Walaupun Denpasar diguyur hujan lebat, namun suasana pagi tadi terasa hangat.
Sekitar 40 penggiat organisasi non-pemerintah (Ornop) dari berbagai isu, seperti lingkungan, perempuan, dan pemberdayaan masyarakat hadir. Ada pula pengusaha, jurnalis, musisi, dan komunitas muda. Mereka berkumpul di warung Virgin Duck Renon, Denpasar. Hari itu mereka ngobrol ditemani kopi dan pisang goreng hangat.
Acara Obrolan Akhir Tahun kali ini digagas Forum Fair Trade Indonesia (FFTI), organisasi payung untuk para penggiat perdagangan berkeadilan di Indonesia. FFTI beranggotakan pengusaha, pengrajin, maupun Ornop berbisnis dan peduli dengan people & planet. Obrolan Akhir Tahun rutin diadakan FFTI sejak 2010. Tujuannya untuk bertukar informasi kegiatan yang telah dilakukan selama setahun masing-masing lembaga.
Setelah itu, tiap orang juga berbagi ide-ide sekiranya ada kegiatan bersama yang bisa dilakukan di tahun berikutnya.
Dua jam pertama obrolan diisi dengan sharing kisruhnya perselisihan antara salah satu media massa dengan pemimpin Bali. Berbagai opini disampaikan mengenai isu ‘panas’ tersebut. Lalu dilanjutkan dengan keresahan kaum muda akan lembaga pendidikan di Bali yang menurutnya akhirnya mencetak ‘buruh’, bukan pemimpin yang bertekad penuh untuk ‘merebut kembali’ Bali dari investor.
Hal klasik yang dilontarkan berikutnya adalah masalah agama, budaya, adat di Bali. Bagaimana runutan upacara di Bali yang sudah menjadi tradisi turun temurun ternyata mulai dilakoni dengan rasa kekhawatiran hanya sebagai ritualitas semata, dan berdampak pada sisi ekonomi.
Pengamatan lain yang muncul dari teman-teman LSM yaitu kekhawatiran mengenai kaderisasi. Kenapa isu yang muncul saat pertemuan hampir sama dan yang muncul dalam kegiatan-kegiatan LSM di Bali ‘orangnya itu-itu saja atau sering diistilahkan Loe Lagi Loe Lagi’. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah begitu sulitnya mencari orang yang mau menjadi pekerja sosial dan memberikan komitmennya untuk kerja-kerja sosial. Atau mungkin banyak anak muda yang tertarik menjadi vounteer, namun mereka kurang mendapatkan informasi tentang bagaimana cara bergabung.
Satu hal lagi, rendahnya kaderisasi di kalangan LSM diprediksi karena kurangnya cara mengemas isu-isu sosial/lingkungan itu ke dalam bahasa-bahasa sederhana yang lebih mudah dipahami,terutama untuk kalangan muda.
Muncul tanggapan bahwa sebenarnya ‘pengemasan isu’ tersebut sudah mulai terbantu dengan bermunculannya musisi-musisi muda yang peduli. Bisa dilihat sepanjang 2011 banyak musisi yang dalam aksi panggungnya mengampanyekan isu-isu sosial. Cara ini dinilai bagus untuk menarik dukungan karena musik sebagai bahasa universal.
Untuk itu di tahun mendatang, diharapkan upaya ini tetap dilakukan. Kerja sama aktivis dan musisi diperlukan untuk menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat dalam bahasa sederhana dan mudah dipahami.
Persoalan lain yang dimunculkan adalah mengenai kemacetan, sampah, pungutan liar, menjamurnya minimarket yang mematikan pasar tradisional, dan kebutuhan akan transportasi publik. Untuk itu tahun 2012 menjadi tahun harapan bersama, agar semakin banyak orang yang mau peduli dengan isu-isu sosial, lingkungan, yang berdampak pada sesama dan lingkungan.
Pengemasan penyampaian isu dan metode kaderisasi menjadi isu penting yang patut diagendakan, baik secara intern lembaga maupun secara bersama-sama. Selain itu, isu independensi media masih harus dipantau bersama agar tidak menjadi intervensi pihak-pihak tertentu. Dan usulan untuk memaksimalkan pemberdayaan masyarakat desa, agar tidak melulu menjadi ‘target project’, melainkan saatnya mereka yang menentukan nasib mereka.
Obrolan diakhiri dengan makan siang dan foto bersama seluruh peserta diskusi. Semoga obrolan ini membawa dampak positif, inspiratif, dan membawa semangat baru untuk menyongsong tahun anyar 2012.
HAPPY NEW YEAR!