Banyak berkah di malam Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2019 ini.
Selain masih bisa magibung (makan bersama), meplailanan (dolanan), tahun ini ada Combine RI, Kacak Kicak, dan Made Mawut si blues krisis. Dua hari sebelum malam AJW, tim Kacak Kicak teater boneka anyar ini sudah memasang sejumlah instalasi di Taman Baca Kesiman, lokasi langganan AJW tiap tahun.
Puluhan burung dari jerami di jalan setapak, di antara hamparan kebun organik TBK.
Setelah itu di halaman rumput sisi Utara, ada tenda hitam dengan belasan kotak-kotak kardus kosong. Ini play ground anak. Mereka dipersilakan berkreasi membangun dari balok-balok kardus, atau mendongeng bersama beberapa instalasi kandang burung hantu.
Setelah itu di halaman tengah, tergantung beberapa boneka kombinasi kayu dan jerami. Inilah panggung utama AJW sekaligus panggung teater boneka Kacak Kicak. Kicak adalah istilah lokal desa Pedawa, Buleleng, untuk anak-anak. Santiasa aka Jong, pendiri Kacak Kicak menjadikan AJW momentum kelahiran teater boneka ini.
Jong dan rekan-rekan teaternya di Kacak Kicak bukan seniman baru. Mereka terbilang eksis, rajin membuat garapan di event-event sosial budaya di Bali melalui teater Kalangan, juga dengan nama kelompok lainnya. Di AJW, seluruh rangkaian kegiatan dipandu tokoh-tokoh Kacak Kicak seperti Pak De yang memandu magibung, Tut Mertha memandu maplalianan, sampai pertunjukan utama mereka bertajuk Tut Mertha dan I Cepuk.
Ternyata Kacak Kicak merespon satu sesi melali di dusun Pagi, suka duka burung hantu. Adegan demi adegan selama 24 menit dinikmati dengan khusyuk oleh pengunjung, termasuk anak-anak di baris terdepan. Tikus-tikus di sawah, celepuk terbang rendah, ditembak pemburu, tersungkur, sedih, haru, penyesalan, dan jiwa baru I Cepuk.
Teater boneka ini merundukkan ego, tersungkur di kaki kejujuran, dan melayang bersama imaji. Pengisi ruh para tokoh boneka tak nampak dominan, mereka berhasil berada di belakang bayang-bayang dan rona wajah kalem Tut Mertha, kecerian Pak De, dan keberanian I Cepuk.
Pada sesi yang serius seperti diskusi media warga Jer Basuki Mawa Desa pun tokoh ini hadir. Donny BU perwakilan Kemkominfo, Ferdhi dari Combine, media Warta Desa, dan Marsinah FM mendiskusikan dampak dan tantangan menuju warga berdaya atas informasi. Sebelumnya dibuka oleh Imung Yuniardi dan Kepala Seksi Sumber Daya Komunikasi Publik Dinas Kominfo dan Statistik Provinsi Bali, IB Ludra.
Pemenang
Setelah melalui serangkaian apresiasi oleh juri terdiri dari BaleBengong, Dandhy D. Laksono (WatchDoc), Ahmad Nasir (pegiat media warga), dan Widuri (ICT Watch), terpilih 5 pemenang di tiap kategori.
Kategori Pewarta Warga bisa diikuti siapa saja yang memiliki produk jurnalistik yang dipublikasikan melalui media daring (online) dan luring (offline) tergantung aksesibilitas di media warga seluruh Indonesia. Pendaftar menunjukkan minimal satu produk jurnalistik yang dinilai telah membawa perubahan bagi komunitasnya. Karya dapat berupa tulisan, video, foto, dan ilustrasi (komik, infografis, dll).
Pemenang di kategori ini untuk format artikel adalah I Wayan Suardana (Denpasar) dengan tulisan Peladung, Jejak Awal Mekanisme Adat Menyikapi Investasi. Dandhy D. Laksono mengatakan karya Suardana adalah sebuah jejak sejarah penting dalam gerakan warga adat di Bali menghadapi investor air kemasan yang dikisahkan oleh pelakunya sendiri.
Karya lain yang masuk dalam sepuluh finalis adalah Ni Nyoman Ayu Suciartini (Bali Menggugah, Kini Harus Tabah), I Made Julio Saputra (Rare Segara), Dian Suryantini (Pelajaran Daur Ulang Sampah dari Rumah Plastik di Desa Petandakan), Kardian Narayana (Sidatapa, Berkabar Lewat Burung Yang Dilepasliarkan), Tobing Crysnanjaya (Rumah Intaran, Inspirasi Kearifan Lokal dari Desa Bengkala), Diana Pramesti (Kisah Mewujudkan Mimpi, Desa yang Berdiri Sendiri), I Wayan Junaedy (Selamat Pagi Burung Hantu di Banjar Pagi, Selalulah jadi Sahabat Petani), Isun (Warung Subuh, Napas Dusun dalam Semangat Anak Muda), dan Intan Rastini (Membangkitkan Kesadaran Lingkungan dari Hulu).
Untuk kategori Pewarta Warga format Video pemenangnya adalah Sugihermanto (Surabaya) dengan video Pantai Parang Tritis, Keindahan dalam Kegelapan. Sugi yang mengalami low vision, konsisten membuat video di Youtube pengalaman tuna netra dengan akun Mlaku mlaku.
“Media mainstream tak mempekerjakan disabilitas. Ayo isi channel Youtube, ruang kebebasan untuk jadi content creator,” ajak Sugie.
Menurut juri, karya yang menceritakan tentang cara tuna netra mengakses pantai sebagai fasilitas publik ini kuat dari segi ide dan proses. “Bagaimana tuna netra menggunakan inderanya menikmati keramaian dalam kegelapan, sebuah paradoks,” kata Dandhy.
Tiga karya lain adalah I Made Argawa (Obyek Wisata Selfie Sebagai Pelestari Sungai di Tabanan), Lanang Taji (Memanen Hujan), dan Fanky Catur Nugraha (Pilot Inkubasi Inovasi Desa Pengembangan Ekonomi Lokal).
Media warga adalah media yang diprakarsai dan dikelola secara mandiri oleh kelompok warga non-perusahaan pers (non profit), tidak berafiliasi dengan partai politik, maupun pejabat publik. Selain mendaftarkan diri, warga juga bisa mengusulkan media warga favoritnya yang berkontribusi terhadap perubahan sosial di komunitasnya.
Pemenang Kategori Media Warga format Daring adalah Warta Desa. Didik Harahap, pengelola Warta Desa menyebut pernah jual motor untuk menghidupi media yang mempublikasikan berita peristiwa dan feature sekitar Pekalongan. Ahmad Nasir, juri lain, menyebut Warta Desa bereksperimen dengan banyak medium, radio, dan cetak.
Adapun media warga lain yang masuk 10 besar lain adalah BAFE, buruh.co, tatkala.co, Terune.id, Speaker Kampung, Merapi News, Forbanyuwangi, Ciamis.info, dan Mercusuar.
Untuk kategori Media Warga format Radio pemenangnya adalah Radio Komunitas Marsinah FM (Jakarta). Dia bersaing dengan satu radio lain yaitu Rakom Suandri FM (Sumatera Barat).
Dian, penerima penghargaan di malam AJW punya banyak cerita pengorbanan pengelola media berbasis elektronik dan daring ini melakukan advokasi dan pendampingan buruh. “Buat tenda depan perusahaan atau ditangkap karena aksi lewat jam malam,” kisahnya.
Kategori Pegiat Literasi Digital adalah individu atau komunitas yang mendorong perubahan aktif dan memadukan penggunaan media daring dan aktivitas luring. Perubahan aktif ini terkait praktik baik dan inspiratif dari desa, atau menyebarkan literasi digital yang dilakukan atau digaungkan melalui media daring seperti media sosial, blog, dan lainnya.
Pemenang di kategori ini adalah Rumah Literasi Indonesia (Banyuwangi). Komunitas ini aktif dalam kegiatan literasi baik daring maupun luring. Kegiatan komunitas ini antara lain mengadakan talk show online, kelas literasi digital online, gerakan literasi melalui medsos, penggalangan iuran publik untuk gerakan literasi, dan menyediakan informasi terkini tentang isu pendidikan melalui website.
Mereka juga mengadakan kelas film di sekolah-sekolah dan komunitas, seminar literasi digital di sekolah, kampus dan komunitas, memproduksi konten positif, serta pelatihan dan pemberdayaan masyarakat tentang jurnalisme warga. “Sejak 2014, menjangkau 57 taman baca, dan relawan 500. Kami juga pernah mengajak geng motor mendistribusikan buku,” papar Tunggul Hermanto, pendiri Rumah Literasi Indonesia.
Komunitas lain yang masuk dalam sepuluh besar adalah Yayasan Klub Buku Petra, Panti Digital Sulawesi Selatan, Hidden Gems Story, Tunanetra Sighted Network, Komunitas Blogger Makassar Anging Mammiri, Jawasastra Culture Movement, Bumi Setara, Bali Mendongeng, dan Pemuda Mendesa.
Setidaknya, terdapat total 111 yang mengirimkan karya dan mengajukan diri dengan rincian, Media Warga (31), Pewarta Warga (31), dan Pegiat Literasi Digital (49). Kelima pemenang tiap kategori mendapatkan uang penghargaan Rp 2.500.000, piagam, plakat, serta beasiswa pelatihan membuat video di Denpasar, Bali bersama Dandhy D. Laksono, pegiat WatchDoc.
FGD Pegiat Media Warga
AJW tak sekadar apresiasi, juga mempertemukan sejumlah pegiat media warga dalam diskusi terfokus tentang perlindungan hukum. Kegiatan ini dihelat sehari sebelum malam AJW di Denpasar.
Diskusi ini menindaklanjuti kedatangan Direktur Combine, Imung Yuniardi dan Ferdhi ke gudang lama BaleBengong di Jl Noja Ayung, Denpasar yang berbuah kolaborasi AJW ini. Diskusinya saat itu serius. Apa dan siapa itu media warga? Lembaga pendampingan media komunitas berusia 18 tahun bermarkas di Jogja ini memiliki kerisauan sekaligus harapan untuk penguatan media dan pewarta warga.
Wah senang sekali ada yang kan mengayuh perahu ini bersama. Sejak awal AJW dihelat, kami selalu membuka kolaborasi terbuka. Tak hanya sekadar sponsor atau donatur tapi juga pemikiran, dan pelaksana dari nol bersama.
Dengan dukungan Combine, skala penjaringan karya kembali dibuka secara nasional. Sebelumnya AJW 2017 juga pernah mengundang peserta dari luar Bali dengan berkolaborasi dengan 11 media warga/komunitas. Pewarta warga bisa mendaftarkan karyanya yang sudah terpublikasikan di 12 media yang terlibat dalam AJW. Namun, kolaborasi ini kurang erat, karena sekadar partisipan. Tak terlibat menyiapkan dan melaksanakan seluruh tahapan kegiatan AJW.
Namun, tahun ini, AJW 2019 hampir mendekati harapan, Combine dan BaleBengong patungan pembiayaan. Baik dari kas sendiri atau menggalang donasi tambahan dari pihak lain. Seperti tahun lalu, BaleBengong membuat Bazar Sembako. Menyatukan produk-produk pangan lokal berkualitas dari sejumlah desa di Bali, yakni garam laut dari Amed dan minyak kelapa Nyuhetebel (Karangasem), gula aren Besan (Klungkung), dan beras merah dusun Pagi (Tabanan).
Program rintisan adalah Melali Bareng Musisi ke dua desa produsen bazar sembako, Nyuhtebel dan Pagi. Bersama dua biduan folk indie Bali, Dadang SH Pranoto (vokalis Dialog Dini Hari) dan Guna Warma (Nosstress). Sebuah perjalanan Jer Basuki Mawa Desa sekaligus penelusuran produk bazar sembako dengan berkunjung langsung ke petani dan desanya.
Tak hanya musisi yang terlibat, namun banyak pihak yang melengkapi kisah perjalanan Melali ini. Misalnya mengajak GoodFriendBali, sebuah travel agent anyar, dirintis dua anak muda yang mengampanyekan tur beretika, ramah lingkungan, dan adil.
Kemudian pembelajaran tambahan dari penggunaan SunZet, generator listrik dari tenaga surya yang bisa mengakses area outdoor untuk memasok listrik konser mini. Di Dusun Pagi, konser dihelat di tengah sawah yang baru saja panen padi merah atau padi tinggi, pertanian yang terus dilestarikan secara ekologis. Tim SunZet dikomando Gung Kayon sudah menjemur panel di tengah sawah sejak pagi untuk menabung energi yang akan digunakan mulai sore hingga petang.
Melali di Pagi terasa kurang lama, karena rangkaian kisah sambung menyambung, dari praktik koservasi burung hantu (celepuk) sebagai predator alami tikus sawah, keberadaan sarang celepuk sebagai penanda sumber air, sampai filosofi padi Bali. Matahari sudah menggelincir ke horison, Dadang mulai memetik gitarnya ditemani aroma padi yang sedang dijemur. Puluhan warga mendekat, menikmati lagu-lagu Kubu Carik dan Dialog Dini Hari.
Melali di Karangasem pun seperti kekurangan waktu. Mulai dari sejarah lokasi ngopi yakni Banjar Karangsari yang unik, mengenal belasan jenis pohon kelapa di kebun, sampai pembuatan minyak kelapa.
Diskusi kelapa harus dipotong untuk menyongsong sisa senja di Bukit Pekarangan, Ngis. Makan bersama, megibung dengan menu sate pepes ikan Mendira sebelum menikmati suara merdu Guna Warma Kupit. Melali Karangasem melintas dua desa bertetangga. SunZet knock down pun berperan sentral, karena outlet listrik terdekat di kaki bukit, sekitar 100 meter.
Fiuh, perjalanan AJW 2019 yang cukup panjang dan mengejutkan. Sampai jumpa di AJW 2020. Siap berkolaborasi? [b]
Foto-foto: Risky, Vifick, dan Fauzi.