Lebih 17 ribu pulau di Indonesia. Namun, investor malah ingin membuat pulau buatan di sejumlah daerah.
Cara membuat atau menambah daratan adalah reklamasi. Gampangnya, mengurug sejumlah area laut dengan material sekitar atau daerah lain. Bisa pasir dari dalam lautan atau bahan lain.
Saat ini sebagian warga Bali terus mengampanyekan penolakan pada rencana reklamasi yang dilakukan investornya PT. TWBI di Teluk Benoa. Kawasan ini memang sangat strategis di pusat turisme, Selatan Bali. Hanya beberapa menit menuju bandara Ngurah Rai dan dilalui sejumlah ruas jalan tol di atas perairan. Di sekitarnya adalah kawasan resor elit Nusa Dua yakni lokasi event-event internasional, Tanjung Benoa pusat wisata air, dan Pelabuhan Benoa.
Sebelahnya juga ada daratan Serangan. Dulunya pulau, yang direklamasi PT. BTID lalu mangkrak sejak tahun 1998. Pulau yang di masa lalu terkenal sebagai pulau penyu karena menjadi salah satu habitat penyu bertelur dan wisata penangkaran penyu.
Mari menengok Serangan, belasan tahun upaya konservasi pasca dampak reklamasi yang tak mungkin mengembalikan keelokannya sama seperti dulu.
Sebagian wilayah Serangan hasil reklamasi masih gersang. Pohon cemara masih bertahan di hamparan batu kapur. Sebagian besar lahan dimiliki investor. Sementara sebagian kecil adalah wilayah pemukiman. Di area ini, sebuah kelompok nelayan masih bertahan melakukan upaya konservasi.
Melakukan perbaikan yang sulit dilakukan. Mencoba membuat ekosistem baru, karena perairan rusak pasca reklamasi. Nelayan yang kehilangan pekerjaan pasca reklamasi memilih menambang terumbu karang untuk dijual atau bahan bangunan. Menangkap ikan dengan sianida dan langkah instan cari duit lainnya. Hingga kini mereka masih menumbuhkan terumbu karang dan merayu ikan-ikan datang lagi.
Suatu hari pada akhir 2004, puluhan warga berpakaian adat memenuhi pantai timur Serangan. Ada anak-anak SD, pegawai negeri, serta pejabat. Di atas hamparan karang mati, siang itu hadir Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi yang mencanangkan program mitigasi kerusakan terumbu karang nasional. Sengaja dilakukan di Serangan karena di tempat ini sudah berlangsung rehablitasi terumbu karang oleh warga setempat.
Saat ini luas Pulau Serangan empat kali sekitar 481 hektar. Luas ini empat kali lipat dari luas awal sebelum reklamasi pulau kecil di selatan Kota Denpasar itu. Sebuah perusahaan, Bali Turtle Island Development (BTID) membuat pulau seluas 112 hektar itu menyatu dengan daratan Pulau Bali. Mereka menguruk selat kecil antara Bali daratan dengan Pulau Serangan.
BTID berniat membuat sebuah resor di pulau itu. Naas, proyek itu kini mangkrak, karena krisis ekonomi pada 1998. Tapi, Serangan kadung menjadi lahan telantar.
Sejak 2003, dimotori salah satu anak muda setempat I Wayan Patut, sejumlah warga mendirikan Kelompok Nelayan Karya Segara. Mereka membuat bibit karang, melakukan trasplantasi karang, dan menghidupkan karang-karang kembali. Caranya dengan memotong bibit terumbu karang dari induk yang subur setinggi 3 cm. Jenis karang yang diambil adalah jenis acrophora karena jenis ini cepat tumbuh. Bibit itu lalu diikat pada sisa-sisa batu karang yang ditambang sebagai substrat. Cara ini sama dengan yang dilakukan Yayasan Bahtera Nusantara di Desa Les, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng.
Untuk penanaman pertama, ditenggelamkan 600 stek di lahan 1 are. Bibit tersebut diperoleh dari sekitar lokasi rehabilitasi. Dengan cara itu dalam sebulan terumbu karang sudah tumbuh 0,8 – 1 cm. Selain itu bentuknya juga mengembang dengan bagus.
Pihak yang mendukung makin bertambah yaitu dinas lingkungan pemerintah Kota Denpasar dan beberapa LSM. Saat ini jumlah stek terumbu karang sudah ribuan. Jenisnya antara lain acrophora, policophora, dan montiphora.
Karang-karang ini dibentuk sesuai desain tertentu misalnya piramida, penyu, pulau Serangan, maupun dolphin. Agar mengikuti bentuk desain, bibi tersebut diikat pada kerangka besi atau kerangka beton. Ada lima bentuk piramida yang ukuran rata-ratanya 7 x 7 meter persegi, empat bentuk rumah tradisional Bali saka (tiang) empat berukuran 2 x 2 meter persegi, tiga bentuk penyu, empat bentuk dolphin, serta satu bentuk kuda laut. Total terumbu karang tersebut luasnya sekitar tiga hektar.
Total luas yang akan ditanami terumbu karang mencapai 10 hektar. Setelah karang tumbuh, secara bergantian mereka melakukan pemeliharaan setiap minggu sekali. Karang dibersihkan dari sedimentasi, rumput laut, dan ganggang. Secara suka rela, puluhan anggota Karya Segara, memelihara terumbu karang tersebut. Hal ini karena mereka menginginkan nantinya terumbu karang tersebut tidak hanya berguna bagi lingkungan tapi juga ekonomi.
Luh Made Intan, warga Badung, sudah pernah menikmati pengalaman snorkeling pertamanya di pesisir Serangan, Denpasar Selatan. Bersama kedua teman perempuannya selama 45 menit Ia melihat hamparan terumbu karang buatan dan kuda laut yang dibiakkan oleh sejumlah nelayan sekitar.
“Pertumbuhan karang yang ditransplantasi masih kecil, tapi ikan-ikannya sudah banyak,” kata Intan berbinar. Ia membayar Rp 300 ribu untuk satu perahu bersama tiga temannya setelah negoisasi harga. Harga standar yang ditetapkan Kelompok Nelayan Karya Segara sekitar Rp 150 ribu per orang untuk snorkeling dan Rp 300 ribu untuk diving. Itu sudah termasuk sewa perahu, guide pendamping, dan perlengkapan snorkeling atau diving.
Dari pantai, hanya perlu lima menit perahu sudah tiba di pos snorkeling pertama yakni Tanjung Uban-uban. Di sini menurut Intan, tempat menyemai terumbu karang yang baru dicangkokkan. Jarak pandang ke dasar laut sekitar 2-3 meter. Setelah itu, lanjut ke pos kedua yang juga tak begitu jauh, yakni Tanjung Carik.
“Kami melihat dua candi bentar dan patung kuda laut di sekitar terumbu yang sudah mulai tumbuh besar,” lanjut Intan. Selain ikan hias, barisan kuda laut berwarna hitam yang dibiakkan nelayan juga tersebar di sekeliling taman buatan ini.
Selain snorkeling, Ia dan temannya mengetahui cara transplantasi karang dan pembiakan kuda laut di markas kelompok nelayan Karya Segara, operator wisata bawah laut ini.
“Wisata snorkeling dan diving ini sangat membantu menambah penghasilan kami sebagai nelayan musiman,” kata I Nyoman Dongker, anggota koperasi nelayan Karya Segara yang juga guide wisata air ini. Dongker adalah satu dari sekitar 3000 orang warga Pulau Serangan yang mendapat dampak negatif reklamasi.
Mereka berkomitmen meningkatkan penghasilan dari program ini, setelah usaha transplantasi terumbu dan pembiakan kuda laut berhasil. Puluhan nelayan ini pada 2011 mendapat Kalpataru dari presiden dan menargetkan pesisir yang bisa dikonservasi 10 hektar selama 15 tahun. Area yang dikonservasi baru dua hektar selama 8 tahun. “Kami optimis bisa 10 hektar pada 2018 nanti,” ujar I Wayan Patut.
Makin banyak wisatawan atau pelajar yang berkontribusi dalam wisata air ini sehingga menyemangati nelayan melakukan konservasi. Kelompok Nelayan Karya Segara juga sedang membuat pemetaan kawasan konservasi ini untuk memastikan perlindungannya. Menurutnya warga harus bisa menjaga wilayah konservasinya secara berkelanjutan dan mendapat manfaat dari itu.
Sebagai langkah awal, Desa pekraman setempat sudah mengadopsi peraturan adat tertulis (awig-awig) soal konservasi ini. “Dalam awig-awig sudah dinyatakan dilarang merusak ekosistem dan menjaga wilayah konservasi beserta lokasinya,” tambah Patut.
Kelompok nelayan ini tak ingin kembali menerima fakta pahit, tanah kelahirannya hilang karena investor.
Kelola sampah daratan
Tak hanya sampah dan kerusakan di laut yang harus ditangani. Limbah darat juga menjadi masalah krusial, salah satunya agar tak merusak ekosistem bakau. Bakau adalah pelindung sekaligus asset area ini.
Baru tahun ini, warga Pulau Serangan memiliki pusat pengelolaan sampah terpadu. Mereka berencana mengolah sampah sampai zero waste, tidak ada lagi yang perlu dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, TPA terbesar di Bali yang menjadi tetangga dekat mereka.
Lahan tandus hampir dua hektar itu biasanya terlihat kumuh dengan sampah plastik beterbangan di sana-sini. Gerombolan sapi juga sering terlihat ada dalam tempat pembuangan sampah sementara (TPS) warga tujuh banjar/lingkungan di Kelurahan Serangan, Denpasar ini. Sampah hanya ditimbun sehingga menjadi sumber makanan ternak warga sekitar.
Ada papan cukup mencolok berisi gambar seekor penyu dibuat dari kaleng minuman soda bekas. Papan ini bertuliskan “this thrash installation made of 1000 cans collected from Serangan island.” Ada dua papan sejenis lain bertuliskan bank sampah dan bank uang.
Ketika awal-awal program ada komunitas dan LSM yang mendukung. Sejumlah warga sedang mengembangkan program Pengembangan Ekologi Terpadu (PET). Selain memilah sampah juga ingin mengelola hasil olahannya.
Wayan Patut mengatakan ada sekitar 30 pekerja pemilah dan pemungut sampah yang menangani 7 lingkungan yakni Banjar Ponjok, Kaja, Tengah, Kawan, Peken, Dukuh, dan Lingkungan Kampung Bugis. Kampung Bugis di Serangan adalah salah satu komunitas Muslim tua di Bali.
Kompos juga langsung dimanfaatkan untuk budi daya tanaman khas Serangan yang sudah hampir punah seperti bengkoang. “Bengkoang Serangan di masa lalu dibudidayakan orang Nusa Penida di sini dan sangat terkenal karena kecil tapi manis,” ujar Patut.
Bengkoang pernah coba ditanam tapi gagal. Kemudian diganti sejumlah sayuran dan bibit mangrove langka. Tim kecil ini bermimpi pusat pengelolaan sampah ini nanti seperti taman, rimbun. Juga menjadi pusat ekonomi desa yang mengembangkan sejumlah potensi usaha seperti pengolahan rumput laut menjadi tepung dan produk olahan lainnya.
Patut mengatakan selain bengkoang, Serangan juga dulu terkenal dengan kuliner rumput laut yang banyak dibudidayakan warga sekitar sebelum reklamasi.
Patut kini mengaku focus mengelola usaha pengelolaan sampah swadaya ini. Pengelolaan usaha wisata air dan budidaya kuda laut sudah diserahkan ke anggota kelompok nelayan lainnya. “Ini kan usaha bersama, saya sekarang urus kelola sampah dan budidaya bibit bakau,” ujar pria ramah ini.
Tentang rencana reklamasi di Teluk Benoa, Patut mengatakan warga harus benar-benar mengkritisi kajian analis dampak lingkungannya dan apa jaminan jika gagal menjadi lebih baik seperti janji investor. “Saya menolak reklamasi yang merusak mata pencaharian masyarakat setempat. Karena kecenderungannya kan menggusur. Kedua, memastikan ekosistem terjaga dan tak malah rusak,” serunya.
Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan, Bali masih punya banyak masalah yang berhubungan dengan kondisi perairan dan kelautannya. Hasil Bali Marine Rapid Assesment (RAP) 2011 pada 25 site terumbu karang menunjukkan bahwa rata-rata kondisi terumbu karang pada kedalaman 5–7 m adalah kategori baik dengan persentase penutupan karang hidup rata-rata 54%.
Hasil penelitian Sudiarta (2010) dan Bali Marine RAP 2011 menemukan beberapa lokasi terumbu karang di Bali mengalami tingkat kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia yaitu Ceningan Channel, Ped, Glady Willis (Sanur), pantai Pasir Putih (Karangasem), Teluk Gilimanuk, dan Klatakan (Melaya, Jembrana).
Selain menghadapi permasalahan pencemaran oleh air limbah, kawasan pantai dan perairan pesisir juga menghadapi pencemaran sampah yang tergolong sangat parah, terutama di wilayah pesisir Selatan. Pantai-pantai di wilayah pesisir bagian barat (menghadap Selat Bali) menerima sampah kiriman yang rutin datangnya setiap musim barat.
Berton-ton sampah dari berbagai jenis seperti sampah plastik, sterofoam (busa) dan sampah pepohonan (ranting dan batang kayu) menumpuk di seluruh pantai kawasan pesisir barat (Jimbaran, Kedonganan, Kuta, Legian, Seminyak dan Canggu) yang didorong angin barat.