Antropolog I Ngurah Suryawan hadir dengan karya terkininya.
Setelah menerbitkan sejumlah buku kajian tentang Papua, bertajuk “Mencari Bali yang Berubah”. Buku terbitan Penerbit Basa Basi (2018) tersebut dibincangkan pada program Pustaka Bentara, Sabtu (12/01) di Bentara Budaya Bali (BBB).
Buku “Mencari Bali yang Berubah” terdiri dari delapan bab yang bagian awal atau versi awalnya telah diterbitkan dalam buku atau artikel jurnal. Keseluruhan bab dalam buku ini dibingkai oleh tema besar tentang politik kebudayaan Bali. Cikal bakalnya adalah sebuah imajinasi tentang Bali, yang menurut Ngurah, dibangun berdasarkan konstruksi (bentukan) yang sangat kolonialistik.
Tampil sebagai pembahas yakni penulis Oka Rusmini dan sastrawan sekaligus akademisi Kadek Sonia Piscayanti. Diskusi yang dimoderatori Made Sujaya ini tampak dihadiri pula sejumlah tokoh dan pemerhati kebudayaan Bali, antara lain: dr. Ayu Bulantrisna Djelantik, Gde Aryantha Soethama, Abu Bakar, budawayan asal Prancis yang lama bermukim di Bali, Jean Couteau, hingga Konsul Kehormatan Italia di Denpasar, Pino Cofessa.
Sebagaimana pendapat Gde Aryantha Soethama dalam pengantar buku, kajian Suryawan perihal dinamika sosial kultural Bali modern bermuara pada dua gugusan besar. Pertama adalah golongan yang selalu bimbang pada kelangsungan Bali, yang meyakni Bali akan redup, bahkan pada akhirnya tinggal sejarah.
Gugus kedua adalah mereka yang selalu yakin Bali akan tetap Bali. Mereka optimis perubahan-perubahan yang terjadi di Bali cuma permukaan saja, tidak menyentuh inti. Bali diyakini memiliki benteng sosial kultural yang tangguh, ketaatan warganya pada tradisi memperteguh keyakinan itu. Nada optimis ini sejalan dengan keyakinan bahwa masyarakat Bali akan sanggup beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.
Pada dialog tersebut, Oka Rusmini bukan saja mendedahkan isi buku bab per bab, tetapi juga menambahkan pernyataan Gde Aryantha dan menawarkan gugus ketiga manusia Bali kini, yang disebutnya golongan “Bali Baru”.
“Sebagai orang yang sehari-hari menjalani hidup sebagai orang Bali, menulis dan bekerja di media, saya benar-benar memotret kejadian-kejadian di Bali dan saya merasa ada golongan Bali Baru, yaitu (angkatan seusia) anak-anak saya, yang mereka tidak peduli. Misalnya, mengapa harus susah-susah membuat banten, ‘kan sekarang ada swalayan. Ada mekanisme kepraktisan modern,” ujar Oka Rusmini.
Sementara itu, Sonia Piscayanti lebih banyak mengulas dari sudut pandang metodologi penulis. Menurutnya Ngurah Suryawan selalu menceritakan dari perspektif kaum minoritas. Sebagai peneliti, Ngurah Suryawan konsisten mengambil perspektif postcolonialism subaltern, karena dari kalangan minoritaslah suara-suara itu dibangkitkan.
“Pendekatan Ngurah untuk persoalan kebudayaan adalah mikropolitik. Dari kisah-kisah subaltern, kita mendapatkan gambaran bahwa penguasa sejarah nyang selama ini didominasi kalangan atas kini bergeser menjadi kelompok subaltern,” ungkap dosen di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.
Sonia juga mengungkapkan bahwa buku “Mencari Bali yang Berubah” tidak lagi meledak-ledak. Sudah lebih reflektif dibandingkan buku Suryawan yang ditulis sebelumnya, yaitu “Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern di Kabupaten Buleleng Bali”.
Ikatan Emosi
Kedua pembicara juga sepakat berharap agar Ngurah Suryawan dapat membuat buku yang lebih detail di masa mendatang. “Yang paling pokok, saya kira melalui diskusi tentang buku ini adalah untuk mengisi kekosongan narasi global,” tambah Oka Rusmini.
“Semoga buku ini bisa menjadi titik berangkat saya untuk bisa lebih mendalami lagi soal Bali. Karena setelah 2010 saya mulai meriset tentang Papua, dan praktis ikatan emosi saya dengan Bali tidak ada sama sekali. Saya merasa harus memelihara ikatan emosi saya dengan Bali,” kata Ngurah Suryawan.
Ia juga mengungkapkan bahwa penting bagi anak-anak muda Bali untuk lebih reflektif. “Saya memutuskan ke Papua hanya karena ingin tahu dunia saya ini bukan hanya Bali. Penting bagi kita di republik ini untuk belajar menjadi orang lain. Agar horizon pemikiran kita sebagai manusia lebih luas, agar kita tidak lagi diadu domba, tidak lagi tersekat-sekat. Karena itulah persoalan kita saat ini,” ungkap I Ngurah Suryawan.
“Saat ini saya berusaha meriset daerah-daerah Bali Kuno dan saya melihat satu kekosongan studi teks tentang Bali. Kita selalu bicara data empiris kontemporer, fenomena kekinian, Bali Baru, tetapi kita lupa, teks Bali kuno menyimpan pengetahuan luar biasa. Teks Bali kuno itu perlu dipelajari agar kita punya fondasi yang kuat. Mari saling menginspirasi, saling bertukar ide dan gagasan. Karena Bali memerlukan kelompok-kelompok yang gelisah dan kelompok terus mencari. Dan itu tidak akan dikekang apapun,” pungkas Suryawan.
I Ngurah Suryawan merupakan alumnus Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali (2006) dan menyelesaikan Magister di Program Magister Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana (2009). Pendidikan Doktor diselesaikan di Program Ilmu-ilmu Humaniora (Antropologi) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2015).
Ngurah memulai penelitian pascadoktoral dari tahun 2016-2017 tentang ekologi budaya orang Marori dan Kanum di Merauke, Papua dalam skema ELDP (Endangered Languages Documentation Programme) dan Australian National University (ANU). Dia menjadi peneliti tamu di KITLV (Koninklijk Instituut voor taal-, Land- en Volkenkunde), Universiteit Leiden 2017 – 2018 untuk menulis penelitiannya tentang terbentuknya elit kelas menengah di pedalaman Papua.
Bukunya tentang Papua di antaranya adalah Jiwa yang Patah (2014), Mencari Sang Kejora: Fragmen-Fragmen Etnografi (2015), Papua Versus Papua: Perpecahan dan Perubahan Budaya (2017), Suara-Suara yang Dicampakkan: Melawan Budaya Bisu (2017), Ruang Hidup yang Redup: Gegar Ekologi Orang Marori dan Kanum di Merauke, Papua (2018), Kitong Pu Mimpi: Antropologisasi dan Transformasi Rakyat Papua (2018), Mencari Bali yang Berubah (2018). [b]