Berpikir kritis berawal dari kesadaran atas kondisi di sekitar kita yang tidak baik-baik saja.
Begitu kiranya acara dibuka oleh Sony Prasetyo. Selama dua hari, 22-23 Januari 2016 bertempat di Taman Baca Kesiman, berlangsung Kelas Pengembangan Pemikiran Kritis.
Dua kawan dari Militan Indonesia, Yohana Ilyasa dan Sony Prasetyo, hadir sebagai pemateri. Kehadiran keduanya disambut peserta dari berbagai unsur. Mahasiswa, jurnalis, aktivis sosial dan kaum muda Bali serius sekali mengikuti kelas tanpa biaya apapun itu.
Sebagai sebuah metode berpikir, selama Rezim Soeharto berkuasa, pemikiran-pemikiran kritis tidak mendapat tempat dalam diskursus pengetahuan di Indonesia. Negara mengontrol pikiran warganya dengan membatasi dan melarang sejumlah buku yang dianggap memiliki paham subversif.
Hal ini menjadi lucu. Pembatasan ini justru menunjukan naifnya cara pandang terhadap pengetahuan. Di sisi lain, teror dan trauma dipelihara oleh Negara, tanpa dorongan mempelajari secara serius berdampak langsung terhadap kebuntuan perkembangan khasanah keilmuan.
Selain itu, intelektual organis menjadi barang langka. Meski rezim telah runtuh, derasnya laju informasi tak diimbangi dengan terbangunnya kesadaran publik. “Kelas Pengembangan Pemikiran Kritis ini memang dirancang guna menyebarluaskan gagasan kritis kepada publik yang lebih luas,” kata Agung Alit, pemilik dan pengelola Taman Baca Kesiman.
Pada hari pertama, peserta diperkenalkan kepada gagasan kritis, dan konsep-konsep dasar yang menjadi rujukan kemunculan perjuangan kaum buruh pada awal kemunculannya.
Pemateri terutama menekankan pada awal kemunculan gagasan kritis ini di Jerman dan Rusia. Sejauh mana gagasan kritis mendorong perubahan-perubahan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, juga disampaikan.
Pada hari kedua, meski telah dimulai lebih awal, semangat kaum muda belajar tampak tidak menyurut. Kelas pun dirasa terlalu singkat, dan memang proses pembelajaran ini tidak mungkin dilaksanakan secara instan.
Secara bercanda, seloroh bahwa sekolah itu pendek, belajar itu panjang menjadi ungkapan keresahan yang dirasakan para peserta.
Dalam proses pelaksanaannya, selain mengkaji sejumlah materi-materi dasar yang telah dipersiapkan, proses belajar juga membuka ruang diskusi seluas-luasnya. Begitu derasnya proses tanya jawab ini, sampai-sampai penyelenggara harus mengingatkan kepada hadirin karena waktu efektif belajar telah selesai.
Semangat kaum muda ini harus disalurkan, bukannya disumbat seperti praktik Rezim terdahulu.
Setelah secara formal kelas ditutup, diskusi santai dilanjutkan hingga jauh malam.
Pentingnya membaca, dan berdialektika, kemudian secara pelan-pelan mengorganisir diri dan orang-orang terdekat mungkin menjadi pesan penting yang disampaikan oleh pemateri. Kesabaran revolusioner perlu dipelihara, agar tidak terjangkit penyakit kanak-kanak aktivis pergerakan, yaitu berapi-api mendorong revolusi padahal kondisi objektif tidak memungkinkan.
Semangat kaum muda ini harus disalurkan, bukannya disumbat seperti praktik Rezim terdahulu. Taman Baca Kesiman, yang memiliki koleksi buku-buku berjumlah ribuan, tentu menjadi strategis sebagai arena belajar bersama di Denpasar.
“Memang rencananya ke depan kita ingin menyelenggarakan Kelas Pengembangan Pemikiran Kritis ini secara teratur. Tentu materi yang ditawarkan disesuaikan dengan kebutuhan peserta,” lanjut Agung Alit.
Inisiatif ini tentu perlu diapresiasi, karena jarang sekali ada ruang-ruang belajar aktif yang menginiasi gagasan kritis.
Masifnya Gerakan Bali Tolak Reklamasi yang telah berlangsung selama tiga tahun, mendorong kepedulian masyarakat luas terhadap perkembangan Bali. Akan tetapi, kita tidak dapat memisahkan aksi dari teori. Kesinambungan antara membangun kesadaran kritis dan proses aksi di lapangan menjadi bekal guna menghadapi tantangan kedepannya.
Semenjak kapitalisme telah mengeksploitasi seluruh ruang hidup dari subjek manusia, terutama desakan industri pariwisata, sudah saatnya penyemaian gagasan kritis menjadi penting. Perlawanan harus mengarah langsung ke jantung sistem yang ekspolitatif ini. Dan gagasan kritis menjadi bekal penting guna meneruskan perjuangan ini.
Sejauh mendukung munculnya kesadaran publik, dan secara tegas berpihak kepada kaum tertindas, inisiasi-inisiasi serupa perlu didorong. Pekerjaan ini tentu perlu dilakukan secara bersama-sama, dan melibatkan seluas-luasnya partisipasi publik, terutama sekali kaum muda Bali.
Mudah-mudahan, hari-hari ke depan ini kita mendapati inisiatif serupa dari kaum muda, secara mandiri membangun dan menyebarkan gagasan kritis ini di Bali. [b]
Comments 2