Berbicara tentang Karangasem, seringkali saya akan mencium aroma magis.
Saya tinggal relatif jauh dari kabupaten paling timur pulau Bali tersebut. Kebetulan juga saya lahir dari ayah ibu beragama Hindu Bali sangat kental meskipun saya hanya tumbuh sebagai seorang Hindu Bali biasa.
Saya belum tertarik mempelajari kedalaman hal-hal magis di luar kenyataan yang terlihat. Hanya sesekali sejenak seperti merasakan kalau hal magis di bumi ini ada.
Kenapa saya bisa mengidentikkan Karangasem sebagai suatu hal magis? Kemungkinan paling masuk akal adalah pengalaman waktu saya masih kecil.
Ketika berumur sekitar tujuh tahun, saya rutin mengikuti kakek saya untuk ngayah dan menginap (mekemit) di Pura Besakih saat piodalan pura tersebut. Hari piodalannya setiap satu tahun sekali. Kira-kira lima atau enam kali berturut-turut sejak usia tujuh tahun saya berangkat dengan mobil bemo tua bersama para orang tua teman-teman kakek saya. Mereka juga juru kidung, seperti juga kakek saya.
Di mobil tua itu kami berbagi ruang dengan barang bawaan mereka. Ada buku-buku kidung, beberapa tempat dari anyaman bambu membungkus sesajen dan ketupat kacang, telur dan ikan untuk bekal makan ketika sampai di Bukit Jambul.
Kami berbagi ruang juga dengan hal-hal tidak nampak seperti bau sirih, bau apek mobil, rokok dan tembakau. Juga obrolan-obrolan orang tua yang belum sepenuhnya saya pahami ketika itu.
Di perjalanan itu saya jarang bisa menyingkat waktu dengan tidur. Saya sering menjalani itu seperti sebuah semadi. Menikmati dinginya hawa Karangasem, rasa mual oleh kolaborasi semua itu, dan hanya kepala yang berdiskusi dengan diri sendiri.
Seingat saya, setiap tahun kondisi sama selalu saya hadapi. Ketika sudah tiba di areal parkir pura, bersama ratusan orang lain berjalan menuju pura berjarak ratusan meter. Atau berpapasan dengan ratusan orang lain yang sudah pamit dari pura menuju parkiran.
Kami melewati pedagang-pedagang, paling banyak pedagang makanan, yang konon kalau berbelanja harus tanya harga dulu. Kalau makan dulu baru tanya harga maka siap-siap saja mati gaya.
Di jaba sisi pura arus manusia masih lancar. Tapi ketika menginjakkan kaki di tangga candi menuju ruang jaba tengah dan jeroan pura, tiap orang akan menemui ujian sebenarnya. Berdesak-desakan saling dorong seperti rombongan migran yang naik kapal juru selamat. Tidak ada tangan yang membantu saya. Hanya dorongan dari belakang dengan arah tujuan sama.
Bau dupa dan keringat, teriak-teriakan emosi, canda atau tawa bercampur dan larut kemudian samar-samar hilang ketika kaki menginjak areal jeroan pura. Tempat di mana kami bersembahyang, menghaturkan memuja dan meminta pada kekuatan yang tidak pernah mampu saya pikirkan besar kekuatannya.
Dari kecil pikiran saya banyak dicekoki dongeng dari kakek. Ketika saya masih meyakini surga itu ialah sebuah tempat setelah mati. Saya membayangkan ketika itu bahwa surga ialah tempat yang berwujud semacam area jeroan Pura Besakaih tatkala piodalan. Luas dengan candi-candi megah terbungkus kain dan ukiran, sesajen tingi-tinggi, suara gambelan dan kidung terdengar harmoni, aroma dupa dan Gunung Agung.
Manusia-manusia yang nampak lega begitu lepas dari pendakian anak tangga candi bentar dari jaba sisi. Manusia-manusia itu kemudian bersiap sejenak. Merapikan diri dan persembahannya. Lalu jiwa dan pikiran mereka seperti tertuju pada satu titik ruang yang dipandu suara genta sang pendeta. Semacam kematian yang menyembuhkan.
Setelah saya dan rombongan juru kidung kakek selesai sembahyang, saya mengikuti mereka ke tempat yang telah tersedia untuk mereka me-yadnya-kan suara-suaranya. Dengan pakem dan cerita cerita yang sudah ada sejak zaman dahulu kala.
Kidung disiarkan melalui corong pengeras suara sehingga dapat didengar oleh seisi pura dan sekitarnya. Saya yakin dari ribuan mereka yang mendengar, tidak lebih dari sepuluh persen yang memperhatikan isi suara-suara juru kidung itu. Saya berada di pihak sembilan puluh persen.
Ketika kakek sudah berkumpul dengan para juru kidung di tempat khusus, dengan meja dan lampu belajar, hampir semua kompak memakai kaca mata plus, saat itulah artinya saya sudah memasuki jam bebas. Jam atau waktu tanpa pengawasan kakek yang fokus menanti giliran atau berbincang dengan gerombolannya.
Kesempatan tersebut saya selalu manfaatkan untuk berkeliaran sendiri di antara ratusan orang yang tidak saya kenal. Tanpa basa-basi melangkah menuju jaba sisi tepatnya areal judi “kocok-kocokan”. Uang bekal dari ayah, yang sebenarnya cukup untuk makan minum dan jajan, saya pertaruhkan di tiga batang dadu tersebut.
Kalau menang saya bisa makan minum puas ditambah lagi beli mainan. Tapi, rata-rata lebih sering kalah. Kekalahan yang kemudian menganugrahkan saya suasana magis Pura Besakih dengan rasa lapar. Semacam si Lubdaka, saya sering tidak tidur sampai pagi karena menikmati kedalaman rasa lapar.
Hari ini ketika tak lagi anak-anak, saya memilih menjadi penjudi di dunia pariwisata, sebagai pemandu wisata. Dengan pilihan itu saya tidak lagi harus menunggu piodalan di Besakih untuk bisa menikmati perjalanan menuju Karangasem. Hampir tiap dua minggu ada saja pekerjaan yang membawa saya menempuh perjalanan ke Karangasem.
Jalur Khayangan Tiga
Dari kaca mata pemandu wisata pemula, saya menangkap kesan sebagian besar pemandu atau sopir pariwisata tidak begitu suka jika mendapatkan jalur ini. Tidak sebahagia jika harus melalui jalur sebelah yaitu Batubulan-Ubud-Kintamani. Di jalur sebelah, penataan daerah kunjungannya relatif lebih siap. Ditambah lagi ada barong di Batubulan, emas dan perak di Celuk, lukisan di Batuan, ukiran kayu di Mas, batu di Singapadu, kopi di Tegalalang, dan makan di kintamani.
Jalur Ubud sering disebut sebagai jalur Khayangan Tiga oleh para pelaku wisata jalanan, sangat basah dan memiliki kemungkinan cepat memenuhi saku kantong kami.
Kemagisan yang saya tangkap kemudian menjadi bekal kenapa saya bisa keluar dari tendensi para pemandu wisata kebanyakan tentang jalur tur Karangasem. Ketika akan memulai tur ke Karangasem, saya sudah menyimpan dan melupakan sejenak ekspektasi tentang uang. Kemudian merasa terbayar oleh suasana jalan di desa-desa Karangasem yang saya lihat. Seperti cermin memperlihatkan bayang-bayang Denpasar masa lalu.
Oleh ketimpangan pembangunan di Bali, Karangasem dengan segala derunya seperti berjalan lebih pelan dan dalam. Seperti ada selisih waktu barang lima tahun dari Bali selatan.
Tapi sekering-keringnya gambaran tentang Karangasem, bukan berarti harapan atau celah untuk mendapatkan dolar atau rupiah berlimpah itu tidak ada. Jika ada permintaan wisatawan rafting Telaga Waja atau alam bawah laut di Bali timur, dia kadang menjadi hujan di musim El Nino.
Walau ekspektasi saya tentang uang sudah tenggelam oleh kekaguman saya pada kemagisan Karangasem, bukan berarti saya berjalan tanpa jualan dalam bercerita. Kadang saya juga bisa memasuki celah berbau lembaran uang yang khas periwisata.
Suatu hari ketika menemani wisatawan rafting ke Telaga Waja, saya mengenal sebuah filosofi sederhana yang begitu agung di benak saya, filsafat tentang ajaran dan kepercayaan Batu Mekori. Maknyanya adakah alam memberi, alam menjaga.
Saya mendengar tentang batu mekori itu dari seorang pemandu rafting. Laki-laki dari Seraya, Karangasem yang saya lupa namanya.
Ketika itu saya menemani wisatawan menyusuri Sungai Unda. Ketika arus agak tenang, saya coba membuka obrolan dengan bli pemandu rafting tersebut. Saya berkomentar tentang anak-anak kecil yang bermain lepas di bukit-bukit tinggi atas sungai di waktu siang terik.
Secara tidak langsung saya bertanya, “Bagaimana kira-kira pikiran orang tua mereka membiarkan anak-anaknya berkeliaran di bukit jauh dari kawasan desa di siang terik?”
Waktu saya kecil, anak-anak akan ditakut-takuti untuk tidak ke daerah semacam sungai di siang bolong dengan mengatakan bisa diculik makhluk halus memedi. Dengan sedikit cengengesan bli dari Seraya itu menanggapi perkataan saya. “Mungkin orang tua mereka sama dengan orang tua saya dulu yang masih percaya pada ajaran batu mekori. Percaya kepada alam akan menjaga anak-anak mereka”.
Kemudian arus pun mulai kencang. Fokus kami kembali pada para wisatawan. Basa-basi agar mereka senang seperti seharusnya. Tapi di pikiran saya masih terngiang-ngiang rasa keingintahuan lebih dalam tentang batu mekori tersebut.
Setelah dua jam lebih menyusuri sungai batas wilayah Klungkung dan Karangasem itu, wisatawan diarahkan ke restoran untuk makan siang. Di restoran itu, saya melanjutkan pembicaraan tentang ajaran batu mekori tersebut. Entah kenapa dari namanya ajaran tersebut memiliki daya tarik kuat di kepala saya.
Sedikit basa-basi, diawali menyodorkan dia uang tips seadanya, obrolan kami pun dibuka dengan sedikit jeda. Seorang staf lain membawakan kami kopi panas dan pisang goreng.
Pagar Gaib
Dia mulai bercerita tentang ajaran batu mekori tersebut dengan membawa saya masuk melalui cerita masa kecilnya. Dari lahir dia hidup di sebuah desa kering di Kabupaten Karangasem. Makanan pokoknya nyaris hanya jagung, jagung dan kadang sedikit beras bercamur banyak jagung dengan sepotong ikan.
Tempat tinggalnya adalah kawasan berbukit dengan banyak tumbuhan jagung sehingga satu rumah dengan rumah lainnya berjarak ratusan meter. Dari ketinggian bukit, pada pagi hari akan nampak hampir serempak rumah-rumah di kampungnya mengeluarkan asap cukup tebal mengepul ke langit. Asap yang mungkin dominan berbau jagung.
Jika hari sekolah, dia akan terbangun tanpa melihat orang tuanya yang sudah pergi berjalan kaki ke pasar. Hanya dapur yang sudah mengepul merebus jagung. Tanpa basa-basi, dia langsung mengambil baju seragam sekolah, dimasukkan ke tas karung, tanpa cuci muka meninggalkan rumah menuju sekolah.
Menuju sekolah bukanlah perkara sederhana. Dia harus berjalan beberapa kilometer. Di perjalanan pasti akan bertemu teman-temannya. Selain harus melalui beberapa bukit gersang, mereka juga harus menyebrangi dua sungai. Di sungai pertama mereka mandi bersama-sama. Kemudian di pepohonan setelah sungai pertamalah mereka meminta sarapan pagi. Setelah melalui sungai kedua, mereka baru mengganti baju dengan seragam sekolah.
Jika sekolah libur, bli pemandu rafting akan beranjak dari rumah menuju bukit pagi-pagi. Dari ujung bukit tertinggi di dekat rumahnya, dia duduk menunggu muncul dua buah titik kecil. Secara alamiah dia paham kalau titik-titik itu adalah ibu dan ayahnya. Mereka pulang dari pasar membawa oleh-oleh makanan. Untuk menunggu titik itu melalui tahapan menjadi dua sosok orang tua yang bisa dia raba, dia harus menunggu hampir satu jam. Dia sabar menunggu dengan rasa lapar.
Siang hari dia akan menghabiskan waktunya berkeliaran. Bermain di bukit-bukit kebun jagung atau sungai bersama teman-temannya. Sesekali ikut memanen jagung. Dia hanya dalam pengawasan orang tua hanya ketika malam.
Dari cerita-cerita itulah dia memberi pemahaman tentang ajaran batu mekori. Bagaimana banyak orang tua di desanya tidak pernah kawatir atau resah ketika anaknya bersama alam. Mereka yakin alam akan memberi dan menjaga anak-anaknya.
Sebenarnya, kata dia, batu mekori itupun berangkat dari keyakinan pada sesuatu yang tidak terlihat secara kasat mata. Tentang sebuah batu yang dipagari pagar gaib.
Setelah obrolan itu, ketika bertemu orang Karangasem sering menanyakan lagi tentang filosofi tersebut. Tapi anehnya tidak satupun saya tanyai tahu tentang itu. Saya curiga batu mekori hanya nama ajaran yang diciptakan keluarganya dengan menangkap materialisme dialektika dari sekitarnya. Atau bisa juga itu nama ajaran yang lahir dari kepala laki-laki pemandu rafting itu sendiri.
Tapi, apapun itu selebihnya saya berpikir obyektif bahwa ajaran batu mekori adalah ajaran filsafat yang bernilai istimewa. Setidaknya untuk saya.
Saya membuka tulisan ini dengan cerita masa kecil bersama kakek di Pura Besakih nan agung karena saya sempat mencoba menarik kesimpulan. Ketika melepas saya di Pura Besakih, kakek saya secara alamiah juga memiliki dasar pemahaman semacam batu mekori. Jika disandingkan dengan cerita masa kecil bli dari Seraya itu, saya juga memahami hal-hal magis tidak saja muncul dari salah pura yang paling diagungkan, tapi bisa dari manapun. Dari bukit nan kering pun hal-hal magis itu selalu ada jika kita pahami kedalamannya.
Seandainya kita, khususnya pemerintah kita memakai pemahaman filsafat batu mekori ini dalam kehidupan sehari-hari, bahwa tugas alam ialah memberi dan menjaga bukan melacur pada keserakahan, saya rasa keadaan alam dan tatanan kehidupan bumi manusia Bali tidak akan sekacau hari ini.
Hari ini, ketika alam yang bertugas memberi kita rasa tidak cukup, banyak dari kita malah merampas dan mencuri dari alam. Tanah yang tugasnya tidak hanya memberi ruang untuk bangunan, kita terus jarah habis. Akibatnya fungsi lain seperti memberi dan menjaga pohon atau padi tumbuh sebagai sumber oksigen yang segar dan nasi yang sehat akan tinggal kenangan.
Begitu pula yang saat ini terjadi di Bali selatan. Ketika Tanjung Benoa yang memberi ruang pada ujung aliran sungai dan kehidupan bagi nelayan mau dijarah dan diuruk, tentu alam menurut filsafat Batu Mekori tidak akan menjaga kita lagi. Dengan bekal pemahaman batu mekori yang saya pahami bentuknya di Karangasem, maka saya ada dalam barisan Bali Tolak Reklamasi. [b]