Oleh Luh De Suriyani dan Ni Ketut Juniantari
Publikasi konser musik terus ada tiap akhir pekan di Bali. Bahkan dalam satu pekan pernah ada 3-4 konser besar. Bagaimana dengan pengelolaan sampah konsernya?
Kawasan jalan raya menuju Lapangan Renon pada 7 Agustus 2022 di hari terakhir PICA Fest 2022 sangat padat. Petugas pengatur jalur kendaraan sangat sedikit, banyak kendaraan yang terjebak di ruas jalan yang sudah penuh parkir.
Situasi di dalam venue pun tak kalah padat, kuota tiket 25 ribu per hari disebut sudah habis pada jam 8 malam, hari Minggu malam itu. Festival yang dihelat sejumlah wirausaha produk distro ini kembali dihelat selama 4 hari setelah dua tahun rehat Pandemi Covid-19.
Ada sejumlah titik panggung dan puluhan stan makanan. Tong sampah pun penuh dengan wadah makanan dan minuman sekali pakai.
Yudistira. Panitia PICA Fest mengakui masalah sampah memang memusingkan. Selain volume juga petugas kebersihan. Padahal panitia sudah menyiagakan 50 orang untuk mengangkut sampah di dalam venue tiap saat kemudian dibantu DLHK di sekitar lokasi. Produksi sampah sedikitnya 4 truk per hari, dan sekitar 50 tong sampah yang disiapkan pun dirasa masih kurang.
Sampah makanan dan minuman sekali pakai juga tidak bisa dibendung walau para tenant sudah diimbau untuk mengurangi plastik saat technical meeting. Sedangkan di gerai distro, pedagang sudah pakai tas nonkresek seperti paperbag dan spunbag. Bungkus plastik bening saja masih di kemasan baju.
“Sudah dikasi tahu pedagangnya, sanksi tahun depan tidak diajak,” katanya terkait kedisplinan tenant makanan. Repotnya lagi, menurut Yudis, banyak yang jual alkohol namun ada kesepakatan tidak boleh pakai botol kaca. “Kalau kaca bahaya di konser, takutnya chaos, dilempar, untuk bikin rusuh,” jelasnya.
Untuk pengelolaan sampah, pihaknya sudah memisahkan organik dan anorganik tapi tetap tercampur. Panitia bekerja sama dengan Griya Luhu, pengembang bank sampah digital. Lembaga ini yang mendampingi, memilah, dan memanfaatkan sampah yang bisa dijual.
Yudis mengakui sampah ini masalah besar, walau PICA sudah 7 kali berlangsung. “Tidak bagus tidak memikirkan itu, egois saja kalau tidak memikirkan. Nyaman tidaknya juga karena sampah. Sudah ada 40-50 tong sampah tapi masih kurang, tidak pernah cukup. Tidak pernah perfect pasti ada saja (masalah),” keluhnya.
Salah satu anggota DPR dari Bali yang hadir Nyoman Parta juga disebut mewanti-wanti agar ada penanganan sampah. Terlebih festival ini dihelat di depan kantor gubernur, didukung, dan dibuka Gubernur Bali Wayan Koster yang membuat Peraturan Gubernur larangan plastik sekali pakai sejak 2019, di antaranya kantong kresek, sedotan, dan styrofoam.
Yudis menyebut Pemprov mendukung peminjaman tempat gratis, serta menyambungkan ke izin dan sponsor. Biaya sewa tempat untuk event PICA selama ini cukup menguras kantong, misalnya saat di GOR Ngurah Rai, biayanya satu hari Rp15 juta, dan panitia sudah menggunakan venue bisa sampai 10 hari. “Kita mikir pengelolaan sampahnya, Anggota DPR Nyoman Parta juga bantu, dia ng-push juga,” jelasnya.
Sedangkan bantuan dinas lingkungan hidup juga ada dengan menyediakan tempat sampah. Masalah lain adalah kekurangan toilet karena di lapangan Renon tidak ada toilet umum.
Yudis bersyukur PICA tahun ini sukses besar. Total pengunjung 80.200 orang selama 4 hari, dan tahun depan direncanakan lebih besar lagi. Stan UMKM sekitar 70 unit.
Persiapan mengelola sampah konser
Koordinator Griya Luhu, Mia Krisna Pratiwi membagi pengalamannya menangani sampah PICA Fest 2022. Ia memetakan karakteristik acaranya dulu.
Pihaknya berusaha membantu mengonsepkan agar festival ini sedikit mungkin sampah yang berakhir ke TPA. Griya Luhu menyarankan setiap tenant ini tidak pakai styrofoam dan kemasan plastik. Panitia juga diminta bertanggungjawab mengedukasi pengunjung agar membawa tumbler kosong. Namun, tidak berjalan lancar.
Mia mencatat, meski PICA festival clothing, tapi tenant makanannya lebih banyak hampir 70% daripada tenant clothing. Untuk yang menjual pakaian bisa memastikan apa sampah yang dihasilkan, misal kardus dan plastik. Pengelolaan sampah ini lebih gampang.
Lalu untuk tenant makanan, disediakan tempat penampungan minyak jelantah. “Tapi masih banyak banget yang pakai paper cup, botol-botol plastik, tempat makanannya juga banyak yang menggunakan mika. Jadi yang diolah dari sampah tenant makanan masih banyak yang tercampur,” keluhnya.
Ia memperkirakan penjaga stand berbeda dengan yang mengikuti briefing. Rata-rata, tenant makanan hanya menyediakan satu tempat sampah di warung mereka.
“Yang kacau adalah sampah pengunjung. Pengunjung tidak ada briefing, mereka datang dengan semangat untuk nonton konser. Kalau jam 6 sore ke atas, pengunjung membludak,” urainya.
Faktor pengelolaan sampah ini menurutnya sangat dipengaruhi oleh, pertama jumlah tempat sampahnya dan titik peletakan tempat sampahnya. PICA menggunakan sekitar 2 hektar lapangan Puputan Renon.
Sedangkan peletakan tempat sampahnya hanya ada 25 titik. Jumlah itu sedikit sekali dibanding dengan jumlah pengunjung. “Kalau pengunjung sudah membludak, kita tidak bisa mengontrol lagi. Tempat sampahnya cepat penuh. Sehingga pengunjung mencampur sampahnya. Mana tempat yang kosong itu yang diisi. Bahkan kalau sudah penuh, dibuang di sekitar tong sampah. Itulah yang terjadi kemarin di PICA,” tuturnya.
Ia menyarankan, perlu ada media informasi dari penyelenggara sebagai jembatan agar bisa menjadi konser nyaman dan bersih. Ini menjadi catatan untuk konser-konser selanjutnya. Sampah yang membludak, akhirnya tercampur, ujung-ujungnya berakhir di TPA.
Keterlibatan Griya Luhu di PICA sejak awal perencanaan dan diberikan stan komunitas. Mereka memberi saran, tenant harus seperti apa, bagaimana alur mengelola sampahnya. Misalnya minimal menyediakan 2 tempat sampah. Satu untuk sisa makanan, satu lagi untuk sampah bersih yang tercampur. Griya luhu juga punya tim untuk edukasi oleh relawan sampai jam 11 malam.
“Setelah itu kami tidak bertugas lagi karena jam 11 ke atas itu jam puncak konser, pengunjung fokusnya menonton bukan membeli makanan lagi,” lanjut Mia. Setelah konser, besok paginya mereka bersih-bersih bersama komunitas yang melakukan clean up.
Pihak penyelenggara acara menurutnya tidak begitu fokus terhadap persoalan sampah karena sudah penuh memikirkan rundown acara. Hanya fokus pada kegiatan utama. “Ada banyak sponsor besar, dan kami sudah memberikan masukan, karena menghadapi sponsor besar, kita harus mengajak mereka bertanggungjawab terhadap produk yang sudah mereka jual. Kami memberi masukan, agar sponsor besar ini menyediakan tempat sampah untuk produk mereka sendiri. Tapi ini belum terlaksana,” urainya.
Tipe sampah di PICA tahun ini mirip seperti tipe sampah di masyarakat. Adanya tenant makanan, maka ada sampah sisa makanan. Yang paling banyak di PICA sampahnya paling banyak adalah jenis sampah plastik, kemasan minuman. Sekitar 50% hanya untuk botol plastik saja. Banyak yang menjual jus, kemasannya sudah didesain menggunakan botol plastik dengan cap.
Volume sampah dikelola Griya Luhu saat itu sekitar 25 kg setiap hari. Jenis sampah kardus dari clothing sebanyak 80 kg/hari, plastik lembaran 6 kg, dan kaleng sekitar 0.6 kg. Ia baru tahu tiap konser tidak boleh menyediakan kemasan botol kaca. Sementara minyak jelantah dari stan makanan yang terkumpul hanya 1 kg. Sampah makanan masih tercampur.
Sejujurnya, mengolah paper cup menurutnya lebih susah. “Paper cup terlihat lebih ramah lingkungan, tapi sebenarnya ada lapisan lilin di dalamnya yang tipis. Yang paling gampang ya membawa botol minum sendiri. Tapi Griya Luhu tidak memaksa, hanya memberikan rekomendasi,” jelasnya.
Kalau tenant mau mengolah makanannya langsung di sana, Griya Luhu menyediakan tempat khusus untuk minyak jelantah. Jadi tenant tidak buang minyak jelantah sembarangan. Setelah itu ditentukan jam berapa minyak jelantah ini akan diangkut. Briefingnya ketika persiapan, bukan ketika jualan.
Hanya sisa makanan yang sering tercampur dengan sampah lain. Padahal sisa makanan bisa disalurkan ke pengolah maggot atau yang membuat kompos. Catatan penting bagi penyelenggara adalah perlu mengatur pengangkutan sampahnya. Tenant pasti mengikuti instruksi panitia, kalau mau ikut jualan di sana.
Penyelenggara event diminta menyediakan minimal 2-3 tipe sampah. Dengan warna berbeda atau label berbeda. Kalau sampah konser biasanya menghasilkan dua jenis sampah, organik dan non-organik. Organik biasanya datang dari sampah sisa makanan.
Biasanya sampah organik dari pengunjung tidak bisa disalurkan ke pembudidaya maggot, karena banyak yang tercampur. Setiap sisa makanan tercampur tissue. Kebiasaan orang Indonesia, menurut Mia, sehabis makan tissue-nya dicemplungin menjadi satu sama sisa makanannya. Jadi tidak bisa diolah.
Sampah-sampah inilah akhirnya dikerjasamakan dengan dinas lingkungan terkait. Griya Luhu hanya bisa menyerap sampah non-organiknya saja.
Mia menyebut ada 3 pihak yang mengelola sampah di konser ini yakni panitia, tim eksternal yang mengelola sampah, dan dinas lingkungan. Catatan lain adalah perlu dibuatkan batasan yang jelas, agar tidak terjadi rebutan sampah. Sampah mana yang akan ditangani Griya Luhu, mana ranah sampah DLH. Harus dibuatkan batasan-batasan. Untuk merealisasikan ini, butuh peran besar dari panitia utamanya. “Biasanya kami mengikutsertakan banyak relawan. Ketika kami mengelola sampah konser di festival musik kemarin, kami sudah memetakan lokasi-lokasi yang berpeluang ada sampah banyak. Jadi relawan-relawan ini akan bertanggungjawab di setiap titik. Mereka harus keliling memastikan ada tidak sampah yang tercampur,” paparnya.
Sampah yang dikelolanya masuk ke gudang Griya Luhu. Sampah yang tidak bisa dikelola diambil pemulung. Tapi setelah diambil pemulung, sampah yang tidak laku dibiarkan berserakan lagi.
Griya Luhu juga memberikan sejumlah rekomendasi untuk penyelenggar konser atau kegiatan dengan massa besar.
-
Pertama, panitia harus memiliki fokus perhatian terhadap kebersihan.
-
Kedua, mereka mengalokasikan anggaran untuk kebersihan dan diprioritaskan karena bertanggungjawab memberikan nilai ke masyarakat, tidak hanya hiburan semata.
-
Ketiga, penyelenggara harus tahu kapasitas orang yang bisa mereka tampung berapa. Sehingga panitia bisa memetakan titik tempat sampah yang harus ada. Dari titik sampah ini, mereka harus menentukan mana yang menjadi sumber keramaian. Jadi di titik keramaian ini volume sampahnya akan lebh banyak. Kalau tidak menyediakan tempat sampah yang lebih besar, panitia harus lebih sering melakukan pengangkutan.
-
Keempat, memetakan segmentasi tenant. Panitia harus menyiapkan aturan untuk tenant. Poin inilah yang paling sering dikesampingkan. Harus ada kesepakatan dan komitmen soal pengelolaan sampah dengan tenant.
-
Kelima, panitia harus bisa menjadi edukator untuk pengunjung.
-
Keenam, berkolaborasi dan keterlibatan dinas, komunitas, dan pemerintah.
Setelah ada pemetaan, ada target maksimal beban sampah yang boleh masuk ke TPA dari konser. Hal ini mendorong penyelenggara untuk melakukan usaha mengurangi sampah mereka. Misal, panitia hanya boleh membawa sampah konsernya ke TPA satu truk saja. “Selama ini tidak ada, dan kita perlu ada tekanan ini,” ungkap Mia.
Pengelolaan sampah tergantung skala dan audiens konser
Pentingnya mengelola sampah konser juga dialami penyelenggara Ubud Village Jazz Festival UVJF). Tahun ini, perhalatan konser jazz ini mengumpulkan penonton sekitar 8000 orang selama 2 hari pada 12-13 Agustus. I Putu Suantara Putra, salah seorang penggagas UVJF menceritakan banyak perubahan yang terjadi di dunia festival setelah puncak Pandemi.
Perubahan ini ada dua yakni audiens dan panitia. Pada perilaku konsumen/audiensnya pun terbagi 2 ada dua tipe. Pertama, penonton lama sudah ngeh aturan soal mengurangi plastik dan jadi kebiasaan. Namun perubahan drastis terjadi ketika pandemi. Mereka kembali menggunakan plastik demi kebersihan.
“Selama 2 tahun pandemi, itu sudah menjadi habit, bahwa plastik bukan lagi barang yang harus dipedulikan. Padahal dulu sangat peduli. Itu tanpa sadar membuat kita longgar dari plastik. Nah ini karakter audiens lama, yang memang mengikuti festival sejak sebelum pandemi,” tegasnya.
Kedua, audiens selama 2-3 tahun ini relatif baru, anak SMA sampai baru tamat SMA. Audiens tipe ini menurutnya belum banyak peduli sampah plastik.
Pengangkutan sampah di venue dilakukan 3 kali, jam 3 sore, jam 8 malam, dan di akhir acara. Jadi ada 3 kali pengosongan tong sampah. Dari 3 kali pengosongan sampah di tong sampah, Suantara menghitung sampah UVJF ada sekitar 4 kubik per hari.
Sampah terbanyak adalah material organik, setelah itu gelas kertas, lalu botol. Sendoknya dari janur (sidu), beberapa pakai sendok kayu. UVJF juga menyediakan stasiun isi ulang air galon sehingga tidak ada air kemasan sekali pakai.
UVJF menyediakan dua jenis tong sampah, dari plastik dan kain. Tong sampah plastik bantuan dari Dinas Lingkungan Hidup, terdiri dari 3 kantong. Sedangkan tong sampah kain dari EcoBali.
Audiens UVJF rata-rata middle up dan ekspat. “70% audiens kita ekspat. Dilihat dari hasil penjualan tiket. Secara umum mungkin tiket kami tergolong mahal, hanya untuk mendengarkan beberapa band jazz,” kata Diana Surya menambahkan.
Dari harga tiket inilah audiensnya menjadi selektif. Sehingga menurut Diana lebih mudah mengarahkan.
Selain tipe penonton, faktor penentu berikut adalah panitia penyelenggara festival. Menurutnya, festival sekarang banyak dimotori oleh pemilik dana besar dari sponsor perusahaan. Dibandingkan dulu, festival dimotori komunitas.
“Sekarang orang berfestival untuk promosi, kalau dulu orang berfestival itu untuk apresiasi, membuat wadah untuk artis/musisi, sehingga lebih idealis,” tambah Suantara.
Ia menilai festival sekarang muatan komersialnya lebih tinggi. Memang tidak dipungkiri dulu pun ada festival komersial. Namun dulu festival komunitas jauh lebih banyak. Sekarang ia melihat, justru festival komunitas yang tidak ada karena kendala dana. “Komunitas itu lebih aware soal sampah,” celetuk Diana.
Dari dua faktor ini, konser saat ini dipengaruhi oleh penyelenggara dan penikmat konser. Beda karakteristik penyelenggara maka akan memiliki konsen yang berbeda-beda pula terkait sampah konser ini.
Menurut Diana, kalau dulu penyelenggara dari komunitas, meski disponsori perusahaan besar, tapi karena dimotori oleh komunitas itu biasanya awareness terkait sampah sudah tinggi. Penyelenggara sudah menyiapkan soal manajemen sampah, alur kemana sampahnya setelah itu, panitia harus tahu pasti. Bahkan menyiapkan orang untuk relawan dan informasi, seperti signed, informasi di media massa, ada pula hingga mempersiapkan reward.
“Semua bahan yang digunakan dalam konser itu sifatnya sekali pakai, bahkan bahan venue pun ada yang sekali pakai. Semua yang sekali pakai ini adalah sampah. Karena sekali pakai dia akan menjadi sampah,” Diana mengingatkan.
UVJF mensyaratkan tenat tidak pakai plastik karena itu akan menjadi sampah dan penyelenggara tidak bisa mempertanggungjawabkan. “Meski memang dipilah di sini tapi habis itu diapain? Meski kami sudah menyediakan tong sampah, tapi yang namanya festival besar, akan ada menghasilkan sampah.”
“Mereka spending untuk belanja di tenant lumayan besar, jadi tenant sudah terbiasa dengan syarat kami,” jelas Diana. Sampah yang dihasilkan dikelola dengan melibatkan komunitas seperti Ecobali dan pemerintah.
“Pertanggungjawabannya itu sampai pada akhir, kemana alur sampah kita. Nah ini yang aku lihat masih kurang di festival lain,” Suantara menanggapi. Diana juga menyoroti soal pilihan-pilihan yang disediakan penyelenggara festival agar minim sampah sangat sedikit. Kalau festival tidak boleh membawa makanan dari luar, maka audiens pasti belanja di tenant minimal beli air minum. Tapi tidak ada opsi yang menyediakan air minum isi ulang. Sehingga mau tidak mau kembali menggunakan cup plastik sekali pakai.
Apa yang bisa dilakukan agar persoalan sampah konser bisa terkelola baik? Pihak UVJF memetakan beberapa faktor strategis. Pertama, dari penyelenggara. Penyelenggara yang bisa membuat term and condition. Semua yang terlibat dalam festival pasti mengikuti. Kalau dari audiens memang tidak bisa mengontrol. Di sinilah fungsi penyelenggara. Harus memperhatikan banyak hal.
Kedua, ada alur pengelolaan sampah yang terfokus. Harus memperhatikan manajemen sampah di mana titik tong sampahnya, berapa kali pengangkutan, manajemen informasinya, manajemen SDM atau relawan.
“Bila perlu, ada satu orang yang bertanggungjawab di areal ini, jangan sampai tong sampah itu penuh. Kalau tong sampah itu penuh, audiens akan cemplungin di mana saja,” Diana mengingatkan.
Ia mencontohkan di UVJF, ia menyediakan area smoking khusus. Kalau ada yang merokok di luar area itu akan ditegur. Ia pernah menegur dan audiensnya mengapresiasi, tidak marah. Sehingga sampah puntung rokok itu akan ada di area itu saja.
“Kadang orang mikir festival ngurus sampah mahal banget. Padahal kalau kita bisa merangkul komunitas, komunitas itu tidak selalu minta dibayar pakai duit. Tapi dibayar pakai promosi.” lanjutnya.
Terakhir, pemerintah harus bisa membuat aturan. Harus ada sanksi untuk festival yang tidak memperhatikan itu. Misal jangan diberikan ijin kalau mengadakan konser lagi.
Pengalaman kelola sampah
Bali sudah memiliki beberapa regulasi sampah namun pelaksanaannya masih tertatih. Di antaranya Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Bali No. 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Ditambah Pergub No 47 Tahun 2019 tentang Pengolahan Sampah Berbasis Sumber. Aturan itu ditindaklanjuti dengan Keputusan Gubernur Nomor 381/03-P/HK/2021 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Desa/Kelurahan dan Desa Adat.
Wayan Suartana, Koordinator Lapangan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Denpasar yang menangani sampah di Sanur Village Fest tahun ini mengatakan pihaknya hanya mengambil sisa sampah yang tidak diambil pihak swakelola sampah festival.
Karena itu jumlahnya tidak banyak, dalam sehari sisanya sekitar 5 mobil pickup dan 1 dump truck. “Anorganik sudah diambil plastiknya oleh swakelola. Sisanya termasuk organik dibawa ke TPA,” katanya.
Masukannya ke panitia konser berikutnya, sampah dikelola mandiri di wilayah setempat karena mulai November nanti sudah tidak boleh ada sampah lagi masuk ke TPA Suwung. “Diangkut juga yang organik. Apalagi tahun ini November sudah tidak boleh masuk TPA, kan sudah ada pengelolaan mandiri di tiap desa. Sama-sama menikmatilah sampahnya,” harapnya.
Sanur Village Fest juga harus bekerjasama dengan lembaga lain untuk mengelola sampah selain membuat tim sendiri. Ini adalah pengalaman Sanur Festival pada 2018. Plastik Detox, lembaga pengampanye zero waste, membantu Sanur Village Festival dalam pencegahan dan pendataan sampah konser yang diadakan selama acara 22-26 Agustus 2018 di Pantai Matahari Terbit, Sanur. Keterlibatan Plastik Detox dimulai dengan Beach Clean Up pada 18 Agustus 2018 di Pantai Matahari Terbit hingga Pantai Retro Beach Sanur.
Ketika puncak konser pada 22-26 Agustus, Plastik Detox menyiapkan tempat sampah yang dilengkapi dengan penanda tentang sampah yang akan dipilah. Seperti botol plastikm sedotan plastik dan tas plastik. Sampah yang terkumpul setiap harinya akan dilaporkan dan dibagikan dalam papan tulis yang dipasang di pos informasi dan area belakang panggung.
Himbauan lain juga dilakukan dalam bentuk spanduk yang di pasang di area konser, dengan penegasan mengenai menolah sedotan plastik, menolak tas kresek dan buang sampah pada tempatnya.
Dari upaya-upaya itu, Plastik Detox dalam Sanur Village Festival tahun 2018 yang berlangsung selama 5 hari memperoleh sampah berupa botol plastik sebanyak 93,39 kg, sedotan plastik 3,27 kg (7.790 pcs), dan 36 kg tas kresek. Sedangkan sampah yang ditemukan ketika Beach Clean Up sebanyak 14,5kg tas kresek, 5 kg jenis botol plastik, 265 pcs sedotan plastik serta jenis lain-lain sebanyak 146 kg.
Sedangkan hasil sampah yang dikumpulkan koordinator sampah festival juga mengumpulkan sampah sekali pakai yang tak kalah banyak. Gelas plastik sebanyak 160 kg, botol plastik 60 kg, tutup gelas tidak bisa didaur ulang, kardus, serta botol kaca prost dan non-prost.
Dari 2 sumber pengelola sampah pada Sanur Village Festival 2018 memiliki sampah festival sebanyak 153.33 kg sampah jenis botol plastik. Sampah jenis gelas plastik sebanyak 160 kg, sedotan plastik 7.790 pcs atau setara 3,27 kg dan 36 kg sampah jenis tas kresek.
Ini adalah hasil temuan sampah festival ketika masyarakat belum melalui Pandemi Covid-19. Yang mana, kondisi persoalan sampah menjadi masalah yang terus digaungkan oleh pemerintah Provinsi Bali. Begitu pula sudah berdampak pada kebiasaan masyarakat yang fokus dalam memperlakukan sampah khususnya jenis sampah plastik.
Namun, saat ini setelah masyarakat dan dunia dilumpuhkan oleh pandemi. Sri Junantari relawan Plastik Detox menilai ada pergeseran perilaku atas buyarnya fokus orang-orang dalam kepedulian sampah. “Kini ketika kita baru berangsur melewati new normal, orang-orang prioritasnya pada pemulihan ekonomi. Jadi agak abai pada lingkungan,” kata Sri.
Perubahan perilaku yang abai pada lingkungan ini juga diperparah dengan adanya bentrok kepentingan antara penyelenggara dan sponsor acara. Ia mencontohkan, pihak penyelenggara festival memiliki keinginan mengurangi sampah botol AMDK (air minum dalam kemasan). Namun, satu sisi mereka disponsori oleh perusahaan AMDK.
“Apalagi ada kesepakatan tiap tenant cuma bisa jual AMDK merk sponsor. Akan susah tuh jadinya,” tambahnya.
Tahun ini Plastik Detox tidak terlibat langsung dalam pengelolaan sampah festival ini. Namun, beberapa rekomendasi yang dicetuskan dari refleksi hasil sampah festival tahun 2018 itu menurut Sri masih sangat relevan. Tercatat dalam laporan Plastik Detox beberapa rekomendasi untuk penyelenggara festival dalam mengelola sampah, yaitu:
1. Membuat peraturan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai untuk pedagang
2. Memasang lebih banyak lagi tong sampah dengan penanda
3. Mengawasi dengan ketat dalam mengurusi sampah bersama koordinator sampah
4. Membuat refill station di berbagai titik
5. Pengumuman melalui media massa dan media sosial secara berkala
6. Perbanyak jumlah volunteer yang menangani sampah
7. Himbauan supaya pengunjung membawa tas dan botol minum sendiri
8. Hadiah undian bagi pengunjung yang membawa tas dan botol minum sendiri berupa voucher makan/minum senilai 50.000 rupiah dari vendor penjualan.