Oleh IG Mardi Yasa
Nyepi adalah upacara yang dinanti-nanti oleh semua elemen masyarakat. Nyepi adalah peringatan pergantin tahun Çaka. Kalau lihat di kalender, 1 Januari adalah tahun baru masehi. Sedangkan pada hari raya Nyepi adalah tradisi pergantian tahun Çaka yang dirayakan dengan mengheningkan diri.
Pergantian tahun Çaka biasanya diperingati dengan adanya pengarakan ogoh-ogoh. Patung raksasa tiga dimensi ini terbuat dari bambu yang dibuat sedemikian rupa. Figurnya biasanya berupa wujud menyeramkan. Konon ogoh-ogoh atau patung tiga dimensi tersebut merupakan simbol bhutha kala atau bhutha kali di alam semesta.
Ogoh-ogoh tersebut diupacarai sama halnya dengan upacara pada umumnya. Dia menggunakan serana banten prasyastista, sasayut, durmangala, dan byokaon. Tujuan dari dilakukan upacara tersebut adalah supaya ogoh-ogoh atau patung tiga dimensi tersebut tidak kemasukan roh-roh jahat seperti enjer-enjer, wang samar, jin, setan dedemit, dan lain sebagainya.
Pada saat menjelang Nyepi para pemuda membuat suatu ogoh-ogoh menggunakan tiga konsep utama yakni: upeti, stiti, pralina. Ketiga konsep tersebut senantiasa kita temukan dalam keseharian dan telah menjadi suatu kebiasaan yang patut kita ketahui dan telaah ke dalam keseharian kita semua.
Tanpa Ogoh-ogoh
Namun, di Desa Kedisan sudah terbiasa pada saat menjelang nyepi tidak membuat ogoh-ogoh. Kedisan memiliki cara berbeda untuk memperingati pergantian tahun Çaka.
Pada saat memperingati pergantian tahun Çaka, desa ini melakukan sebuah proses upacara pecaruan atau taur kesanga yang bertempat di catus pata desa (perempatan agung) Desa dan maprani. Pecaruan yang dilakukan desa kedisan bertempat di Catus Pata Desa dengan menggunakan manca sanak atau lima jenis ayam yakni: putih kedas, biing, putih kuning, hitam, dan brumbun. Ada juga satu bebek belang kalung. Konon, kelima ayam tersebut merupakan aturan (suguhan) kepada bhutha kala dari penjuru arah mata angin yang nantinya bisa menjadi dewa dan mampu memberikan aura positif di sekeliling desa.
Selaian melakukan pecaruan di catus pata desa, juga dilakukan di ruamh masing-masing dengan sarana sanggah cucuk, nasik jit pangukusan, pras penyeneng, don bingin, bé danu, segehan manca warna dan segehan putih polos. Itu dihaturkan ketika telah selesai melakukan kegiatan upacara maprani di jaba pura bale agung Desa Kedisan.
Upacara meprani tersebut diikuti oleh kurang lebih 185 KK yang tercatat sebagai desa Adat Kedisan. Pada saat upacara meprani ini masyarakat tidak diperkenankan untuk mendahului duduk. Pada saat duduk harus disesuaikan dengan pipil yang ada atau dengan istilah Bali-nya tegak. Dengan kita mengetahui tegak maka, kita senantia melakukan aktivitas kita sesuai dengan sewedarma manut swegina kita masing-masing.
Nah, hal terunik yang dilakukan di Desa kedisan pada saat perayaan Nyepi ialah pelaksanaan Nyepi dimulai saat dibunyikannya kulkul, kentongan desa. Jika belum, maka masih bebas melakukan aktivitas misalnya mengendarai sepeda montor. Setelah kul-kul berbunyi maka pada saat itulah melakukan kegiatan Nyepi dan tidak diperkenankan untuk pergi mengendarai sepeda montor.
Dan jika kul-kul itu berbunyi lagi, maka itu sebuah tanda ngembak. Pada saat itu juga, masyarakat diizinkan untuk pergi keluar seperti mengendarai sepeda montor. Estimasi waktunya dua jam setelah suara kentongan dibunyikan, baru masyarakat diperkenankan melakukan kegiatan apa pun bentuknya.
Pada saat upacara Nyepi, masyarakat membuat sebuah banten pamenekan yang konon itu, merupakan suguhan yang diberikan kepada Dewa Hyang. Isi bantennya pun sangat sederhana, hanya berisikan apa saja yang mampu kita isi. Itulah yang kita buata dan dihaturkan kepada Dewa Hyang.
Proses Nyepi itu, tetap berjalan dari tahun ke tahun. Bahkan sudah menjadi warisan yang kental akan nilai dan makna. Pada saat ini, walupun dalam keadaan gering agung seperti saat ini. Suasana Nyepi seperti itu masih ditemukan sampai saat ini di Desa Kedisan. [b]