Oleh : Bintang Pancar Cahaya
“Jiwa yang resah, merindukan damai antarsesama
Duhai para mahluk yang berkumpul di sini
Yang datang dari air, dari darat, dari puncak gunung
dari atas pohon, maupun yang datang dari ruang angkasa
Berbahagialah
Perhatikan apa yang disabdakan :
Perlakukan umat manusia dengan cinta kasih
Lindungilah mereka dengan tekun
Sebagaimana mereka masih mau melakukan penghormatan dan memberikan persembahan kepada-Mu, siang malam”Demikian secuplik doa perdamaian yang dibacakan Bhikku Dhammasubho Mahathera dalam acara Dialog Bwuwana Alit sebagai rangkaian acara Bali Islamic Festival, di salah satu hotel di Kuta, Sabtu 8 September kemarin.
Doa itu pun menjadi relevan untuk direnungkan oleh siapapun dengan melintasi sekat-sekat keyakinan dan agama yang dianutnya ketika melihat wajah Indonesia yang masih belum bersih dari konflik dan kekerasan.
Persoalan konflik inilah yang dikupas dalam dialog bertitel “Peace and Tolerance” yang diikuti peserta yang cukup beragam tersebut. Seperti yang disampaikan Ichsan Malik, praktisi kemanusiaan dari Jakarta yang kerap terlibat dalam penyelesaian konflik di beberapa wilayah, bahwa asumsi dasar yang paling mempengaruhi timbulnya konflik adalah “konflik selalu ada dalam kehidupan manusia. Asumsi ini bertitik tolak dari fakta bahwa sejak awal manusia memang dilahirkan berbeda.
Artinya, perbedaan adalah sesuatu yang alami. Namun ketidakmampuan untuk menghadapi perbedaan, serta kebiasaab untuk lari dari masalah atau agresif menghadapi perbedaanlah yang menimbulkan persengkataan. Melalui penelitiannya di berbagai daerah di Indonesia, setidaknya ada 5 pokok sumber konflik. Pertama, konflik struktural, terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhdap sumber daya.
Kedua, konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan yang dirasakan atau yang secara nyata terjadi ketika satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain harus berkorban. Lantas ada konflik nilai yang disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, entah itu dirasakan atau memang ada.
Selanjutnya adalah konflik hubungan sosial psikologis. Dalam berinteraksi ada kecenderungan untuk mengambil jalan pintas dalam mempresepsikan seseorang.Bias persepsi ini disebut stereotip yang merupakan cikal bakal munculnya prasangka, yang ujungnya bisa mengarah pada kekerasan. Yang terakhir adalah konflik data. Terjadi ketika orang kekurangan informasi untuk mengambil keputusan yang bijak, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda dan lainnya.
Pada akhirnya Ichsan Malik menyimpulkan, bahwa bangsa Indonesia harus terus belajar untuk berbeda. Karena perbedaan adalah keniscayaan.Pada bagian lain, Romo Sandyawan Sumardi, rohaniawan yang juga relawan kemanusiaan, menyarankan adanya dialog antariman sebagai gerakan praksis mengatasi kebuntuan interaksi antarumat beragama yang kerap berujung pada konflik.
Dialog antariman, menurut Sandyawan adalah gerakan hermeneutik dari praksis. Proses dialog yang merupakan sarana “bertindak sebelum mengetahui”, artinya dialog sebagai praktis yang menerangi teori. Dasarnya adalah mengerti kebenaran, orang harus melakukannya. Hanya dalam praksis dialog inilah tradisi iman agama-agama dapat menawarkan pemenuhan pengungkapan kebenaran ilahi dapat diteguhkan dan diketahui. [b]