Oleh Dewi Retno Wulan Kusuma Ningrum dkk
Sesungguhnya, ingka tak sekadar tempat makan belaka.
Salah satu hal paling sering ditemukan saat pergi ke suatu acara adalah piring yang digunakan untuk makan. Biasanya para tuan rumah lebih memilih untuk menggunakan piring Ingka. Alasannya karena lebih praktis dan mudah disimpan. Namun, pernahkah bertanya bagaimana cara membuat piring tersebut?
Ingka termasuk sebuah seni atau kerajinan tradisional berbahan dasar lidi yang dianyam sedemikian rupa hingga membentuk piring. Prosesnya pembuatannya sendiri sedikit rumit. Dia membutuhkan kesabaran dari mulai membersihkan lidi, penjemuran, hingga penganyaman.
Karena itu, tak banyak orang menggeluti pekerjaan untuk membuat ingka ini.
Sebagian warga Banjar Moding Kaja, Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya telah menekuni pembuatan ingka ini selama tiga generasi. Dari Bali, produk mereka bahkan telah sampai Pulau Papua.
Ketut Ariani salah satu dari sedikit pembuat ingka tersebut. Dia mampu membuat satu lusin anyaman ingka dalam satu hari dan sepuluh lusin dalam kurun waktu satu bulan. Jenis piring anyaman ingka yang biasa dibuat Mek Ketut, panggilan akrabnya, ada dua yaitu anyaman piring acara dan tempat banten.
Untuk harganya sendiri nenek dari dua cucu ini mematok harga Rp 70 ribu per lusin untuk jenis anyaman yang tidak dipernis dan Rp 100 ribu untuk anyaman yang dipernis, baik yang dipesan di Pulau Bali maupun luar Bali.
Mek Tut hanya membuat ingka bila ada pesanan. Cara pendistribusian juga dilakukan dengan cara pengambilan langsung oleh pembeli ke rumah Mek Tut.
Proses Pembuatan
Adapun proses pembuatan anyaman piring ingka adalah sebagai berikut.
Bagian awal berupa pencarian bahan baku yakni daun kelapa. Ibu tiga anak ini mencarinya sendiri dari pohon-pohon kelapa di sekitar rumahnya. Proses lalu berlanjut ke pemisahan lidi dengan daunnya menggunakan pisau sebagai alat.
Lidi lalu dijemur selama tiga hari dalam keadaan cuaca terik dan lima hari dalam keadaan cuaca kurang bersahabat. Proses penjemuran awal ini bertujuan untuk melemaskan juga mempertahankan warna alami dari lidi.
Langkah selanjutnya mulai menganyam lidi menjadi piring ingka yang dibantu dengan alat gunting khusus. Setelah jadi pun anyaman ingka tersebut dijemur kembali selama satu hari di cuaca terik dan dua hari di cuaca kurang mendukung. Penjemuran kembali ini bertujuan untuk memperpanjang masa pakai.
Ada cara khusus dalam pemakaian agar bisa lebih tahan lama. Cara tersebut dilakukan dengan merendam piring anyaman ingka yang telah selesai dipakai dan dicuci bersih dengan air hangat sekitar 10-15 menit. Kemudian disimpan di dalam katong plastik guna menghindari debu.
Selama 15 tahun membuat anyaman Mek Tut menemui berbagai hambatan baik dari dalam maupun luar. Hambatan dari dalam berupa minimnya stok daun kelapa yang merupakan bahan utama untuk membuat anyaman ingka.
Selain itu, Mek Tut juga sering mengalami sakit atau kesemutan pada bagian tangan.
Hambatan dari luar berupa semakin menipisnya minat masyarakat untuk menggunakan piring tradisional anyaman ingka bila menyelenggarakan suatu acara. Saat ini semakin banyak piring plastik yang menyerupai anyaman ingka dengan harga lebih murah dan masa pakai lebih tahan lama.
Setelah masa pandemi inipun makin banyak kendala dan tantangan. Di antaranya semakin menurun tingkat pemesanan yang diterima Mek tut. Sebelumnya, Mek Tut dapat menjual hingga sepuluh lusin lebih anyaman ingka. Berbeda dengan sekarang. Setelah pandemi ini melanda, pemesanan ingka produksi beliau mengalami penurunan drastis. Bahkan beliau pernah tidak mendapat pesanan sama sekali dalam sebulan.
Namun, beliau tidak pernah berhenti menganyam lidi-lidi tersebut menjadi sebuah piring ingka. Karena kegiatan tersebut sudah menjadi kebiasaan Mek Tut dan keluarganya secara turun- temurun. [b]
Catatan: Artikel ini merupakan hasil praktik peserta Kelas Jurnalism Warga Kelompok “Tarik, Sis…” yang beranggotakan Dewi Retno Wulan Kusuma Ningrum, Ni Kadek Estu Jendi Phallopy, Anak Agung Bagus Susrama, Ni Kadek Sayu Meliana Suci, Ni Kadek Mita Sintya Sari, dan I Ketut Widi Darmawan.