Keresahan warga atas kebijakan-kebijakan nasional akhirnya tertumpah di aksi Bali Tidak Diam, pada 24 September 2019 di Denpasar. Aksi melalui ajakan terbuka ini disambut ribuan orang, didominasi mahasiswa.
Denpasar sedang terik-teriknya, gelombang mahasiswa berjaket almamater menyeruak dari sejumlah sudut jalan menuju parkir timur Lapangan Renon. Mereka membawa perangkat aksinya sendiri, kertas plano bertuliskan protes, poster, dan lainnya.
Sebagian besar terlihat berpakaian almamater biru donker, ciri khas mahasiswa Universitas Udayana, pemimpin aksi dan longmarch ini. Komando dilakukan bergantian antar mahasiswa dari mobil dengan sound yang tak begitu nyaring. Suaranya sudah hilang di tengah barisan. Apalagi barisan massa melingkari setengah lapangan Renon, sekitar 300 meter.
Komando dimulai dengan yel-yel Sumpah Mahasiswa untuk membakar massa. Di barisan bagian belakang terlihat sejumlah warga non mahasiswa, mereka seolah mengawal anak-anak dan adiknya memimpin gerakan longmarch mengkritisi aneka kebijakan pemerintah pusat. Dari tujuh pernyataan gerakan nasional, aksi Bali Tidak Diam meringkasnya menjadi empat hal.
Mengajak seluruh akademisi dan masyarakat untuk menuntut keseriusan Pemerintah dalam menyelesaikan krisis di Papua dengan cara-cara yang manusiawi. Mendesak Presiden Republik Indonesia untuk segera mengeluarkan Perppu terhadap Revisi UU KPK.
Mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk mengaji ulang pasal-pasal yang kontroversial dan bertentangan dengan recht idea bangsa Indonesia. Menuntut Pemerintah agar menindak tegas para pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan di Riau dan Kalimantan.
Abror Thoriq Tanjila, Humas aksi Bali Tidak Diam ini memulai orasi di depan gedung DPRD Bali yang tertutup rapat. Ia mengingatkan betapa bahayanya UU KPK hasil revisi dan disahkan hanya dalam waktu 13 hari oleh DPR ini. Orasi terus silih berganti sampai depan kantor Gubernur Bali yang juga tertutup.
Gelombang orasi ini berlangsung selama satu jam. Seorang orator perempuan dengan lugas menyatakan keprihatinannya dengan produk kebijakan yang mengkriminalisasi tubuh perempuan dalam RUU KUHP. “Korban perkosaan juga jika minta aborsi bisa dipenjara,” herannya. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan pilihan bagi korban perkosaan untuk aborsi dengan usia kandungan maksimum 6 pekan.
Ia menutup dengan puisi Wiji Thukul, Bunga dan Tembok.
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
………….
Isi regulasi yang tidak adil ini diprotes melalui kalimat-kalimat satir. Misalnya RKUHP penuh blunder. “DPR (mungkin) sibuk main tinder.” Ada juga yang lebih serius merangkum tuntutan. “KPK dilemahkan, hutan dibakar, Papua ditindas, petani tergusur, privasi terancam, rakyat bergerak.”
Di sela orasi, dua seniman muda, Seni Savitri dan Andi Rharha berkolaborasi membuat artwork agitasi dengan lakban dan kapur di aspal jalan. Andi membuat teks dari lakban merah merah bertuliskan “Mosi Tidak Percaya.” Savitri menempelkan artwork sticker bergambar sosok manusia yang harus diwaspadai, Beware of the Human. Kemudian di sekitarnya dikelilingi teks-teks bebas dari kapur yang langsung direspon massa. Aneka goresan bernada gugatan pun memenuhi bidang aspal di pertigaan antara kantor DPRD Bali dan kantor Gubernur. Karya ini tak merusak aspal jalan, mudah dihapus, karena berbahan kapur dan lakban.
Sebelum aksi pun dihelat dua kali diskusi konsolidasi dengan ajakan terbuka, mengajak warga ikut membaca kajian-kajian atas UU KPK yang sudah direvisi, RUU KUHP, kasus Papua, UU Pertanahan, dan lainnya. Sebuah dialektika dari sudut kampus, lesehan di samping Taman Internet kampus Unud Jl Sudirman. Lokasi inilah yang selalu menjadi area menguji pengetahuan dan persepsi, termasuk pada Senin tengah malam, jelang aksi keesokan harinya.
Aksi ini bisa jadi puncak dari serangkaian diskusi dan aksi-aksi satu bulan terakhir di Bali. Salah satu penyebabnya, sulitnya akses informasi terkait revisi-revisi UU dan proses seleksi capim KPK.
Suara Bali untuk KPK
Warga Bali ikut gerah, melihat dinamika penggebosan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mulai dari proses seleksi calon pimpinan (capim) dan panitia seleksi (pansel).
Akhirnya Pansel menyerahkan 10 capim yang sebagian dinilai masih memiliki track record buruk pada Presiden Joko Widodo. Seperti diperkirakan, DPR memilih 5 pimpinan KPK, dan menentukan Ketua KPK yang dinilai bermasalah.
Dalam waktu singkat, DPR juga menyetujui revisi UU KPK, dan mengesahkan sebelum masa jabatan mereka berakhir pada Selasa (17/9). Hanya hitungan hari. Sebuah rencana yang sudah dipersiapkan, menyiapkan nahkoda KPK dan fondasi aturannya, seperti kehendak DPR. Tanpa mempertimbangkan penolakan masyarakat. Inilah sepenggal kisah menuju pemakaman KPK itu.
30 Agustus-3 September
Mekanisme seleksi yang kurang transparan dan 20 daftar capim menjadi bahan diskusi awal sejumlah organisasi dan komunitas dalam Aliansi Masyarakat Bali Anti Korupsi di kantor LBH Bali pada 30 Agustus 2019. Diskusi ini berujung jumpa pers dan aksi pada awal September, dihadiri Ketua dan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana, Komunitas Alumni Sekolah Antikorupsi (SAKTI) Bali, Aliansi Rakyat Antikorupsi Bali, Agung Alit-Taman Baca Kesiman, sejumlah praktisi hukum, dan lainnya.
Diskusi membahas dinamika kerja Pansel dan Capim terpilih di 20 besar, apa saja latar belakangnya. Apa yang bisa Bali suarakan untuk mendudukkan Capim KPK yang lebih kompeten?
Pemilihan pimpinan KPK adalah momentum strategis untuk menghadapi berbagai upaya menjadikan KPK sebagai lembaga yang lemah dan tidak independen. Sayangnya, sampai pada tahap pemilihan 20 capim KPK masih hadir calon yang memiliki rekam jejak yang menghambat penegakan hukum, tidak patuh LHKPN bahkan terdapat calon yang masih dalam proses penegakan kode etik di KPK. KPK dinilai dalam bahaya. Pelemahan ini seakan telah menghadirkan kembali perlawanan #CICAKBUAYA4.0.
Komposisi Pansel Capim KPK sebagiannya dinilai mengandung masalah serius. Komposisi yang ada saat ini menimbulkan kesan Presiden lebih mempertimbangkan harmoni dan kompromi kepentingan elit dalam lingkaran terdekatnya daripada upaya yang serius untuk memberantas korupsi.
Pansel KPK terkesan menutup ruang demokrasi karena tidak mengakomodir aspirasi publik dari Koalisi Masyarakat Sipil dalam proses seleksi Capim KPK. Aliansi Masyarakat Bali Antikorupsi mendesak Presiden Jokowi meninjau kembali atau membekukan Pansel Capim KPK.
Presiden melakukan evaluasi kinerja Pansel Capim KPK, dan Pansel KPK secara transparan membuka indikator dan hasil penilaian seleksi Capim KPK. Kemudian mendesak Pansel Capim KPK membuka ruang partisipasi publik dalam menentukan Calon Pimpinan KPK yang berintegritas. Demikian pernyataan pada diskusi awal.
Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Bali Anti Korupsi di antaranya YLBHI LBH Bali, Yayasan Manikaya Kauci, BEM PM Universitas Udayana, DPM PM UNUD, Kawan Bung Hatta, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Bali, Taman Baca Kesiman, dan SAKTI Bali.
Tak dipungkiri banyak yang hendak melemahkan KPK. Upaya untuk melemahkan KPK pun terus digulirkan untuk menghambat upaya pemberantasan korupsi. Mulai dari ancaman fisik seperti penyerangan kepada Novel Baswedan dan pegawai lainnya, kriminalisasi penyidik KPK, upaya mengubah legislasi untuk mengebiri kewenangan KPK sampai intervensi kasus yang ditangani.
Di ujung masa jabatan eksekutif dan legislatif, para penguasa pun tak habis akal menggunakan segala cara untuk meredam siapapun yang menghentikan jejak kaki mereka. Revisi Undang-Undang (UU) KPK dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) adalah senjata strategis bagi para penguasa mengamputasi tubuh institusi KPK. Tanpa berpikir panjang, revisi UU KPK yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam sidang paripurna pada kamis 5 September lalu, langsung diketok palu dalam waktu 20 menit oleh seluruh fraksi dewan.
Kondisi suram ini perlahan menghantui KPK yang mulai tak berdaya melawan pergolakan para penguasa, mulai dari proses seleksi calon pimpinan KPK hingga berpapasan dengan revisi UU KPK yang kontradiktif. Mereka menargetkan revisi UU KPK rampung sebelum masa kerja dewan berakhir.
Ada beberapa poin yang berpotensi melemahkan KPK dalam draf revisi UU KPK. Pasal 37 mengenai Dewan Pengawas KPK pun banyak disoroti masyarakat. KPK dalam menjalankan tugas dan wewenang diawasi oleh Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang. Dewan pengawas tersebut dipilih oleh DPR berdasar usulan presiden.
Presiden sendiri dalam mengusulkan calon anggota Dewan Pengawas dibantu oleh Panitia Seleksi (Pansel). Masyarakat dapat melihat ada unsur politis dalam membentuk dan menetapkan aturan main Dewan Pengawas ini. Selain itu tak luput juga Pasal 12B dan 12C mengenai kewenangan penyadapan KPK yang diperketat. KPK hanya bisa melakukan penyadapan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK.
Penyadapan yang telah selesai harus dipertanggungjawabkan ke pimpinan KPK serta Dewan Pengawas paling lambat 14 hari setelah penyadapan selesai. Kewenangan inilah yang membuat Dewan Pengawas KPK menjadi super power dan dapat mengintervensi kinerja KPK secara lansung.
Alumni SAKTI Bali menggalang tanda tangan, pesan, dan mengacungkan poster penggembosan KPK pada 8 September 2019 di Lapangan Puputan Renon, Denpasar Bali. Tak hanya orang dewasa, anak-anak kecil pun tahu istilah KPK. Bahkan ada yang bisa memvisualisasikan ancaman pada KPK ini dengan mengambar kucing. Kucing ini diharapkan kuat menangkap tikus-tikus koruptor.
Seorang bapak mengikuti longmarch Sakti Bali bersama tiga anak-anaknya yang masih kecil dengan membawa spanduk berisi tanda tangan dukungan untuk KPK.
Ody Putra Karno, salah seorang alumni SAKTI dengan mengajak warga tolak Revisi UU KPK dan Pembentukan Dewan Pengawas KPK.
5 September
Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama jaringan nasional lain yang terus memantau serta mengkritisi RUU ini menyimpulkan DPR berupaya membunuh KPK. Ini ulasannya.
Pertama, pembentukan Dewan Pengawas. Persoalan ini terus menerus hadir dalam naskah perubahan UU KPK, jika melihat lebih jauh maka dapat dikatakan bahwa Dewan Pengawas ini adalah representasi dari Pemerintah dan DPR yang ingin campur tangan dalam kelembagaan KPK. Sebab, mekanisme pembentukan Dewan Pengawas bermula dari usul Presiden dengan membentuk Panitia Seleksi, lalu kemudian meminta persetujuan dari DPR. Lagi pun fungsi-fungsi Dewan Pengawas sebagian besar sudah diakomodir oleh Pengawas Internal dan Penasihat KPK.
Kedua, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Isu ini sudah dibantah berkali-kali dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, 2006, dan 2010. Tentu harusnya DPR paham akan hal ini untuk tidak terus menerus memasukkan isu ini pada perubahan UU KPK. Selain dari itu Pasal 40 UU KPK yang melarang menerbitkan SP3 bertujuan agar KPK tetap selektif dalam menentukan konstruksi sebuah perkara agar nantinya dapat terbukti secara sah dan meyakinkan di muka persidangan. Faktanya, hingga hari ini sejak awal mula berdiri dakwaan KPK selalu terbukti di persidangan. Patut untuk dipahami bahwa kejahatan korupsi sudah dikategorikan sebagai extraordinary crime, ini mengartikan penanganannya tidak bisa lagi dikerjakan dengan metode konvensional.
Ketiga, dalam melaksanakan tugas penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Poin ini merupakan sebuah kemunduran bagi pemberantasan tindak pidana korupsi, karena pada dasarnya KPK adalah sebuah lembaga yang menggabungkan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap. Tentu jika harus berkoordinasi terlebih dahulu akan menghambat percepatan penanganan sebuah perkara yang akan masuk fase penuntutan dan persidangan.
Keempat, penyadapan harus izin dari Dewan Pengawas. Kali ini DPR ingin memindahkan perdebatan, dari mulanya izin Ketua Pengadilan sekarang melalui Dewan Pengawas. Logika seperti ini sulit untuk diterima, karena justru akan memperlambat penanganan tindak pidana korupsi dan bentuk intervensi atas penegakan hukum yang berjalan di KPK. Selama ini KPK dapat melakukan penyadapan tanpa izin dari pihak manapun dan faktanya hasil sadapan KPK menjadi bukti penting di muka persidangan untuk menindak pelaku korupsi. Sederhananya, bagaimana jika nanti Dewan Pengawas itu sendiri yang ingin disadap oleh KPK? Mekanisme itu tidak diatur secara jelas dalam rancangan perubahan.
Kelima, KPK tidak lagi lembaga negara independen. Perubahan ini terjadi pada Pasal 3 UU KPK, jika sebelumnya ditegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun kali ini justru berubah menjadi lembaga Pemerintah Pusat yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen. Narasi ini kontradiksi dengan prinsip teori lembaga negara independen yang memang ingin memisahkan lembaga seperti KPK dari cabang kekuasaan lainnya.
Keenam, KPK hanya dibatasi waktu 1 tahun untuk menangani sebuah perkara. Dalam Pasal 40 ayat (1) draft perubahan disebutkan bahwa KPK hanya mempunyai waktu 1 tahun untuk menyelesaikan penyidikan ataupun penuntutan sebuah perkara. Ini menunjukkan ketidapahaman DPR dalam konteks hukum pidana, patut untuk dicermati bahwa jangka waktu tersebut hanya berlaku untuk masa daluwarsa penuntutan yakni dalam Pasal 78 ayat (1) KUHP yakni mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. Harusnya DPR memahami bahwa setiap perkara memiliki kompleksitas persoalan berbeda. Jika sebuah kasus dipandang rumit, maka sudah barang tentu penyidikan serta penuntutannya membutuhkan waktu yang cukup panjang. Ini semata-mata agar bukti yang diperoleh kuat untuk membuktikan unsur Pasal terpenuhi.
Ketujuh, menghapus kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen. Dalam draft perubahan dijelaskan pada Pasal 43 dan 45 bahwa KPK hanya berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik yang berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan. Ini mengartikan bahwa kehadiran penyidik independen akan dihilangkan, padahal Putusan MK tahun 2016 sudah menegaskan kewenangan KPK untuk mengangkat Penyidik di luar dari institusi Kepolisian atau Kejaksaan. Secara spesifik MK menyebutkan bahwa praktik merekrut penyidik independen merupakan sebuah keniscayaan karena hal yang sama juga dilakukan oleh ICAC Hongkong dan CPIB Singapura. Lain hal dari itu penting untuk mencegah adanya loyalitas ganda ketika penyidik yang berasal dari insitusi lain bekerja di KPK.
Kedelapan, penanganan perkara yang sedang berjalan di KPK dapat dihentikan. Poin ini muncul pada Pasal 70 huruf c yang menyebutkan bahwa pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Ini mengartikan perkara yang melebihi waktu 1 tahun maka harus dihentikan. Di sisi lain kita mengetahui bahwa saat ini KPK sedang menangani berbagai perkara dengan skala kerugian negara yang besar. Dapat dibayangkan jika UU ini disahkan maka para pelaku korupsi akan dengan sangat mudah untuk lepas dari jerat hukum.
Kesembilan, KPK tidak bisa membuka kantor perwakilan di seluruh Indonesia. Ini ditegaskan dalam naskah perubahan Pasal 19 yang menyebutkan KPK berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Padahal dalam UU sebelumnya ditegaskan bahwa KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Kesepuluh, syarat menjadi Pimpinan KPK mesti berumur 50 tahun. Poin ini dapat dikatakan tanpa adanya argumentasi yang masuk akal. Karena sebelumnya dalam Pasal 29 angka 5 UU KPK disebutkan bahwa usia minimal untuk menjadi Pimpinan KPK adalah 40 tahun. Tentu ini menutup ruang bagi kaum muda yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pemberantasan korupsi untuk dapat menjadi Pimpinan KPK.
Kesebelas, draft yang beredar tidak ditulis dengan cermat dan terkesan tergesa-gesa. Poin ini didasarkan pada Pasal 37 E yang mengatur mengenai Dewan Pengawas. Pada angka 8 tertulis bahwa Panitia Seleksi menentukan nama calon Pimpinan yang akan disampaikan kepada Presiden. Padahal pada bagian ini sedang membahas Dewan Pengawas, bukan Pimpinan.
Keseluruhan poin itu menggambarkan bahwa DPR secara serampangan menginisasi adanya Revisi UU KPK. Untuk itu ICW menuntut. Presiden untuk menghentikan pembahasan revisi UU KPK. DPR fokus pada penguatan KPK dengan cara merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
11 September
Komunitas Sakti Bali menghelat diskusi publik di Kampus Unud, Denpasar bertajuk Bengkel Korupsi. Ruang mempreteli RUU KPK, mendorong solusi, dan penyadaran peran muda. Diskusi berlangsung sangat ramai dan penuh interaksi. Dengan pemantik diskusi dari ICW, Presiden BEM PM Unud, dan advokat.
Anak-anak muda termasuk siswa SMA dan SMK juga turut menyatakan pendapatnya pada selembar spanduk. Banyak kalimat sederhana tapi atraktif yang disampaikan anak muda, misalnya:
Dari diskusi ini disepakati untuk bersuara lantang melalui Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Bali Antikorupsi.
12 September
Aksi longmarch ke DPRD Bali dihadiri lebih dari 100 orang, didominasi mahasiswa. Dipimpin Ketua BEM Unud, Javents Lumbantobing. Dimulai dari parkir timur menuju gedung DPRD Bali. Lima perwakilan fraksi DPRD Bali yang baru dilantik mendengarkan seluruh orasi perwakilan lembaga-lembaga mahasiswa.
Javents menyampaikan lima tuntutan agar DPRD Bali ikut menandatanganinya. Menuntut Presiden Joko Widodo dan DPR menghentikan pembahasan revisi UU KPK, menuntut transparansi pemilihan Capim KPK, dan mengajak warga kritis terhadap pelemahan KPK dan permasalahan korupsi di Bali.
15 September
Situasi makin memanas karena DPR tak mempedulikan suara-suara penolakan revisi UU KPK. Sejumlah organisasi dan warga terus mendatangi gedung KPK dan menyampaikan karangan bunga. Sialnya, sejumlah orang mengaku mahasiswa membakar tanda duka cita ini, dari koran Kompas diketahui kelompok massa ini bayaran dan juga hadir saat aksi tandingan simpati pada Papua.
Komunitas Sakti Bali juga menyampaikan bela sungkawa dan doa pada matinya KPK dengan menaruh karangan bunga di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi. Sejumlah anak muda membacakan puisi, mengisi malam kelam itu. “Apakah di era Jokowi, KPK akan seperti lilin ini, ditiup lalu mati?”
Comments 0