Bambu adalah material konstruksi bangunan semi permanen, biasanya digunakan untuk rumah masyarakat miskin. Begitulah awal saya memahami bambu di kampus. Tetapi kalimat tersebut terpatahkan saat saya menemukan akun instagram studio desain konstruksi bambu bernama Ibuku. Seperti tidak asing, saya melakukan observasi beberapa menit untuk melihat postingannya. Dan ternyata studio inilah yang mendesain sekolah alam yang terkenal di daerah Badung bernama Green School Bali.
Rasa penasaran mengantarkan saya hadir di acara Ubud Writer and Reader Festival Minggu 20 Oktober 2022 lalu untuk bertemu langsung tiga pendekar bambu, tepatnya di Alchemy Yoga and Meditation Center Ubud. Bangunan utama tempat ini didesain oleh Eleonora Hardy, perempuan pendiri studio desain khusus bambu bernama Ibuku dan juga menjadi narasumber di bincang-bincang hari ini. Ada pula narasumber lain yang hadir yaitu Orin Hardy, ia adalah arsitek yang membuat workshop untuk memfasilitasi siapapun yang ingin belajar tentang bambu. Perusahaannya bernama Bamboo U. Tidak ketinggalan hadir juga Arief Rabik, seorang advokat hutan bambu yang berinisiatif untuk membuat 1.000 desa bambu.
Diskusi awal membeberkan fakta bahwa 40% emisi karbon dunia dihasilkan oleh bidang konstruksi dengan 8% nya adalah emisi dari penggunaan semen. Eleonora berbagi pengalamannya selama tinggal di Kota New York sebagai desainer perhiasan, di mana daerah tersebut lebih banyak menggunakan beton (campuran pasir, air, dan semen). Julukan kerennya “city of concrete jungle”, yang artinya lebih banyak bangunan beton dibandingkan pohonnya. Ia merasakan jiwanya terputus dengan alam dan akhirnya memilih untuk pindah ke Bali agar bisa lebih dekat pada alam.
Saat itu ia sudah tertarik dengan bambu sebagai material konstruksi dan menyayangkan jika masyarakat bali lebih memilih membuat rumah dengan batako (lebih murah dan mudah didapat, pengawetan bambu harganya lebih mahal). Padahal menurutnya bambu di Bali itu persediaannya sangat melimpah, tetapi sekali lagi ia tidak bisa memaksakan kehendaknya dan fokus untuk membuat desain bangunan untuk resort, restoran, villa yang kini mulai diminati pangsa Eropa. Kini, client-nya tersebar di seluruh penjuru dunia.
Menurutnya negara Filipina, Colombia, Spanyol, dan Portugal sangat berambisi untuk mulai membangun menggunakan bambu. Tapi ia juga harus pilih-pilih, karena biaya untuk mengirim bambu dan biaya lingkungan (jejak karbon) ke negara tersebut jauh lebih besar dibandingkan jika negara tersebut memiliki hutan bambu serta tempat pengawetan sendiri.
Masih di payung yang sama dengan Eleonora, tahun 2015 Orin Hardy mulai membuka workshop tentang bambu karena banyak sekali arsitek yang ingin belajar. Tak disangka ada 35 orang yang daftar, ia kaget karena hasil maket (scale model) mereka sangat menarik. Akhirnya dibuatlah kursus tetap bernama Bamboo U.
Saat pandemi covid-19 workshop offline hampir gulung tikar tapi masih banyak email dari orang-orang yang mau belajar, akhirnya Bamboo U membuka kursus online dan sudah diakses lebih dari 100 orang dari seluruh dunia. Di akhir bincang-bincang, iya menyayangkan lebih banyak orang yang tertarik belajar desain konstruksi bambu, dibandingkan orang-orang yang ingin membangun rumah dari bambu.
Arif Rabik sudah lebih dulu terjun di dunia perbambuan. Diawali oleh almarhum Ibunya Linda Garland yang memperjuangkan tumbuhan bambu melalui Yayasan Bambu Lestari, sejak tahun 1993. Sempat memperjuangkan Strategi Nasional dan Rancang Tindak Pelestarian Bambu dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan, yang diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) pada akhir 1997. Dokumen tersebut ditandatangani oleh Sarwono Kusumaatmadja, Menteri LH periode 1993-1998. Namun sayangnya dalam implementasinya terkendala karena situasi resesi negara pada 1998.
Di tahun 2005, Ia mulai masuk ke sektor hulu hingga hilir dan tengah, memberdayakan petani lokal dengan tujuan menggerakkan ekonomi dan meningkatkan kualitas lingkungan. Melalui usaha bernama Indo Bambu Lestari, Arief Rabik membuat produk anyaman (Strand Woven) dan produk yang dipress seperti balok, lantai, dan plywood (Flattened Bamboo). Tahun 2015 gerakan 1.000 desa bambu dicetuskan, Kabupaten Ngada, Provinsi NTT ditetapkan sebagai salah satu desa percontohan.
Sebagai catatan, semen diolah dari material gunung kapur yang fungsi utamanya sebagai penyaring air. Untuk membentuk gunung kapur yang bisa kita dapatkan dengan mudah itu, dibutuhkan puluhan tahun proses alam tanpa campur tangan manusia. Bayangkan bagaimana jadinya jika semua gunung kapur hilang, maka banyak yang hidup dengan air yang kotor dan beracun. Penggunaan oleh manusia ini bisa mensejahterakan rakyat, tetapi jika dieksploitasi berlebihan masyarakat yang tinggal di area tersebut tidak akan bertahan hidup. Jika tertarik mengenai isu ini silahkan membaca artikel tentang perlawanan Ibu-Ibu di Kendeng.
Dalam konstruksi bangunan konvensional (beton), air, pasir dan semen sangat banyak digunakan. Jika diibaratkan kue, menurut saya hingga 80% komposisi bangunan adalah beton, dan sisanya adalah tulangan baja. Dunia modern men-sugesti kita bahwa kita punya banyak pilihan, tetapi sayangnya pilihan itu sudah diatur (monopoli). Bayangkan jika generasi depan hanya berfikir membuat rumah dari beton, apakah ikan hiu bisa mampir ke rumah jika banjir nanti?
Kini episode baru untuk masa depan bambu semakin cerah. Banyak orang yang sudah melirik bangunan bambu dengan kekokohan dan nilai jual yang semakin tinggi. Masa kamu ga tertarik sih? Saya tutup dengan salah satu kalimat dari The Minimalism Documentary. “Perubahan itu tidak bisa dihindari, apakah akan berubah karena desain atau karena bencana?” (Change is inevitable. Are we going to change by design or by disaster?) jawabanya ada pada anda.