Inilah kisah para pekerja seks untuk menghentikan penyebaran HIV.
Reni, 52 tahun, salah satu ibu rumah tanggal tangguh yang sempat menjadi pekerja seks di Denpasar. Saat ini Reni merupakan orang dengan HIV AIDS (ODHA) sekaligus pendamping sebaya (PS) untuk pekerja seks di Yayasan Kerti Praja Denpasar (YKP).
Pengalaman berhubungan langsung dengan pekerja seks memberikan lebih banyak akses baginya untuk mensosialisasikan program penurunan penyebaran HIV AIDS.
Sepuluh tahun lalu Reni kali pertama menjadi pekerja seks. Ekonomi merupakan salah satu alasannya memilih pekerjaan tersebut. Perceraian dan mempunyai empat anak membuatnya menjadi penopang ekonomi keluarganya. Di tahun yang sama Reni tahu dirinya terkena HIV ketika ada pemeriksaan dari Puskesmas setempat.
“Saya merasa shock. Namun, lama kelamaan menjadi biasa, setelah ikut kelompok dampingan. Ternyata banyak yang seperti saya,” ungkap Reni.
Suris, nama samaran salah satu teman Reni yang juga menjadi pekerja seks dan pendamping sebaya, memberikan cara mereka menghadapi pelanggan.
Suris selalu deal untuk pake kondom dengan pelanggannya. Dia pernah dikasih uang banyak, tetapi menolak karena tanpa menggunakan kondom. Malahan dia pernah sekali dapat pelanggan dengan kutil kelamin. Dia pun langsung memberikan pelajaran tentang kesehatan kelamin.
“Akhirnya dia memberikan uang ke saya tanpa memberikan jasa,” katanya.
Dewa Nyoman Suyetna, Koordinator Lapangan YKP, mengatakan hingga akhir April saja sebanyak 489 orang telah melakukan voluntary counseling and testing (VCT) atau biasa dikenal dengan sebutan tes HIV. Empat belas di antaranya positif HIV.
YKP yang berdiri tahun 1992 memberikan layanan pendampingan dan perawatan untuk ODHA, terutama pekerja seks. Dalam pendampingan tersebut, YKP menghadapi sejumlah masalah. Di antaranya klien tidak mau untuk tes, belum siap menerima hasil, dan takut ketahuan temannya. Padahal, pasien HIV sangat dijaga privasinya agar tidak diketahui orang lain.
Masalah lainnya yaitu lost followup (hilang kontak). Banyak yang tidak bisa dikontak terutama populasi kunci (kelompok berisiko tinggi). “Setelah sakit parah baru datang kembali ke sini,” tutur Dewa.
Hingga kini belum ada obat yang bisa menyembuhkan infeksi virus HIV, tapi setidaknya terapi antiretroviral (ART) dapat membantu memperlambat perkembangan virus di dalam tubuh hingga menjadi AIDS. Orang terinfeksi dapat menjalani hidup lebih lama. Bahkan tetap dapat beraktivitas normal layaknya orang sehat.
Terapi antiretroviral (ART) adalah kombinasi beberapa obat antiretroviral digunakan memperlambat HIV berkembang biak dan menyebar di dalam tubuh. Obat antiretroviral sendiri adalah pengobatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus, terutama HIV.
Terbuka
Dengan terapi ART, ODHA bisa menghadapi hidupnya seperti orang sehat pada umumnya. Begitu pula dengan Reni.
Dia merasa bangga akan dirinya saat ini menjadi ODHA yang terbuka. Maksudnya dalam arti positif ia bisa menjadi jembatan untuk masyarakat maupun ODHA di luar sana, berani terbuka dan mengobati dirinya sendiri untuk kehidupannya, jangan sampai ada diskriminasi kepada ODHA.
Pengalaman paling berkesan menurut Reni saat ia diundang ke acara perkumpulan pastor Bali. Reni mengatakan dia tidak banyak menemukan diskriminasi terhadap ODHA maupun pekerja seks, khususnya di Bali.
“Saya pernah tampil di depan kumpulan pastor se-Provinsi Bali tapi tidak ada stigma dan hujatan,” ujarnya.
Menurut Reni dan Suris di luar Bali diskriminasi ODHA masih tinggi. Jangankan dipedulikan, untuk berobat saja mereka masih menjadi bahan pergunjingan. Datang ke Puskesmas masih mendapat diskriminasi dari masyarakan maupun pegawai Puskesmas.
“Perbedaan daerah selain Bali masih kurang edukasi, dan masih ada stigma yang saya ketahui. Itu memberikan hal yang tabu. Termasuk diskriminasi dari orang puskesmas,” tutur Reni dan Suris.
Meski bangga, Rini berpesan agar masyakat tetap menjaga dirinya untuk terhindar dari HIV AIDS. Satu hal penting, HIV AIDS itu jauhi penyakitnya, bukan orangnya. Karena menjauhi ODHA bukan sebuah solusi untuk mengurangi penyebaran, melainkan dapat menyebabkan kurangnya rasa percaya diri hingga menyebabkan kematian.
Di sisi lain, menurut Reni, ODHA juga harus berani dan bangkit. “ODHA jangan terpuruk. Harus berani bangkit, berjuang demi diri sendiri dan keluarga,” tegasnya. [b]