“Ibu saya trauma karena pengalaman saya dirawat di sana..”
Suami Made Sulasih merujuk pada rasa trauma istrinya terhadap rumah sakit umum tempat dia pernah dirawat. Sulasih antre menunggu panggilan dari Balai Pengobatan Umum Puskesmas II Denpasar Timur Mei lalu.
Ia menunjukkan kartu Asuransi Kesehatan (Askes) ketika ditanya jenis Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang ia gunakan. Dia bergabung dengan Askes didaftarkan dari tempat suaminya bekerja. Sulasih mengatakan baru menggunakan di Puskesmas saja. Suaminya yang pernah menggunakan Askes untuk rujukan, saat operasi hernia.
Beberapa saat kemudian suami Made Sulasih datang, baru kemudian giliran Sulasih memasuki balai pengobatan. Suaminya lalu bercerita mengenai pengalamannya memerlukan perawatan kira-kira sebulan setelah operasi Hernia. Hal tersebut membuat istrinya enggan pergi ke rumah sakit umum daerah tersebut ketika punya keluhan.
“Istri memiliki beberapa keluhan, salah satunya terkait lambung,” katanya.
Di sisi ruang tunggu lain, seorang ibu berambut pendek duduk di dekat pintu masuk balai pengobatan umum. Warga Desa Tonja ini mengantar kakaknya yang memiliki tekanan darah tinggi. “Anak yang pakai BPJS,” katanya.
Berdasarkan ceritanya, anaknya pernah akan menggunakan JKN untuk melahirkan di salah satu rumah sakit penyedia layanan BPJS. “Tapi ketika datang baru bukaan satu,” tambahnya. Tetapi, karena khawatir menunggu hingga bukaan lengkap, akhirnya keluarganya memutuskan untuk meminta dirujuk ke rumah sakit lain dan melahirkan dengan tindakan Caesar tanpa menggunakan JKN.
Putu Surti, pasien lain yang berkunjung hari itu tidak memiliki keluhan khusus terkait layanan JKN yang ia gunakan. Perempuan yang tinggal di jalan Sedap Malam Denpasar ini peserta Jamkesmas, juga bagian dari JKN. Surti sudah menggunakan Jamkesmas selama tiga tahun.
“Gak ada susahnya, cuma nunggu-nunggu aja kayak di sini,” katanya. Surti juga menjelaskan tidak ada perbedaan layanan yang ia dapatkan.
Gusti Ayu Putu Widiani, sering tampak mengunjungi layanan kesehatan tingkat pertama ini. Mertuanya, Gst Nyoman Rai Bedog, pengguna aktif JKN, baik di fasilitas rujukan pertama maupun lanjutan. “Sekarang ada loket khusus lansia dari 61 tahun keatas, jadi lebih mudah,” kata Gusti Ayu Putu Widiani.
Loket khusus ini, kata Gusti Ayu Putu widiani berada di loket 4 di Sanglah, layanan kesehatan tingkat lanjut yang rutin dikunjunginya.
“Dulu bapaknya yang nunggu dari jam 4 untuk mengambil nomer antrean, kemudian saya yang mengantre mulai dari jam setengah 8, sekarang datang aja langsung jam setengah 8,” katanya gembira.
Widiani juga menambahkan saat bertemu dengan pasien kanker lain, dokter menyarankan menggunakan JKN. ”Mereka baru kemoterapi pertama, oleh dokternya disarankan menggunakan JKN,” katanya.
Ny. Utami, 58 tahun, menggunakan Askes. Perempuan yang saat itu sedang mencari surat rujukan ini tinggal di Bali karena ikut anaknya. “Bisa pindah rujukan pertama 3 bulan sekali, saat ini rujukan pertama disini, tapi nanti kalau saya ke Medan, pindah,” katanya mengenai fleksibilitas JKN.
Utami saat itu mencari rujukan ke Rumah Sakit Umum Angkatan Darat (RSAD), karena hasil tes kolesterolnya tinggi. “Untuk keperluan naik haji,” katanya.
Meskipun begitu perempuan ini pernah mengalami kesulitan menggunakan JKN karena tidak memakai aturan rujukan berjenjang. Pengalaman tersebut ketika ia sakit tifus dan cek laboratorium di Surabaya, karena tidak ada yang merawat minta rujukan ke Denpasar. “Tetapi, rujukan tidak diterima,”katanya. Ia merasa dipersulit hingga memutuskan untuk dirawat sebagai pasien non-JKN, “kalau pasien umum bisa langsung dilayani,” tambahnya.
Terkait kepuasan layanan ini memang subyektif. Tiap-tiap orang merasakan berbeda, tergantung pengalamannya sendiri atau orang di sekitar mereka. Tetapi, standar layanan kesehatan yang dibuat masing-masing layanan kesehatan tentu tidak subyektif. Hal ini yang seharusnya bisa menjadi jaminan bagi para pengguna JKN di layanan manapun yang mereka akses. [b]