Menurut Google Map tempat ini berlokasi di Kabupaten Tabanan, Bali.
Gunung Catur biasa disebut juga Puncak Mangu. Lokasinya tepat di sisi timur Danau Beratan. Dari lokasi wisata Danau Beratan terlihat jelas pemandangan hutan memanjang.
Berbeda jika di lihat dari sisi barat danau. Membentang dari Selatan ke Utara atau sebaliknya.
Selain memiliki hutan rimbun serta asri, ternyata Puncak Mangu bisa menjadi sarana pembelajaran bagi petualang muda. Didukung dengan akses jalan dari pintu hutan hingga ke puncak, memungkinkan untuk kita belajar sambil bertualang.
Salah satu yang bisa dipelajari adalah ilmu tentang bertahan hidup di alam bebas. Salah satu cara yang wajib diketahui adalah dengan membaca potensi alam yang ada. Kita bisa mengawalinya dengan belajar survival atau bertahan hidup.
Dimulai dengan berjalan, saya, Dharmaning Jayaruchi dan Agus Ari Yuliawanto mendiskusikan, bahwa manusia dalam beberapa hari tidak minum atau dengan kata lain mendapatkan cairan, maka bisa dipastikan orang tersebut akan meninggal.
Berbeda halnya jika tak makan, survivor akan bisa bertahan lebih lama.
Di kanan kiri jalur menuju Puncak Mangu akhirnya kami berbagi cerita tentang tanaman yang banyak mengandung air. Tidak hanya itu. Alam yang menyediakan keanekaragaman hayati harus digunakan secara lestari dan berkelanjutan.
Jika kita dalam keadaan bertahan hidup banyak sekali yang bisa diolah.
Pada ketinggian 1.400 meter dari dasar permukaan laut kami menemukan tanaman Begonia. Biasanya dalam pelajaran survival kita mengkonsumsi batang bigonia yang rasanya masam.
Di pintu masuk terdapat celepukan, buah yang sering kami anggap bunga, karena buah dibungkus kelopak yang menutupi buahnya. Kami juga mengenal arbey hutan, semanggi dengan rasa malamnya dan masih banyak lagi.
Selain tanpa diolah ada juga yang dikonsumsi dengan hasil olahan sebelumnya, biasanya dengan direbus. Bonggol pisang, pucuk pakis, daun melinjo, onje onjean, cacing surili dan masih banyak lagi.
Secara umum tanaman bisa dimakan. Ada indikator yang bisa diamati. Misalnya jika burung, monyet mengkonsumsi maka biasanya tumbuhan itu bisa dimakan.
Apabila kita belum mengenal pohon tersebut kita bisa menjajalnya terlebih dahulu dengan mengoleskannya ke kulit. Selang beberapa waktu sentuh ke lidah. Jika tidak bereaksi maka kita coba dengan mengonsumsinya sedikit.
Dalam survival kita menghindari hanya satu jenis makanan, jamur, serta tumbuhan dengan aroma pekat. Jika terdapat warna ungu di alam sebaiknya kita hindari. Kecuali jika kita benar-benar mengenal jenis tumbuhan apa itu.
Tanpa terasa tiga jam sudah kami berjalan. Sesekali terdengar aktivitas hewan nokturnal seperti musang, tikus serta beberapa yang lainnya.
Agus mendengar suara air mengalir dari lembah yang sebelumnya saya anggap sebagai angin. Suaranya makin jelas. Dharmaning menjelaskan tentang pura Beji di mana biasanya di dalam pura ini terdapat sumber mata air. Kami mengambil untuk memenuhi botol kami yang kosong.
Ketika malam dan dingin semakin nampak, maka air yang disentuh melahirkan gigil. Sekitar 10 menit kami beristirahat. Suhu badan menurun, keringat kering, menguap berulang hingga kami putuskan untuk terus berjalan.
Daun-daun basah dengan medan yang semakin rapat, setengah selama menjadi basah dari kaki ke lutut. Vegetasi pinus terasa, meski gelap kami melangkah, bintang gemilang semakin cerah, langit luas.
Tepat pukul 22.10 malam kami tiba di puncak. Gigil tak terelakkan. Kami putuskan untuk membuat minuman hangat dan menyantap tipat yang dibawa dari bawah.
Agus, Dharmaning dan saya dengan lelah tak dirasa. Panorama puncak membasuhnya. Kabut malam menyapa kita.
Selang satu setengah jam kami di puncak maka kami turun dengan niatan mendaki gunung selanjutnya.
Ilmu bertahan hidup yang kami peroleh dari alam sungguh bermakna untuk asupan. Seperti ata Rendra, “Bahwa hidup untuk tak mengeluh dan mengaduh, membalik tanah, mengungkap rahasia alam dan Samudera. [b]