Saat ini, Bali masih mengalami ketergantungan energi.
Hampir semua energi di pulau dengan jumlah penduduk sekitar 4,2 juta ini menggantungkan pasokan energinya dari luar pulau. Karena itu, Bali harus mulai menggunakan sumber energi terbarukan yang melimpah, seperti mikrohidro dan panas matahari.
Demikian benang merah diskusi lingkungan yang diadakan Mongabay Indonesia bekerja sama dengan media jurnalisme warga BaleBengong dan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali di Denpasar pertengahan Juni lalu. Pembicara dalam diskusi menjelang buka puasa itu adalah Kepala Bidang Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Bali, Putu Budiana, Direktur PPLH Bali Catur Yudha Hariani, dan penggerak energi surya I Gusti Agung Putradhyana.
I Putu Budiana mengatakan dari sisi ketersediaan energi, Bali relatif baik. Energi listrik, gas, maupun bahan bakar di pulau ini hampir selalu tersedia meskipun Bali tidak memiliki sumber energi tersebut sama sekali. Budiana membandingkan Bali dengan pulau lain seperti Kalimantan.
“Jika listrik di Bali (menunggu) giliran mati, di Kalimantan (menunggu) giliran hidup,” katanya berseloroh.
Kebutuhan listrik di Bali diperkirakan mencapai sekitar 735 megawatt (MW) pada saat beban puncak. Adapun sumber energi listriknya diperoleh dari pembangkit listrik di Gilimanuk sebesar 130 MW, Pemaron 90 MW, dan Pesanggaran 321 MW. Ada pula pasokan listrik dari Jawa melalui kabel bawah laut sebesar 320 MW.
Meskipun demikian, sumber energi pembangkit listrik itu tetap berasal dari luar Bali, seperti batubara dan bahan bakar minyak. Padahal, kondisi itu membuat Bali tergantung pasokan dari luar pulau. “Bali dininabobokan oleh ketersediaan energi yang relatif stabil,” ujar Budiana.
Dia memberikan contoh di desa kelahirannya, Banyuatis, Buleleng. Pada tahun 1960-an, desa di pegunungan Bali bagian tengah ini memproduksi listrik sendiri menggunakan pembangkit mikrohidro. Namun, setelah PLN masuk, pembangkit mikrohidro justru terabaikan.
Upaya lain untuk membangun pembangkit listrik terbarukan pun tak berhasil. Di antaranya adalah rencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Bedugul, Tabanan yang ditolak dengan alasan mengancam kawasan suci umat Hindu Bali. Pembangunan pembangkit listrik tenaga surya seperti di Kubu, Karangasem maupun pembangkit listrik tenaga angin di Nusa Penida, Klungkung pun tidak berjalan dengan baik.
Dari perspektif energi terbarukan, menurut Budiana, kondisi itu tidak bagus. Bali pun tidak serius dengan upaya mewujudkan kemandirian energi, sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan di pulau ini.
Pada tahun 1960-an, beberapa desa di Bali telahmemproduksi listrik sendiri dengan pembangkit mikrohidro. Namun, setelah PLN masuk, mereka justru terabaikan.
Mandiri Energi
Budiana menambahkan, setidaknya ada dua alasan kenapa percepatan energi terbarukan perlu segera dilakukan di Bali. Pertama, karena pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim sebagai dampak penggunaan sumber energi tidak ramah lingkungan.
Pada tahun 2007 Bali pernah menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim. Bali pun membangun beberapa pembangkit listrik terbarukan termasuk di Karangasem, Bangli, dan Klungkung yang saat ini tak berfungsi.
Kedua, karena dunia mengalami krisis energi selain krisis air dan pangan. “Krisis ini harus kita atasi bersama,” ujarnya.
Negara-negara maju, dia mencontohkan, sudah mengembangkan energi-energi terbarukan seperti angin dan matahari sehingga Indonesia, termasuk Bali, pun harus lebih serius mengembangkannya.
Salah satu warga Bali yang sudah mengembangkan energi terbarukan tersebut adalah I Gusti Agung Putradhyana, akrab dipanggil Gung Kayon. Arsitek ini menggunakan panel surya di rumahnya di Desa Geluntung, Kecamatan Marga, Tabanan. Gung Kayon juga menggunakan tenaga matahari untuk alat-alat sederhana termasuk pengisi daya telepon, pemotong rumput, atau pemanen padi yang dijual dalam skala terbatas.
https://balebengong.id/sosok/memanen-cahaya-mentari-mengubah-jadi-energi.html
Gung Kayon mengatakan Bali berada di daerah tropis sehingga memiliki potensi energi surya sangat besar. Pada saat cerah, matahari bisa menghasilkan energi listrik sekitar 150 – 200 watt per meter persegi per jam. Dengan perkiraan dalam sehari setidaknya matahari bersinar penuh selama 4 jam, maka bisa diperoleh setidaknya 600 – 800 watt per hari dari 1 meter persegi panel surya.
Saat ini, kebutuhan listrik di Bali pada beban puncak mencapai 734,8 MW. Dengan total luas pulau 5.780 km persegi, Bali hanya perlu 1 persen luas pulaunya untuk tempat pembangkit listrik tenaga surya atau 57,8 km persegi. Tak sampai setengah Kota Denpasar.
“Luasan Itu hanya ilustrasi. Lokasi pembangunannya sendiri bisa menyebar di beberapa tempat, bukan hanya satu lokasi,” ujarnya.
Dari surya panel seluas 1 persen dari total luas pulaunya, Bali bisa menghasilkan setidaknya 8.670 MW. Lebih dari cukup untuk mencukupi kebutuhan di Bali.
Terkait dengan pemasangan, menurut Gung Kayon, sudah ada sistem Grid Tied Inverter, di mana daya dari panel surya bisa digandengkan dengan jaringan PLN. Pemasang panel surya pun tidak lagi memerlukan aki atau baterei kecuali jika ingin terus menggunakan siang malam dengan tenaga surya penuh.
Gung Kayon menambahkan, pemasangan panel surya untuk listrik sebenarnya tidak terlalu susah. Untuk lokasi di rumah misalnya tidak hanya di atap rumah tapi juga bisa disebar di mana saja. Pengerjaannya pun bisa bertahap.
“Kita bisa memulai dari sekecil apapun. Skema pembiayaannya pun bisa menggunakan banyak model,” tambahnya.
Menurut Gung Kayon, pemakaian listrik tenaga surya di Bali sebenarnya bisa dimulai dari sektor usaha, kantor-kantor yang beroperasi siang hari, dan bisnis akomodasi pariwisata. Adapun di rumah warga, bisa dimulai dengan memasang lampu-lampu dan peralatan elektronik daya rendah.
“Sambil ke depan menunggu hadirnya piranti-piranti listrik dengan daya makin rendah dan hasil optimal,” katanya.
Mulai dari Rumah
Penggunaan energi terbarukan mulai dari rumah tersebut tidak hanya untuk listrik. Menurut Catur Yudha Hariani, Direktur PPLH Bali, warga juga bisa mulai mengolah sampahnya menjadi biogas. “Denpasar punya potensi mendapatkan energi bersih dari biogas,” ujarnya.
Catur mengatakan, pada April hingga Mei 2017, PPLH Bali dengan dukungan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengadakan survei perihal perilaku warga Kota Denpasar tentang energi bersih dengan 50 responden. Menurut survei itu, jenis sampah yang paling banyak diproduksi warga Denpasar adalah organik. Sebanyak 88 persen sampah rumah tangga itu berupa daun, sisa canang (sarana sembahyang umat Hindu), sayuran, daging, dan buah.
Peluang mengembangkan biogas di Denpasar dengan metode sederhana sebenarnya sangat mungkin dilakukan.
Daripada dibuang, sampah jenis tersebut bisa diolah menjadi kompos ataupun biogas. Sebanyak 62 persen responden mengaku tertarik untuk memproduksi gas dari sampah organik rumah tangga mereka sendiri. Alasan mereka antara lain untuk menghemat biaya rumah tangga, peduli terhadap lingkungan, agar tidak lagi beli gas konvensional, memanfaatkan sampah dapur dan biogas mudah tidak berbahaya.
PPLH Bali sendiri saat ini sedang mengembangkan peralatan sederhana untuk mengolah sampah organik rumah tangga itu menjadi biogas, sesuatu yang sudah diterapkan di beberapa kota, termasuk Bandung, Jawa Barat.
“Peluang mengembangkan biogas di perkotaan khususnya di Kota Denpasar dengan metode sederhana sangat mungkin dilakukan,” kata Catur.
Persoalannya tinggal pada kemauan, mau menerapkan atau tidak. [b]
Catatan: Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Mongabay Indonesia.