Made Mawut mengemas ulang lagi lama karya Ketut Putu, Turba.
Lagu lawas itu dikemas bersama video klip garapan Hadhi Kusuma di kanal YouTube Taman 65. Iklim karya itu membawa saya ke perjalanan yang begitu intim di dalam diri sendiri. Perjalanan menuju ingatan tentang pentas musik paling berkesan yang hingga kini masih tersimpan rapi di salah satu laci dalam kepala saya.
29 Maret 2018. Waktu menjelang malam. Orang-orang dari berbagai generasi sudah berkumpul memadati halaman Taman Baca Kesiman (TBK) di Jalan Sedap Malam, Denpasar. Ketika acara mulai ditandai dengan ajakan pemandu acara, semua mata mengarah ke panggung sederhana di pojok barat yang baru saja ditinggalkan senja.
Setelah basa-basi dan penjelasan latar belakang acara oleh pembawa acara Roberto Hutabarat dan Ngurah Termana dengan begitu apik, riuhlah tepuk tangan. Lalu, dalam sekejap penonton yang hadir dibius oleh film dokumenter Sekeping Kenangan karya Komunitas Taman 65. Video itu diracik oleh videomaker kebanggaan mereka, Hadhi Kusuma.
Film ini menggambarkan hiruk pikuk perjalanan bertemu dengan para penyintas (suvivor) kekerasan politik 1965. Film ini pula yang membidani lahirnya Prison Song, album yang malam itu juga pertama kali dipentaskan di tanah kelahirannya.
Setelah dilanjutkan dengan diskusi hangat dengan para penyintas, anggota Taman 65, dan penonton dari berbagai kalangan yang begitu gurih dan hangat, pentas musik pun dimulai.
Mungkin ini akan terdengar berlebihan, tapi sejujurnya, ketika menyaksikan rangkaian pentas musik bertema Sekeping Kenangan malam itu, saya seperti melihat suasana yang sangat saya rindukan. Ketika malam-malam waktu kecil, meratapi tembok kamar sambil pura-pura tidur. Mendengar ibu saya memaki-maki penyakit yang dia bawa semenjak dia janin.
Atau hal sama di tembok kamar berbeda ketika saya menginap di rumah nenek saya. Ibu dari ibu saya yang sering kali mengutuk kelahirannya sebagai perempuan. Makian dan kutukan itu akhirnya saya tahu memiliki mata air yang sama, yaitu kakek saya pernah ikut-ikutan jadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di desa. Perjalanan hilang dan kembalinya dia ke rumah sebagai orang dengan kejiwaan berbeda, diikuti stigma dari sekitar yang menyayat dua perempuan itu sampai ratusan bulan kemudian.
Ya, mungkin saja perasaan ini karena saya terjebak dalam romantisme. Merasa diri sebagai korban. Kebetulan juga saya tahu karya ini terlahir dari temuan catatan tembok oleh tangan tapol di sebuah penjara di Denpasar, dekat dengan pusat kota, alun-alun dan kerajaan, tapi jauh dari rasa keadilan dan nalar hukum akal sehat sebagai manusia.
Petikan gitar Dadang Pohon Tua membuka pentas itu. Dia yang ketika itu baru saja ditinggalkan salah satu manusia yang mungkin paling berarti di hidupnya, Made Indra, rekan satu bandnya di Navicula. Energi duka masih nampak begitu kental di wajahnya ketika itu. Lengkap dengan emosi yang cukup dia membawa lagu Sekeping Kenangan, karya Pak Atjit.
Bagi saya, keseluruhan nyanyian itu terdengar begitu magis. Saya membayangkan ketika itu sebuah biji yang tersisa dari kulit dan daging buahnya yang sudah dimakan habis oleh binatang. Biji itu terlempar kemudian tenggelam di tanah. Berminggu-minggu seperti akan membusuk bersama sampah, kerikil dan hewan tanah. Namun, tiba-tiba ia mengeluarkan akar dan juga tunas mengarah ke atas dengan magis seperti bagaimana kehidupan kehidupan baru akan tercipta.
Kemudian dilanjutkan oleh lagu Di Kala Sepi Mendamba karya Ni Ketut Kariasih yang dibawakan oleh Ari Astina aka JRX, yang penampilan dan bawaannya tampak macho. Dia membawakan lagu yang liriknya begitu puitis dan dramatis dengan warna suara yang bagi saya kasar dan diiringi saksofon.
Penampilannya seperti tunas tumbuh dari biji usang. Mampu menukik dengan lembut, tetapi memenangkan pertarungan yang keras untuk menerobos lapisan tanah. Hingga dia mampu menyapa permukaan tanah dan meminta hidup lebih panjang pada sang surya.
Penampilan ketiga ialah Man Angga, membawakan lagu Si Buyung yang liriknya ditulis Pak Atjit. Lagu ini bercerita begitu dalam tentang doa dan harapan pada anak yang ditinggalkannya sementara ia harus meratapi masa depan suram tanpa banyak pilihan untuk sekadar hidup.
Energi Angga yang waktu itu baru saja menjadi seorang ayah, membuat lagu Si Buyung seperti ranting-ranting dan daun tumbuh. Menambah beban sekaligus harapan pada tunas tadi yang telah menjadi batang, untuk mereka menjadi kesatuan pohon yang lebih besar.
Setelah Angga kemudian dilanjutkan oleh arsitek album Prison Song, Made Mawut. Dia membawakan lagu Latini yang ditulis Agam Wispi dengan balutan musik delta bluesnya. Lagu tentang cinta yang hidup ibu nan lirih, kematian gugur dan berbunga dan menumbuhkan sesuatu.
Penampiln Made malam itu membuat seakan pohon itu sudah mengalami gugur daun lalu tumbuh bunga dan buah. Berjejer menguning. Semerbaknya mengundang kehidupan-kehidupan lain untuk bertamu pada pohon tadi.
Banda Neira, yang malam itu diwakili Rara Sekar, satu-satunya penyanyi perempuan yang terlibat menggarap album Prison Song, hadir di panggung dan seakan langsung mengimbangi semua dominasi suara laki laki sebelumnya. Rara membawakan lagu Tini dan Yanti yang disadur dari tulisan Pak Atjit.
Dengan musik apik serta suara megah dan agak asing malam itu, keseluruhan penampilan Rara saya rasakan menjelma bak sekawanan burung, puluhan atau mungkin ratusan, datang dari arah langit barat, bertamu guna menyambut segala yang tumbuh semerbak di pohon itu.
”La historia me absolvera …. La historia me absolvera …. La historia me absolvera..“ Begitulah suara burung-burung itu berkicau menatap langit.
Setelah suara Rara mulai padam, seperti lilin yang baru saja ditiup anak usia tepat 4 tahun di kue ulang tahunnya dengan antusias diikuti semangat tepuk tangan sekeliling, suasana sejenak hening sebelum Kupit dengan senyum khasnya menaiki panggung. Dia membawakan lagu Dekon yang liriknya ditulis oleh Ketut Putu.
Paduan suara Kupit dan lirik lagu berbahasa Bali tersebut seperti sebuah keyakinan konservatif yang tidak lagi bisa diperdebatkan. Penampilan kupit seperti mengajak kita menyelam ke dalam tanah. Melihat akar pohon itu merambat dan mencengkeram tanah.
Lalu, Kupit lewat aliran lirik Dekon sepeti mengatakan dari ujung langit, “Sekuat dan sehebat apapun pohon tumbuh, guna, papa, hidup atau matinya tak akan bisa dari lepaskan dari kepentingan kepentingan sosial, ekonomi dan politik manusia-manusia yang mampu menggapainya. Dan siapa yang memenangkan pertarungan sejarah dan pandangan tentang masa depan, dialah yang akan menentukan.”
Pijakan Rapuh
Pentas malam itu usai. Perjalanan pulang dengan hati gelisah saya bertekad untuk menulis ini. Namun, esoknya dan hari-hari kemudian, tekad itu tenggelam bersama jiwa raga saya dalam arus sebagai buruh pariwisata dan domestik lain. Sampai kemudian hari di mana saya menulis ini, sudah hampir tiga bulan bumi manusia telah dan sedang dilanda pandemi. Sesuatu yang begitu baru dan membingungkan saya rasa untuk generasi ini.
Sebaiknya memang kita melihatnya dari sisi sains walaupun itu melelahkan. Namun, manusia tentu tidak hidup di ruang kosong. Dengan segala kaitan, mereka sedang ada dalam pijakan, daya, kepentingan dan derita berbeda. Karena itu, perdebatan-perdebatan, respon dan informasi beseliweran entah mana yang benar.
Namun, hal-hal yang bisa saya lihat ialah pandemi ini telah membuat sisi sisi kehidupan manusia menjadi berbeda. Hari raya yang dingin. Kota-kota layu. Roda ekonomi berjalan tiarap. Rumah sakit yang kelelahan. Kepala dan perut yang sering tak akur untuk melihat kenyataan. Desa-desa menjadi lebih ramai untuk manusia pulang dan bersandar.
Bagi saya, masa ini membuat manusia melihat dan merasakan dengan lebih dalam. Di Bali, misalnya, sesuatu yang nampak angkuh ternyata berdiri dengan akar dan pijakan rapuh. Pariwisata yang sebelumnya ingar bingar sebenarnya milik siapa dan di mana mereka sekarang? Tanah dengan jutaan upacara ini milik siapa? Masihkah ada sisa untuk bisa kita tanam dan menumbuhkan benih?
Banyak yang baru sadar. Ternyata selama ini tidak tau bagaimana menanam dan rupa daun kencur dan telah berdiri layar begitu tinggi untuk kita melihat bersama dengan terang benderang rupa dan kualitas pejabat negara ini suram. Yang menyenangkan, kita bisa melihat harapan bahwa empati dan solidaritas sesama rakyat belum mati.
Di masa ini juga Turba dihadirkan kembali oleh Made Mawut dan Komunitas Taman 65. Kehadiran Turba hadir di masa pandemi ini saya rasakan seperti bagaimana dalam sebuah kesempatan Made mengucapakan kalimat yang katanya mewakili dirinya dalam bagaimana melihat musik blues, “It ain,t nothing but a good man feeling bad”.
Dengan ajakan bernostalgia, Made membagikan tautan lagu Turba di akun media sosialnya. Lirik yang ditulis Ketut Putu dibalut warna blues kental oleh Made benar-benar mampu membuat intuisi saya meraba cukup jelas suasana pada tahun lagu itu dikatakan sempat popular.
Turba dengan kaitan tahun dan liriknya cukup terang kalau itu mencoba untuk menggambarkan respon kalangan rakyat di Bali atas Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) tahun 1960 yang disahkan Soekarno dan legislatif pada masa itu. Setelah disahkan, oleh banyak kalangan rakyat di bawah, pelaksanaan UU itu dianggap masih belum mampu menggapai cita-cita dan nilai yang terkandung di dalam teksnya.
Setahu saya UU Pokok Agraria ialah tentang peraturan dasar-dasar pokok agraria. Sesuatu yang menjadi titik awal kelahiran hukum pertanahan yang baru untuk menggantikan produk hukum agraria kolonial. Prinsip dasarnya, saya pikir, adalah tanah untuk sebaik-baiknya kepentingan rakyat sesuai cita-cita Revolusi 1945.
Perhatikan saja liriknya. Dia langsung menyampaikan ajakan untuk bersama-sama turun ke bawah (turba), meresapi dan mengambil keberpihakan atas kenyataan yang dihadapi kaum tani. Bahwa undang-undang yang sudah disahkan sekalipun, jika tidak diperjuangkan masih menyajikan realitas sosial berupa pengisapan oleh tuan tanah dan pejabat-pejabat ataupun kaum elite yang bersekongkol untuk mengingkari undang-undang tersebut.
Di alenia kedua kemudian digambarkan rakyat masih banyak menjadi korban atas perjuangannya menegakkan nilai undang-undang tersebut karena kalapnya persekongkolan tadi. Juga, adanya korban seharusnya menjadi semangat dalam keberpihakan karena kalapnya musuh. Artinya mereka sudah sekarat menunggu mati. Kurang lebih seperti itulah optimisme tentang kemenangan cita-cita Revolusi 1945 juga dengan jelas disebutkan oleh Ketut Putu dalam lagunya.
Tujuh Setan Desa
Kalau kita melihat dalam konteks nasional, spirit lagu ini persis spirit gerakan-gerakan yang digaungkan PKI pada masa itu. Inilah partai yang paling gencar mewacanakan reforma agraria dengan slogan mereka yang masih dikenal hingga hari ini, “ganyang tujuh setan desa”. Ini adalah pemetaan PKI terhadap tujuh kelas penindas yang mereka anggap sebagai musuh rakyat dan harus dilawan untuk menuju cita-cita Revolusi 1945 menurut keyakinan mereka. Pemetaan yang pernah diucapkan Ketua PKI Aidit kala itu, sebagai hasil riset kader partainya yang langsung hadir bersama kaum tani.
Sialnya untuk saya, menyaksikan kenyataan kontekstual tentang partai itu hari ini sudah tidak mungkin. Partai itu sudah mati muda tanpa kuburan yang layak. Dia bernasib tidak jauh-jauh dari Revolusi 1945 yang sering digaungkannya.
Karena saya ingat pernah menonton sekilas wawancara Bli Made Supriatma dan Gus Roy Murtadho. Mungkin ingatan saya salah, di wawancara itu dikatakan bahwa Indonesia yang kita dapatkan hari ini ialah Indonesia berbeda dengan Indonesia yang dilahirkan dengan semangat Revolusi 1945. Indonesia hari ini ialah Indonesia yang dibangun oleh Orde Baru setelah prahara politik, pembantaian jutaan manusia dan pembantaian nilai-nilai berbangsa pada tahun 1965.
Untuk setuju dengan cara berpikir Bli Supriatma itu tentu sangat mudah bagi saya. Lihat saja ketika masa sulit ini, undang-undang apa saja yang digaungkan dan disahkan oleh pemerintah hari ini. Ke mana ia berpihak, ke rakyat atau ke setan-setan desa? Tentu akan berbeda pikiran saya dengan mereka yang setuju pendengung (buzzer) sekelas Denny Siregar ialah representatif rakyat.
Kembali ke lirik Turba yang ditulis Ketut Putu. Dua kalimat terakhirnya, menurut saya, seperti bagaimana lagu-lagu perjuangan di era itu sering dituliskan. Mengandung pesan dan nasehat, kurang lebih jika diartikan dalam bahasa itu menjadi, “Sebagaimana watak pejuang berkumis, diharapkannya tetap teguh. Karena setiap perjuangan akan menemukan jalan yang semakin terjal dan terik.”
Jika membayangan suasana bernegara ketika itu, saya berani memastikan, jika dipadukan dengan semangat keberpihakan pada kaum tani, maka kalimat itu akan mampu menggetarkan hati. Namun, bagi saya sebagai feminis hari ini yang sering gagal di mata istri, pemilihan kata “mekumis” untuk menggambarkan pejuang yang memiliki watak hati teguh, masih mengandung kesan seksis.
Saya merasakan kecenderungan kata “mekumis” lebih kepada satu gender. Besar kemungkinan intrepretasi saya yang miskin pengetahuan dan tuna riset ini keliru. Namun, jika intepretasi saya sebuah kebenaran, maka saya melihat video klip yang diracik Hadhi Kusuma untuk ruang bermain lagu Turba yang disadur Made Mawut ialah sebuah kejelian yang jernih.
Dalam videonya, Hadhi memunculkan sosok ibu paruh baya yang diperankan Ibu Mayun menjadi sosok perempuan Bali kebanyakan yang sangat sering kita jumpai di kehidupan rakyat Bali dari tahun ke tahun. Ibu dengan wajah yang terus berpikir dan berjalan di trotoar, mengerjakan kegiatan adat keagamaan dengan tulus ikhlas. Tulus ikhlas yang sering diterjemahkan oleh istri saya sebagai laku tunggal karena tidak ada pilihan.
Si Ibu juga tekun menjalani kegiatan sebagai orang Bali yang sering kali dikomandoi oleh suara kentongan banjar atau komunitas adat, menaati himbauan pemerintah yang dianggapnya guru, dan menjaga kesehatan diri dengan jalan sesederhana mungkin seperti minum air putih hangat. Berusaha sebaik-baiknya dan berinteraksi satu sama lain untuk bisa menghasilkan di sela banyaknya pekerjaan domestik yang harus ia selesaikan sekalipun jarang mendapat imbalan apresiasi atau angka-angka dalam lembaran uang.
Sering saya melihat akumulasi itu sebagai kenyataan yang membingungkan. Ada perempuan tua Bali yang lapar lebih merelakan uangnya untuk membeli untuk upacara daripada bubur. Jika pun membeli bubur, akan didahulukan anak atau cucunya. Dia akan merasa cukup kenyang melihat cucunya mengunyah. Seperti bagaimana ia akan bersuara sehormat-hormatnya jika tanah dan keyakinannya hendak dirampas.
Melawan Standar
Ketika pandemi, saat banyak dari kita seakan dipaksa bisa melihat lebih pelan untuk mampu menggapai kedalaman, seharusnya kita bisa rasakan. Dari dahulu kapitalisme dan warisan cara berpikir patriarki sering kali menyampingkan peran perempuan seperti yang digambarkan Ibu Mayun. Hingga itu hanya menjadi sesuatu yang sekadar lewat di trotoar ketika ketika kita terburu di arus jalan raya.
Hari ini, di saat kapitalisme pingsan atau mungkin sebenarnya rehat dengan rencana lebih mengerikan, dengan telanjang kita dihidangkan kenyataan bahwa peranan perempuan-perempuan seperti dalam videoklip Turba itu ialah akar kita. Akar yang benar-benar menjaga kehidupan paling dasar. Dalam diam mereka terus melawan dan membuat pertahanan. Seperti ibu saya yang baru-baru saya sadari ternyata ia sering menancapkan pohon apa saja di pekarangan rumah. Ternyata dalam ketidakpedulian saya banyak dari mereka telah hidup untuk bisa dimakan atau menjadi obat di masa ini.
Perempuan yang sempat mekar di era Orde Baru yang sering menjadi sasaran stigma, atau suaranya sering disisihkan oleh dominasi kaum purusha (laki-laki). Lihat saja ketika keputusan adat akan diputuskan, seberapa besar porsi suara perempuan di Bali. Ketika pelaksanaan upacara adat, saya sering sekali melihat bagaimana perempuan tangannya masih bekerja walau matanya sudah tertidur di malam yang larut. Besoknya par ibu itu harus bangun lebih pagi untuk kopi panas kaum laki laki.
Hadhi Kusuma dengan gaya yang sangat realis menurut saya mampu menyodorkan kenyataan bahwa perempuan-perempuan seperti yang diperankan Ibu Mayun sesederhananya sering melawan standar angka-angka atau nilai yang ditentukan oleh kepentingan dunia kapitalisme. Kalau hidup bukan selalu ukuran angka, ada rasa yang bisa dimenangkan dalam keseharian. Seperti bagaimana Ibu Mayun menukar kue sisa dagangannya dengan bubur yang dijual ibu Made Mawut. Lalu, dengan pertukaran tersebut mereka memenangkan hidupnya masing-masing, yaitu tawa cucu mereka.
Selain perjalanan wisata bernostalgia ke masa di mana kehidupan berbangsa yang digambarkan begitu optimis dengan lagu Turba yang baru diterbitkan, hal yang juga menyenangkan ialah lagu dan video klip ini juga sebagai petanda di mana Komunitas Taman 65 yang saya kagumi mulai melangkahkan kakinya untuk menatap masa depan. Mereka telah hadir di kanal YouTube mereka sendiri.
Sebagai akhir tulisan ini saya tertarik menyertai kutipan yang dibagikan seorang kawan di status Facebooknya guna merespon dan membagikan tautan YouTube Taman 65.
“Turba itu pertobatan politik. Hasilnya bukan produk, tapi metode. Metode kerja budaya yang punya sikap dan prinsip bersama rakyat.” Hersri Setiawan, Sekretaris LEKRA Jawa Tengah. [b]
Comments 1