mengantar kami ke Monas.
Wah ramai sekali yang mengantar tim. Terima kasih semua. Siang itu juga tim sudah berada di Bundaran HI dan Monas. Foto-foto narsis adalah waktu yang tepat merayakan kemenangan ini. Sambil berucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keselamatan yang telah dilimpahkan.
Berfoto sambil membentangkan bendera organisasi sepeda dan bendera Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa Bali adalah sebuah kebanggaan tak ternilai.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah mensukseskan acara ini.
Minggu pagi kami meramaikan acara Car Free Day di Bundaran HI. Malam terakhir tim menginap di Widya Candra sekaligus bersilaturahmi dengan Menteri Koperasi dan UKM selaku penasehat organisasi sepeda.
Kami balik ke Bali dengan pesawat dan sepeda dipaket lewat jasa darat. Semua anggota tim tiba di Bali dengan sehat selamat pada 1 Desember 2014 pukul 22.00 Wita. Kami langsung disambut oleh Yusmika di Airport Ngurah Rai, Bali. Sekian. [b]
haru biru bacanya. serasa ikut mengalami capek dan lelahnya, suka dan dukanya, plus semangatnya. kalian keren sekali.
Salut buat perjuangannya… sangat-sangat keren dan TOP.
Maha, kamu memang wanita ‘gila’! Salut utk team SAMAS. Tolak Reklamasi!