Lima tahun terakhir, sabu-sabu makin banyak menyerbu Bali.
Namun, Bali justru belum menyiapkan tempat rehabilitasi bagi pecandu sabu-sabu. Pelaksana rehabilitasi pun mendesak perlunya metode baru rehabilitasi.
Saat ini, di Bali terdapat beberapa tempat rehab yang dikelola pemerintah ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tempat rehabilitasi yang dikelola pemerintah misalnya Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di Bangli. Adapun tempat rehabilitasi milik LSM antara lain Yayasan Kasih Kita (Yakita) dan Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) di Denpasar.
Namun, ketiga tempat rehabilitasi tersebut hanya fokus pada pengguna narkoba suntik atau injecting drug users (IDU). Pecandu narkoba jenis sabu-sabu yang terus meningkat dan mengalahkan jumlah IDU, justru belum memiliki satu tempat rehab khusus.
Yakita yang mengelola tempat rehabilitasi di Renon, misalnya, hanya fokus pada IDU. Saat ini ada tiga residen sedang direhab. “Kami belum menerima pecandu sabu-sabu karena metode rehabilitasinya berbeda,” kata Dudi Rohadi, Manajer Yakita.
Menurut Dudi pecandu sabu-sabu memiliki dual diagnosis, yaitu mental dan fisik. Hal ini berbeda dengan pecandu heroin yang pada umumnya lebih pada fisik. Penanganan pecandu sabu-sabu harus melibatkan dokter jiwa atau psikiater.
“Kalau pada IDU, kami bisa terapkan isolasi agar mereka bisa sembuh. Kalau pecandu sabu-sabu tidak bisa,” kata Dudi.
Pada pecandu sabu-sabu, lanjut Dudi, kecanduan secara mental bahkan bisa menyebabkan kegilaan jika terapinya tidak tepat.
Hal senada dikatakan Adi Mantara, Direktur Yakeba yang juga mengelola tempat rehab di kantor mereka sejak sekitar 1999. “Kami terpaksa menolak pecandu sabu-sabu yang mau rehab di sini karena kami belum siap,” kata Mantara.
Yakeba termasuk salah satu perintis rehabilitasi narkoba di Bali. Sejak berdiri pada 1999, kantor mereka menjadi tempat rehabilitasi bagi pecandu narkoba suntik di Bali dan sekitarnya.
Meskipun demikian, hingga saat ini Yakeba tidak meneria pecandu sabu-sabu. “Metode rehab untuk pecandu sabu-sabu berbeda dengan metode untuk IDU,” kata Mantara yang juga mantan IDU.
Menurut Mantara, Yakeba biasanya melakukan asessment untuk melihat gejala pecandu yang akan rehab di tempat mereka. Pada umumnya ada yang murni IDU, namun ada juga yang menggunakan keduanya, sabu-sabu dan heroin. “Jika kecanduannya pada sabu-sabu lebih parah, kami tidak akan terima,” ujarnya.
Untuk itu, Mantara menuturkan, biasanya mereka menyarankan pecandu sabu-sabu untuk ikut rehabilitasi di Lido, Bogor, Jawa Barat yang dikelola Badan Narkotika Nasional (BNN).
Belum adanya tempat rehabilitasi bagi pecandu sabu-sabu di Bali ini menjadi tantangan tersendiri bagi pelaksana rehab ataupun pecandu itu sendiri. Padahal, berdasarkan data BNN, jumlah kasus sabu-sabu memang makin dominan di Bali.
Sejak 2009 jumlah kasus narkoba jenis sabu-sabu ini terus meningkat yaitu 101 kasus pada 2009, 213 kasus (2010), dan 268 kasus (2011). Kasus sabu-sabu ini paling banyak dibandingkan kasus lain seperti ganja yaitu 82 kasus (2009), 41 kasus (2010), dan 51 kasus (2011) atau kasus heroin 8 kasus (2009), 12 kasus (2010), dan 7 kasus (2011).
Yusuf Rey Noldi, Konselor Adiksi BNN Provinsi Bali mengatakan, makin banyaknya pengguna sabu-sabu di Bali memang terjadi lima tahun terakhir. “Kalau kita lihat di lapangan, pemakai IDU hanya orang-orang lama. Sudah tidak ada pemakai heroin baru lagi,” ujarnya.
Ada beberapa penyebab maraknya sabu-sabu di Bali ini. Pertama karena Bali memang menjadi tempat transit sekaligus penjualan narkoba internasional sejak dulu. Kedua karena kuatnya perang terhadap heroin di wilayah-wilayah produksi seperti di Segitiga Emas. Dampaknya, produksi heroin juga berkurang.
Penyebab ketiga, cara produksi sabu-sabu lebih mudah karena bisa dibuat di rumah. Keempat, seiring peningkatan jumlah kelas menengah, pembelian sabu-sabu memang meningkat. Padahal, harga sabu-sabu justru lebih mahal.
Menurut informasi di lapangan, harga sabu-sabu per pakt 0,2 gram sekitar Rp 700.000. Bandingkan heroin yang “hanya” Rp 500.000. [b]