Cerita perjalanan oleh-oleh dari tim BaleBengong.
Kami mendapat kesempatan mengikuti Konferensi Parapihak terkait Perubahan Iklim (COP) ke-21 di Paris pada 5-12 Desember. Selain meliput COP 21, tentu saja kami juga jalan-jalan.
Kali ini saya berkunjung ke Paris Natural History Museum. Kunjungan ke museum ini merupakan bagian dari upaya untuk mengenal capung, serangga yang menjadi objek liputan mendalam kami terkait perubahan iklim.
Topik liputan kami memang tentang bagaimana dampak perubahan iklim terhadap populasi. Karena itulah, saya pun berkunjung ke Museum Sejarah Alamd di Paris untuk melihat bagaimana museum ini memamerkan aneka serangga termasuk capung.
Perjalanan ke sudut sudut kota Paris, Perancis sangat mudah. Kita bisa menelusuri dengan menggunakan sarana publik berupa Metro atau bus. Biayanya berkisar antara € 7 sampai 11.
Jika Anda berkunjung ke Paris terutama dengan keluarga, Anda bisa menghampiri salah satu museum yang menjelaskan tentang kehidupan liar ini. Paris Natural History Museum ini buka dari pukul 10 pagi hingga 6 malam. Dia terbuka untuk umum dan tutup pada Selasa.
Museum utama terletak di Paris, Perancis, di tepi kiri Sungai Seine yang membelah kota.
Museum ini didirikan selama revolusi Perancis. Dia diresmikan pada 10 Juni 1793. Mulanya dokter kerrajaan menyarankan agar area ini ditanami obat-obatan untuk kerajaan. Proklamasi kerajaan anak-raja Louis XV pada 1718 kemudian mengalihkan fungsi murninya dan diganti sebagai taman Raja yang memiliki fokus sebagai sejarah alam.
Saya menghabiskan kocek € 9 untuk memasuki museum ini. Jika Anda memasuki tempat untuk anak-anak di lantai dua, maka Anda dikenakan € 2 lagi. Di sana tersedia media pembelajaran untuk anak serta fasilitator anak.
Museum mengoleksi kerangka Dinosaurus, burung raksasa sampai koleksi serangga. Sebagian koleksi itu berukuran raksasa. Contoh koleksi kupu-kupu saja panjangnya mencapai 40 cm.
Serangga yang menjadi koleksi antara lain induk kecoa, belalang, jangkrik serta capung yang telah punah. Museum ini menyimpan ratusan spesimen serangga yang telah punah.
Michel, salah satu tamu yang gemar mengamati capung, mengatakan bahwa selain predator ada permasalahan cuaca dan asupan makanan yang mempengaruhi perkembangan capung di satu tempat. Kehidupan paling rentan adalah ketika capung menjadi nimfa, maka ikan-ikan akan menjadi predatornya di air.
Museum ini juga memampang urutan beda ukuran dari satu jenis capung. Seperti diketahui bahwa capung mengalami tiga tahap pergantian, dimulai dari telur, nimfa kemudian menjadi capung dewasa.
Untuk serangga ini kita bisa menjenguknya di Pusat Museum di lantai tiga.
Capung adalah predator serangga yang memakan serangga kecil seperti lalat, nyamuk, lalat buah serta serangga kecil lainnya. Mereka biasanya hidup dekat kolam, danau, rawa gambut, sungai bahkan di daerah genangan banjir.
Awal berkembangnya ketika seekor induk meletakkan telurnya pada tumbuhan di dekat perairan yang terjaga kualitas airnya, kemudian capung menjadi nimfa yang hidup. Ketika usia nimfa sudah cukup maka nimfa akan naik dan berganti menjadi capung muda. Dari sini cerita awal capung terbang terlihat.
Menelusuri museum ini tidak cukum hanya satu, dua hingga tiga jam. Semua data data dipampangkan dengan sangat apik, dari audio gemuruh, rauman singa hingga detail kehidupan makhluk kecil di dalam lautan. Para pengunjung banyak yang membawa anak dan keluarga mereka, belajar bersma dalam suasana yang nyaman. [b]