Sore itu Kelas Jurnalisme Warga Desa Akah baru saja selesai. Seperti pelaksanaan KJW-KJW yang lainnya, kami bergegas kembali pulang ke Denpasar. Bedanya, KJW Akah di Klungkung kali ini kami tidak menyewa transportasi dengan cara booking. Sebab, kami merasa Klungkung dan Denpasar itu dekat. Begitu juga Klungkung sudah mudah diakses. Dengan yakin kami mengandalkan aplikasi hijau untuk cari transportasi untuk pulang.
Tapi apa yang terjadi? Setelah 30 menit menunggu, aplikasi itu tak dapat menemukan driver untuk kami, tim BaleBengong. Alhasil, meminta bantuan para panitia KJW dari Desa Akah adalah jalan ninja. Saat itu, Sekdes Akah, pendamping desa sibuk mencarikan driver, tapi tak juga dapat karena saking mendadaknya. Akhirnya, Nyoman Suharte, panitia KJW Desa Akah, mendapat jawaban yang diharapkan lewat telfon.
“Bapak ade jumah? Orain bapak ade muatan… (Bapak ada di rumah? Kasi tau bapak, kalau ada penumpang)” jelas Nyoman dari seberang telfon ke anak sopir yang kebetulan mengangkat telepon.
Dengan segala pertimbangan, akhirnya kami bertemu Pak Kobel, nama trennya di Desa Akah. Ia adalah seorang sopir bemo yang mengangkut siswa secara gratis, salah satu program pemerintah Kabupaten Klungkung untuk siswa dan sopir bemo. Tanpa banyak basa basi, kami langsung naik bemo merah pak Kobel. Jika biasanya waktu tempuh Denpasar – Klungkung menggunakan mini car 45 menit – 1 jam, dengan bemo kami tempuh dengan waktu 1,5 jam. Saat itu kami memastikan lagi, berapa jam perjalanan ke Denpasar. Dengan tegas pak Kobel menjawab 1,5 jam.
Benar sekali perkiraan pak Kobel. Waktu itu kami berangkat jam setengah enam sore, sekitar jam 7 malam kami sampai dengan selamat di kantor BaleBengong. Jadi salah satu pengalaman seru pulang KJW diantar pak Kobel. Sepanjang jalan perlahan saya dan pak Kobel bercengkrama.
“Pak, kita pemutar musiknya bisa dipakai?” tanya saya.
“Bisa, pake bluetooth aja,” terang pak Kobel.
Semakin senang perjalanan ini karena bisa melalui dengan alunan lagu-lagunya Tulus, yang terputar random dari Spotify saat itu.
“Pak, dari kapan jadi sopir?” tanyaku memulai percakapan.
“Pakai mobil ini saja sudah sejak 1998,” jawabnya.
Ternyata, bemo merah yang mengangkut kami sepulang KJW sudah berumur 25 tahun. Tapi mengingat riwayat pak Kobel menjadi sopir bahkan sudah lebih lama dari itu. Ia menuturkan sudah 3 kali ganti mobil. Pertama, ia menjalankan bemo sejak tahun 1991, selepas 5 tahun ia ganti mobil lagi di tahun 1996. Hingga akhirnya bertemu bemo merah yang hingga kini masih ia jalankan dan urus dengan baik.
“Tiang nak meburuh, montore gelah nak Selat (Saya hanya buruh, mobil ini milik orang Desa Selat),” tuturnya.
Hak kepemilikannya sudah seperti anak angkat. Bemo merah ini ia bawa pulang ke rumahnya dan tidak pernah lagi memberikan setoran dari hasil penggunaannya ke pemilik.
“Uling tahun 2001 be sing taen nyetor, tapi ne ngelahang masih sing masalah. Yang penting montorne mejalan (Sejak 2001 tidak pernah memberikan setoran, tapi pemilik tidak pernah mempermasalahkan. Yang penting bagi pemilik, bemo itu dioperasikan),” katanya.
Pernah sesekali Kobel menawar agar bemo merah itu ia beli sehingga menjadi miliknya. Namun, tak pernah diizinkan. Pemiliknya tak pernah mau menjual dan hanya ingin bemonya tetap dioperasikan.
“Asal pas ne ngelahang perlu, irage harus siap, nuju lakar luas joh, ne nyupirin masih pak (Asal ketika si pemilik perlu, saya harus siap, ketika dia keluar jauh, yang jadi sopirnya juga saya),” tutur Kobel.
Kobel sangat bersyukur ketika ada inovasi Angkutan Siswa Gratis dari Pemkab. Sebab menjadi sopir di tahun-tahun ini tidaklah mudah. Tak ada lagi yang menggunakan angkot untuk bepergian. Sebagian besar orang di Klungkung, bahkan di Bali lebih luasnya, sudah menggunakan sepeda motor setiap bepergian.
Kobel masih ingat saat-saat sekitar tahun 2005, bemo adalah transportasi paling laris digunakan hampir semua orang. Mengangkut orang-orang dari desa ke pasar, atau hanya sekadar mengantar anak-anak liburan dari rumah ke super market. Tak menunggu waktu yang lama, hitungan 10 tahun setelah masa itu, bemo perlahan ditinggalkan secara pasti. Kini Kobel bercerita, muatan yang masih sering ia angkut dengan bemo hanya pedagang-pedagang pasar tradisional dari desa yang berangkat dini hari. Selain pedagang itu, tentu saja penghasilan Kobel mengacu pada gaji bulanan program Kabupaten Klungkung yang mengaktifkan kembali sopir bemo di Klungkung melalui Angkutan Siswa Gratis.
Tiap hari sekolah ia mengangkut siswa dari pagi. Kembali menjemput siswa pada sore hari ke titik-titik penjemputan. Tapi menurut Kobel meski penghasilan minim, ia tetap menikmati mengendalikan bemo merahnya hingga kini. Dari perjalanan ini saya berefleksi, bagaimana perubahan penggunaan transportasi mengubah jalur ekosistem di Bali.
Mungkin jadi hal yang lebih cepat dan praktis, tapi sekaligus memunculkan masalah dalam waktu bersamaan. Transportasi pribadi yang semakin hari semakin masif peningkatannya. Persoalan semakin sedikit pedagang di pasar tradisional yang tak lagi tradisional karena pasar di Bali dibuat seperti mall. Dan cerita sopir bemo seperti Kobel menjadi pemeran tengah yang hanya bisa mengikuti arus perubahan. Lantas, sebenarnya perubahan dan pembangunan untuk siapa?