Cerita awal tahun dan wabah sampah plastik, termasuk di desa.
Tahun 2020 ini ditutup dengan hujan dan hujan di mana-mana. Hujan deras terus berlanjut hingga di Bali hingga tahun 2021. Saking derasnya, ada beberapa kawasan yang sempat banjir seperti kawasan Kerobokan.
Di rumah saya sendiri tidak banjir karena termasuk area perbukitan, namun tiap hujan deras turun, sandal-sandal jepit yang biasa terparkir di atas natah (pekarangan rumah) itu bisa hanyut sampai ke bawah, yaitu ke jalan raya hingga terjun bebas terbawa aliran air hujan ke selokan. Palingan pagi-pagi, ketika bangun pagi kami pada bingung nyari sandal, kadang ada yang satu sandal hanyut, kadang ada yang sepasang sudah hilang.
Anak bungsu saya, Kavin, yang paling perhatian terhadap keberadaan sandal-sandal keluarga yang tak jarang tergeletak di halaman rumah. Kalau hujan sudah turun mulai lebat, Kavin akan mulai panik mengajak kakak, mama atau papanya untuk mengamankan sandal-sandal ini. Ia sungguh tak mau kehilangan satupun sandal. Bahkan jika hujan turun di kala malam atau dini hari, ia akan bangun dan mengajak papanya memunguti setiap sandal anggota keluarga dan meletakkannya di atas lantai teras. Baik dan perhatian sekali anak ini.
Selanjutnya saya bukan mau membicarakan tentang hujan saja, saya menyebut hujan di awal itu sebagai penyebab. Penyebab hanyutnya sandal-sandal jepit keluarga saya, iya. Penyebab hanyutnya sampah-sampah di jalan pun iya. Sudah tau kan berita terkini yang sudah tersiar sampai internasional bahwa sampah-sampah kita seluruhnya terakumulasi di pesisir.
Di pesisir pantai Kuta salah satu contohnya. Kenapa bisa membludak sampah sebanyak itu terkumpul di Kuta? Ya pasti karena air hujan. Hujan yang relatif terus-menerus dan intensitas tinggi akan menaikkan debit air sungai, bahkan bisa sampai luber. Lalu sampah-sampah yang ada di jalan, di selokan, di setiap saluran air jadi ikut terbawa oleh derasnya aliran air. Air itu akan terus mengalir ke sungai, dan dari setiap sungai hingga bermuara ke laut, jadilah sampah-sampah itu semua terakumulasi di bibir pantai.
“Ini semua sampah kiriman? Kalau warga kami di sini sudah menggunakan jasa angkut sampah dari DLHK Tabanan dengan membayar total iuran jasanya kata Ketut Pinda, kepala kewilayahan banjar dinas Yeh Gangga. Saya lupa persisnya nominal iuran yang disebutkan, namun begitulah mengomentari hamparan sampah yang ada di depan mata kami. Saat itu saya sedang melakukan bersih-bersih pantai bersama komunitas Trash Hero di Pantai Yeh Gangga pada hari Minggu, 27 Desember 2020.
Pak Ketut Pinda memang mendatangi saya dan teman relawan lainnya untuk ngobrol dan mengucapkan terima kasih kepada kami. Saya jadi iri, desa saya sendiri tidak ada sistem pengelolaan sampah yang bekerja sama dengan DLHK Tabanan untuk pengangkutan sampah secara rutin. Namun pernah beberapa kali saya menghubungi DLHK untuk mengangkut sampah hasil dari kami melakukan bersih-bersih lingkungan dengan pungut-pungut sampah plastik di sepanjang jalan.
Dan itu gratis karena program bersih-bersih lingkungan sukarela yang saya jalani dengan warga desa dan anak-anak setempat. Karena tidak bayar apapun untuk meminta DLHK mengangkut sampah, truk DLHK itu tidak datang rutin ke desa kami. Datangnya hanya saat dihubungi, itu pun harus menunggu lama karena desa kami dianggap lokasinya jauh.
Saya sempat menengok juga beberapa telabah-telabah yang ada di desa saya, semuanya nyaris bersih tidak ada sampah. Padahal dulunya banyak sampah-sampah yang nyangkut di sana. Pasti ini karena intensitas hujan yang tinggi akhir-akhir ini, semua sampah yang nyangkut di telabah pun tersapu bersih. Seolah-olah setiap saluran air dan telabah semuanya tergelontor oleh aliran deras air yang meluap karena hujan.
Ada hikmahnya dari hujan deras yang terus-menerus turun, saya dan warga desa jadi tidak perlu repot-repot membersihkan sampah di saluran air. Tapi kemana semua sampah-sampah tersebut minggat? Pasti pada kumpul di muara dan pantai jawabannya.
Maka dari itu saya mulai merasa kerja bersih-bersih pantai, bersih-bersih desa dari sampah plastik, itu semua sangat melelahkan dan overwhelming secara fisik dan mental. Apalagi melihat banjir sampah di Kuta, wooow semakin menyedihkan dan memprihatinkan saja.
Tapi saya makin heran, kok semua nggak berpikir dan tertuju untuk mengangkat penutupan pabrik plastik, sih? Sampah itu akan terus dihasilkan oleh manusia. Masalah besarnya adalah sampah plastik yang tidak dapat terurai dalam waktu lama. Kalau terus kemasan-kemasan plastik itu diproduksi, ya sama aja akan terus ada sampah plastik!
Biar produk itu dikonsumsi ataupun tidak dikonsumsi oleh konsumen, produk itu akan menyisakan sampah atau tersisa sebagai sampah. Sampah plastik itu bukan beban konsumen semata, tetapi lebih kepada tanggung jawab korporasi besar sebagai produsen produk berkemasan plastik dan juga pabrik kimia yang menciptakan plastik sekali pakai.
Kalau masalah sampah ini adalah masalah serius, bagaimana logika berpikir otoritas? Terutama pemerintah sebagai pemegang wewenang dan kebijakan. Prioritaskanlah masalah ini jika sampah memang masalah serius. Masalah sampah memang masalah kita bersama, tapi siapa yang memegang kuasa hendaknya menggunakan kuasa tersebut dengan bijak dan tepat sasaran.
Masa masalah sampah dibebankan kepada konsumen sebagai penikmat produk berplastik? Ya nggak bisa gitu, dong. Coba dinalar, apakah konsumen yang merupakan warga biasa bisa menciptakan plastik? Enggak, kan? Konsumen itu cuma pengguna. Dan yang bertanggung jawab atas maraknya produk berplastik dan dibuat bergantungnya kita semua terhadap pemakaian plastik itu ya dari produsen atau perusahaan-perusahaan produk berplastik. Kita ini sudah lama dibombardir oleh iklan-iklan supaya beli sachet saos tomat lebih hemat, beli kecap dalam pouch refill atau sachet lebih hemat, susu kental manis sachet, shampoo sachet, snack sachet, dan semua sachet-sachet yang isinya cuma sedikit tapi sampahnya banyak banget. Padahal dulu nenek-kakek kita di tahun 1950-an pernah hidup tanpa kemasan plastik dan mereka bisa melanjutkan hidup hingga generasi kita sekarang.
Pernah saya membicarakan tentang masalah sampah plastik dengan murid les privat saya, bahwa sampah plastik bisa mengurangi kesuburan tanah karena menghambat penyerapan air tanah dan mematikan organisme penyubur tanah. Itu akan sangat mengancam pekerjaan utama di tempat tinggal kami yaitu petani, karena sampah plastik bisa menyebabkan hasil panen berkurang.
Lalu murid saya pun bertanya, “kalau tidak pakai plastik, trus pakai apa, bu?” Saya terhenyak mendengarnya. Saya sendiri bukanlah generasi yang sempat merasakan hidup tanpa plastik. Saya terlahir di zaman orang-orang sudah nyaman dengan keberadaan kemasan plastik sekali pakai sebagai pendamping hidup mereka yang memberi kemudahan.
Bagaimana pun kita masih punya kearifan lokal pengganti kemasan plastik seperti daun pisang, daun jati, daun mengkudu, daun kelapa, dan sebagainya. Saya masih ingat dulu saat saya ikut mama saya belanja ke ibu tukan sayur, dijajakan udah yang sudah dipaketin dengan kemasan daun jati. Suami saya pun demikian mengkonfirmasi bahwa di masa kecilnya dulu dia ingat pedagang di pasar menjual daging dibungkus daun jati. Sekarang mah, nyari daging dibungkus daun jati susah, adanya udah dikresekin.
Jangankan daging, saya sendiri nyari tempe berbungkus daun pisang di tukang sayur atau warung-warung tempat tinggal saya saja sudah susah. Sekarang udah ngetrend tempe berbungkus daun plastik. Lontong dan tipat saja tak mau kalah ngikutin trend, apalagi tahu putih dan tahu Lombok.
Selain kearifan lokal, ada pula yang namanya sistem isi ulang atau beli curah seperti beli minyak curah bawa botol atau jerigen sendiri, beli gula dan garam bawa wadah sendiri, beli kerupuk bawa kaleng biskuit Khong Guan juga boleh. Saya dan suami saya juga sempat ngobrol dan nostalgia kalau dulu suka beli susu kental manis kalengan, bukan sachetan atau kemasan pouch plastik.
Kecap dan saos pun dijual berbotol kaca, bukan botol plastik. Itu tuh, macam saus dan kecap yang biasa dibawa abang bakso atau abang nasi goreng keliling yang ukurannya jumbo dan tidak cepat habis. Nah itu, kita lupa bahwa tingkat kenyamanan konsumsi kita telah bergeser karena keberadaan plastik, kan? Saking nyamannya kita nggak bisa atau nggak mau inget lagi bahwa kita bisa kok bertahan hidup tanpa plastik. Justru pembiaran produksi plastik sekali pakai ini akan membawa ancaman dan petaka bagi kelangsungan hidup semua makhluk di bumi.
Lalu kenapa nggak ditutup keran produksi plastiknya? Saya merasa bersih-bersih sampah dimana-mana itu cuma mindahin sampah yang suda ada, dan tidak akan menutup masalah karena sampah akan terus bertambah dan membludak karena krannya terus ngocor, terus menghasilkan sampah plastik. Kemana, nih alur pertimbangan para korporasi besar yang memberi kesan bahwa sampah ini jadi tanggung jawab konsumen?
Di mana hati nurani mereka, apakah sudah tertutup oleh gelimang profit? Lalu mana, nih tindakan tegas pemerintah untuk memberi regulasi? Ah, saya sungguh kecewa. Seharusnya ada regulasi ketat mengenai produksi plastik. Plastik hanya diizinkan diproduksi untuk keperluan medis dan sebagai bahan yang digunakan dalam jangka waktu lama atau dapat digunakan ulang, bukannya sekali pakai.
Gerakan yang dilakukan oleh konsumen selaku relawan atau anggota komunitas hanya bisa membantu menciduk keluar air yang membanjiri bathtub saat air kepenuhan hingga luber. Air di bathtub tidak akan berkurang hanya dengan semua orang beramai-ramai menciduknya, sementara keran air terus terbuka dan masih mengisi bathtub itu dengan air.
Yang perlu dilakukan adalah menutup kerannya, maka air bisa dikurangi hingga tingkat yang cukup nyaman dan sesuai. Begitulah ilustrasi yang saya ingat dari menonton film Story of Plastic. Kita selaku perorangan atau kelompok memang bisa membuat perubahan besar dan kuat jika melakukannya bersama-sama secara masif, begitu katanya.
Tapi saya yakin kalau nggak punya kuasa, ya hanya cuma sampai menaikkan kesadaran orang-orang tertentu terhadap isu sampah ini. Dan ingat, sampah itu bukan hanya dihasilkan oleh orang di kota saja. Orang di desa juga menghasilkan sampah, lah. Kami orang di desa cuma lebih dekat dengan alam sehingga masih bisa memanfaatkan kearifan lokal berupa pembungkus-pembungkus organik, itu pun kalau mau. Karena kami punya sumber daya alamnya dan keberadaannya dekat.
Kami penduduk desa juga tetap menghasilkan sampah plastik, hanya saja di desa saya tidak ada sistem pengelolaan sampah terpadu. Tidak ada yang namanya bak sampah di tiap rumah tangga, tidak ada itu pak atau bu tukang sampah, tidak ada pengangkutan sampah rutin dari rumah ke rumah, dan tidak ada TPA. Makanya orang di sini pada mengurusi sampah rumah tangganya sendiri-sendiri.
Jangan tanya gimana cara kami mengurusi sampah kami, karena Anda seharusnya bisa bayangkan sendiri. Ya, ada yang dibakar, ada yang dikumpulkan di suatu lahan perkebunan di belakang rumah, ada yang dilempar ke telabah, ada yang ditimbun di tempat khusus seperti septic tank, ada yang tersortir sehingga bisa diberikan ke tukang rongsokan, dan ada yang dikompos hasil sortir sampah organiknya.
Nah, memang ada beberapa cara penanganan sampah yang salah, tapi kalau cuma melarang-larang namun tidak memberikan solusi juga percuma, kan? Sampah ini mau dikemanakan? Kami tidak punya penyalurannya yang tepat dan terorganisir macam di kota.
Pun kalau sudah terorganisir dan tersentuh jasa layanan pengelolaan sampah, apakah Anda yakin tempat pembuangan sampah tidak akan penuh? Masih yakin tidak mau menyudahi produksi kemasan plastik sekali pakai? Masih yakin tidak mau sortir dan pilah sampah dari rumah? PR banget bagi kita semua dan terutama pemerintah, kalau ini masalah sampah adalah masalah serius, masa penanganannya nggak serius-serius amat juga, sih?