Jalan di kawasan Kuta, Badung, Bali, lain dari hari-hari biasa. Sepi. Ini terjadi sejak pandemi melanda negeri, tak terkecuali di jantung pariwisata yang terkenal di seantero dunia tersebut.
Pagi sisakan hangat mentari saat sepeda motor saya memasuki Jalan Camplung Tanduk, Seminyak, Kuta, beberapa waktu lalu. Saya ingin mengunjungi sebuah toko buku yang papan penunjuknya saya lihat di beberapa ruas jalan. Tak sampai sepuluh menit, saya tiba di toko tersebut.
Terletak di ujung jalan menuju pantai, bangunan sederhana yang teduh oleh banyak pohon seperti menyambut kedatangan saya. “Made Bookshop”, nama toko buku itu. Pemiliknya bernama Pak Made Sutomo yang berasal dari Tabanan, sebuah kabupaten di barat Kota Denpasar. Ia tersenyum ramah kala saya memperkenalkan diri dan masuk ke toko bukunya.
Pak Made bercerita, ia mulai berjualan buku sejak tahun 1986. Pada waktu itu, pariwisata Bali sedang berjaya. Banyak bidang usaha yang digeluti warga lokal, salah satunya toko buku. Kata dia, puncak bisnis buku di Kuta sekitar tahun 1990 hingga 2000-an. Ada lebih dari 15 toko buku yang ia ingat pernah ada di Kuta. Buku yang dijual berasal dari hotel-hotel dan bungalow, yang ditinggalkan oleh para turis sehabis mereka selesai membacanya.
“Biasanya, saya mendapat buku dengan harga sangat murah yang dijual kembali. Labanya lumayan besar. Jenisnya beragam, seperti novel, buku spiritual, motivasi, dan cerita anak. Ada yang berbahasa Inggris, Jerman maupun Perancis,” katanya.
Buku yang dibeli dari toko buku milik Pak Made bisa ditukar kembali dengan buku lain. Karena itulah ketersediaan buku bisa terjaga. Harga jual buku berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 75.000. Pembeli biasanya turis mancanegara dan turis domestik yang kebetulan berwisata ke Bali.
Ditanya tentang distribusi buku, Pak Made menjelaskan toko bukunya bisa dibilang konvensional, hanya melayani pembeli secara langsung. Namun, ia mulai menjajaki penjualan secara daring atau online yang dimulai sejak Maret 2020, masa di mana pandemi mulai terjadi dan membuat jumlah pengunjung toko bukunya menurun drastis.
“Saya dibantu anak perempuan saya untuk memasarkan buku di media sosial dan marketplace. Juga mengemas dan mengirim menggunakan jasa ekspedisi,” ujar pria ramah ini.
Pak Made Sutomo adalah salah satu penjual buku yang masih bertahan. Sejak sepuluh tahun lalu, banyak penjual buku di wilayah Kuta mengalami kebangkrutan dan menutup usahanya. Penyebabnya kompleks, mulai dari harga sewa toko yang kian mahal dari tahun ke tahun, menurunnya minat baca masyarakat, hingga munculnya buku digital atau e-book menjadi penyebab toko buku tak lagi menjadi primadona seperti di masa lalu.
“Di tahun 2020 saja ada enam toko buku yang tutup di Kuta. Saya bertahan karena dengan menjual buku saya merasakan kebahagiaan, bisa berbagi pengetahuan dengan banyak orang, berbincang tentang buku yang disukai, atau menolong kawan lain yang mulai merintis usaha buku. Di situ saya menemukan kepuasaan batin yang tak bisa dinilai hanya dengan uang,” pungkasnya.
Iffah, seorang kawan penjual buku di Yogyakarta punya cerita berbeda. Ia berjualan buku karena sang ayah tempat ia belajar banyak tentang bisnis buku. Ayahnya mulai berjualan buku sejak 1990. Waktu itu awalnya buku-buku yang dijual untuk kebutuhan turis di Yogyakarta.
“Sampai beliau memiliki toko buku kecil di tourist area di wilayah Malioboro bernama Rama Bookshop hingga 1998. Pada 2005, ayah saya pindah ke daerah selatan, lalu tutup lagi pada 2010,” katanya.
Tutupnya toko buku, menurut Iffah, karena turis asing lebih percaya diri dengan android-nya. e-book dan semacamnya membuat banyak perubahan. Dirinya kemudian mengambil inisiatif untuk berjualan secara daring atau online sejak 2010.
“Hal yang membuat saya terjun berjualan buku, karena saya suka membaca dan menulis walau tidak terlalu intens. Juga, saya memiliki minat yang besar pada dunia penerjemahan. Itu membuat saya sering mencari buku dan hunting atau berburu buku bahkan hingga ke tempat-tempat kertas bekas di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya,” tuturnya.
Sama halnya dengan Pak Made di Kuta, Iffah menggunakan jasa ekspedisi untuk mengirim buku-buku kepada para pelanggan baik untuk wilayah pulau Jawa dan luar pulau Jawa seperti Bali, NTB. Sulawesi, Kalimantan, bahkan Papua hingga ke luar negeri.
Ia mengaku senang berjualan buku, terlebih saat sering kali mencarikan buku yang langka di pasaran untuk pelanggan yang memang suka mengkoleksi buku. Baginya, berbagi kebahagiaan tak harus dengan hal-hal besar. Hal yang sering dianggap kecil dan tak bermakna seperti menjual buku bisa membahagiakan dirinya dan membagi kebahagiaan itu dengan memberi potongan harga pada hari tertentu seperti Idul Fitri atau juga saat Tahun Baru.