Bali hari-hari ini adalah masa sulit yang tak terduga.
COVID-19 secara resmi diumumkan kemunculannya di Indonesia pada awal Maret 2020. Sampai laporan ini ditulis, kasus yang ada sudah mencapai angka 478.720. Dari waktu ke waktu kesulitan beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup atau sekadar kebutuhan eksistensi semakin dirasakan masyarakat.
Food Coma digelar pertama kali pada 28 Juni 2020 di tengah merebaknya COVID-19 yang masih dicitrakan sebagai hantu gentayangan yang setiap saat memangsa korbannya. Kata ‘coma’ sangat tepat sebagai kode realitas di masa pandemi yang mencemaskan ketika berbagai pengekangan begitu masif melumpuhkan aktivitas perekonomian.
Partisipan saat itu sebanyak 18 vendor. Sebagian besar perantau yang rata-rata baru serius belajar berdagang. Mereka adalah para karyawan yang dirumahkan bahkan di-PHK. Makanan yang dijajakan adalah produk rumahan terutama jajanan tradisional dari kota asal antara lain ‘kue cucur’ dari Jawa, ‘jalangkote’ dari Makassar, gorengan khas Bandung, dan sebagainya.
Sampai saat ini, pasar Food Coma yang dikelola 4 serangkai yaitu Tania Ruky, Andreas Tanesto, Masayu Christina, dan Kelly Mariska sudah sampai Vol.7. Pasarnya berpindah-pindah lokasi. Konsep perpindahan lokasi untuk menghadirkan suasana dan peluasan jejaring baru. Format Food Coma terkadang berdasarkan permintaan beberapa pemilik tempat usaha terutama hotel atau villa maka diadakan juga Mini Food Coma dengan kapasitas lebih kecil sesuai lokasi.
Hampir semua vendor mendapat dampak progresif dari pasar ini yang pada perkembangannya menghadirkan beragam produk art & craft dan juga produk fashion yang praktis. Banyak dari mereka mendapat eksposur dan jaringan usaha. Bahkan nama beberapa vendor antara lain Kweta, Browkies, Petit Garcon, Kimchi Slap menjadi dikenal dan mendapat relasi bisnis, menyediakan pasokan produk ke beberapa cafe besar di Bali.
Kebersamaan atau gotong-royong sebagai budaya hidup bangsa ini menjadi pilar ketahanan di masa pandemi yang semakin masif menekan hidup masyarakat menengah ke bawah. Muncul beberapa aktivis peduli yang menggalang bantuan berupa tenaga atau donasi dalam bentuk uang atau materi yang dibagikan kepada orang-orang terdampak krisis COVID-19.
Komunitas Feed Ubud dan Ubud Collective sudah bergerak di aksi sosial sejak Gunung Agung dalam status siaga yang menyebabkan warga sekitar hidup di pengungsian. Tunjung Crystal, penggerak Ubud Collective, bersama rekan-rekannya mendirikan Agung Siaga pada waktu itu. Begitu pun Feed Ubud dengan Dee Kamhar yang biasa dipanggil Bude, dibantu para volunter memasak makanan untuk dibagikan kepada para pengungsi.
Ubud Collective
Inisiatif berdirinya komunitas ini diletupkan oleh seorang perempuan Bali dari Denpasar yang sudah 8 tahun ini menetap di Ubud. Dia juga penggagas dan pendiri Agung Siaga, sebuah gerakan penanggulangan bencana erupsi Gunung Agung. Tunjung menggerakkan Ubud Collective di akhir Maret 2020 dengan tujuan membantu rumah sakit yang tengah sibuk menangani pasien yang terpapar virus COVID-19.
Langkah pertama adalah mengumpulkan masker N95 yang saat itu langka dan harganya sangat mahal. Berikutnya dia berinisiatif menghubungi dan mengajak teman, para sahabat juga orang-orang di sekitarnya untuk berpartisipasi, sebagai donatur maupun volunter. Ajakan positif ini mendapat sambutan antusias. Seterusnya kegiatan dilanjutkan dengan berdonasi barang kebutuhan pokok, terutama susu dan telur. Sumbangan pertama diberikan ke Rumah Sakit Sanglah, berikutnya ke Rumah Sakit Udayana.
Awal April 2020 sampai sekarang, fokus bantuan dialihkan ke teman-teman dan masyarakat yang sangat terdampak oleh situasi pandemi COVID-19 ini. Aksi sosial ini dilakukan secara senyap, menghindari ingar-bingar di media sosial dengan alasan menjaga kenyamanan psikologis publik. Situasi ‘elusif’ ini terjadi di dunia global. Sulit dipastikan berapa lama hal ini akan berlangsung.
Seorang kolega Tunjung, pada awal Oktober tahun ini membongkar gudang rumahnya dan mendapati banyak barang tak terpakai dengan kondisi masih layak guna dan bagus. Ia berinisiatif akan menjual barang-barang tersebut dan menyumbangkan hasilnya untuk didonasikan ke Ubud Collective.
Dari sana bergulir gagasan yang disambut komunitas. Dibuatlah event sosial ‘Nak Ubud, Garage Sale’ yang dilanjutkan dengan ‘Nak Ubud – Preloved and New’. Aksi ini mengundang para simpatisan untuk mendukung Ubud Collective. Sebuah upaya menyelinap di celah sempit peluang di masa pandemi.
Feed Ubud
Bude mulai memasak makanan sederhana di dapurnya, mengirimkan kepada orang sakit dan lanjut usia. Aktivitas sosialnya menciptakan resonansi sangat kuat, menarik simpati orang pada spirit dan gaya humornya. Cinta dan tawa yang menular ini masuk ke setiap kantong makanan yang dikirimkan.
Pada awal pandemi, Feed Ubud membagi makanan berupa nasi berikut lauk. Bantuan terfokus pada mereka yang benar-benar memerlukan. Seratus bungkus makanan hangat dibagikan sebanyak 2 kali dalam seminggu, meningkat 200 bungkus di minggu selanjutnya dengan tambahan sembako. Di masa New Normal menambah donasi berujud ayam anakan kepada sebagian orang untuk dikembangbiakkan juga memotivasi menciptakan usaha kecil mandiri dengan memberi workshop gratis buat penduduk lokal dengan disertai pemberian modal usaha.
Saat bertandang dari pintu ke pintu untuk mendonasikan makanan, disadari bahwa ada yang lebih membutuhkan perhatian daripada yang lain. Bantuan mulai difokuskan pada mereka yang menderita sakit dengan penyakit serius. Menyediakan lebih dari sekadar makanan hangat dan bahan makanan, dimulai membangun fasilitas kebersihan, pengadaan kompor dan peralatan masak, selimut dan pakaian.
Bagi banyak orang di Bali, hari-hari ini adalah masa sulit yang tak terduga. Aktivitas sosial Dee Kamhar sekarang adalah melakukan bedah rumah warga yang benar-benar membutuhkan. Sudah empat rumah warga direnovasi.
Perempuan renta berusia 70-an tahun bernama Kantor ditemui pertama kali saat Bude membawakan makanan untuk keluarga Wayan, seorang petani lokal yang dikenalnya di utara Ubud di desa Taro. Dadong Kantor menempati lahan milik Wayan di sebuah gubuk kecil, dikelilingi oleh pohon buah-buahan.
Tempat tinggalnya minim fasilitas, berdinding bilik bambu usang, beratap seng, lantai tanah, dapur menggunakan tungku perapian sederhana. Dia tidak memiliki fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus). Ada pipa yang mengalirkan air untuk memasak dan mencuci di sepanjang sisi rumah. Perempuan itu memiliki kasur tua yang kotor, seprai tipis dan pakaian lusuh.
Di lain waktu Bude datang membawakannya selimut dan makan siang hangat. “Begitu kami masuk, dia memeluk kami. Dia sangat berterima kasih, tersenyum manis,” kenang Bude. Dadong Kantor hidup sekadarnya di sepanjang hidupnya dan masih memiliki senyum lebar dengan jiwa yang indah. Dia telah berjuang untuk bertahan hidup dengan kesehatan dan martabat.
Membangun rumah baru untuk Dadong Kantor adalah mimpi yang sedang diwujudkan. “Tujuan kami adalah memberinya hadiah rumah sederhana yang benar-benar baru sehingga kebutuhan dasarnya akan terpenuhi,” tegas Bude. [b]