Di sela-sela KTT G20 di Bali, pemerintah meluncurkan mekanisme pendanaan untuk transisi energi di Indonesia. Mekanisme pendanaan itu bernama JETP (Just Energy Transition Partnership). Pertanyaan mendasarnya adalah apakah Bali, sebagai tempat digelarnya KTT G20 dan peluncuran JETP, juga mendapatkan pembiayaan untuk transisi energi tersebut?
Bagi Bali, pasca KTT G20 seharusnya tidak dilihat sebatas ketiban hibah proyek penyelenggaraan KTT G20. Memang benar, Bali ketiban dua hibah proyek nasional senilai Rp 800 miliar untuk pembangunan gedung VVIP Bandara I Gusti Ngurah Rai dan mangrove Tahura Ngurah Rai, tapi itu lebih karena ditunjuk sebagai tuan rumah KTT G20. Artinya, itu hanya perbaikan fasilitas biasa, yang daerah lain bisa dapatkan asal ditunjuk sebagai tuan rumah KTT G20. Klaim 2 proyek akan membawa ekosistem Bali naik kelas dan berjangka panjang bisa jadi menyesatkan.
Bicara tentang naik kelas, sebenarnya ekosistem Bali justru akan naik kelas jika pemerintah Provinsi Bali mau terlibat lebih jauh dalam transisi energi. Kesepakatan JETP seharusnya juga diimplementasikan di Bali, tempat kesepakatan itu dibuat. Ketersediaan pendanaan untuk transisi energi melalui JETP memungkinkan Bali mempercepat transisi energinya dari yang sekarang bersumber dari energi fosil menjadi energi terbarukan sesuai potensi yang ada di Bali. Jika Bali bisa terlibat dan berhasil mentransisikan sumber energi untuk pembangkit listriknya maka cukup layak untuk mengklaim naik kelas, naik kelas dari fosil ke terbarukan dan hasil G20 memang terbukti berjangka panjang.
Untuk Bali, pendanaan dari JETP tentu tidak datang begitu saja, harus diperjuangkan ke Pemerintah Pusat. Bicara tentang meraih pendanaan dari pusat, sepertinya Bali tidak perlu diragukan lagi kemampuannya, pemerintah Provinsi Bali bahkan dapat meraih pendanaan yang bersumber dari dana pemulihan ekonomi nasional untuk membangun Pusat Kebudayaan Bali di Klungkung. Pemprov Bali bisa mendapatkan pinjaman setidaknya 1,5 triliun rupiah dari Pemerintah Pusat melalui PT. Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI).
Komitmen pendanaan untuk transisi energi sebesar USD 20 M
Presiden Jokowi melansir setidaknya ada 366 proyek telah disepakati dalam ajang KTT G20 di Bali. Adapun total nilai dari proyek tersebut US$ 309,4 miliar atau setara Rp 4.857 triliun (kurs Rp 15.700). Total proyek itu terdiri dari 226 proyek yang bersifat multilateral senilai US$ 238 miliar dan 140 proyek bilateral dengan nilai US$ 71,4 miliar.
Salah satu di antaranya adalah komitmen pendanaan senilai USD 20 miliar untuk transisi energi melalui skema Just Energi Transition Partnership (JETP). Selain akan digunakan untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), penerapan teknologi penangkapan karbon (carbon capture technology), pendanaan tersebut juga ditujukan untuk mempercepat penerapan energi terbarukan sehingga pembangkit energi terbarukan mencakup setidaknya 34 persen dari seluruh pembangkit listrik pada tahun 2030.
Target 34 persen pembangkit listrik berbasis energi terbarukan cukup ambisius mengingat saat ini realisasinya hanya berkisar 12 persen bahkan terus merosot seiring beroperasinya pembangkit berbasis fosil baru. Selain jarak antara target dengan kondisi saat ini masih lebar, jangka waktu waktunya mencapai targetnya juga pendek.
Kemendesakan untuk melakukan transisi energi ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan lokasi implementasi transisi energi terbarukan di Indonesia dengan memilih daerah yang siap dan berpengalaman dalam implementasi energi terbarukan. Hal lain yang dapat dijadikan indikator misalnya daerah atau provinsinya memiliki regulasi terkait energi terbarukan, atau indikator lain seperti menggunakan pendekatan pulau, pulau di Indonesia yang tidak memiliki energi fosil adalah wilayah yang sumber energi pembangkit listriknya ditransisikan ke energi terbarukan terlebih dahulu. Indikator tersebut adalah kesiapan fundamental untuk melakukan transisi energi sehingga transisinya dapat dilakukan tepat waktu.
Kesiapan Bali dalam Transisi Energi
Kilas Balik Implementasi energi terbarukan di Bali.
Bali memiliki segudang pengalaman dalam mengimplementasikan energi terbarukan. Berbagai contoh proyek pengembangan energi terbarukan sudah pernah dibangun dan dimanfaatkan di Bali. Jejak panjang itu dimulai dari pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dan PLTS Nusa Penida dibangun dan menjadi salah satu promosi Indonesia pada Conference of Parties (COP) United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) 2007 di Nusa Dua, Bali.
Pembangkit tersebut dibangun di Puncak Mundi, Nusa Penida berkapasitas lebih dari 700 kilowatt dan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 13 November 2007. Pada masa itu, Nusa Penida rencananya dijadikan percontohan pulau dengan energi yang terbarukan sehingga “Go Green Go Clean”. Proyek tersebut didanai langsung oleh Kementerian ESDM dengan biaya untuk masing-masing pembangkit sebesar Rp3,5 miliar.
Proyek PLTS terbesar pertama di Indonesia juga ada di Bali. PLTS masing-masing 1 MWp diresmikan pada Februari 2013 yang terletak di Kubu, Karangasem dan Desa Kayubihi, Bangli. Selain 2 proyek besar, Kementerian ESDM juga membangun empat PLTS diantaranya PLTS 20 KVA tahun 2014 berlokasi di Desa Tianyar Tengah, PLTS 15 KVA tahun 2013 di Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu; PLTS 15 KVA tahun 2013 di Desa Ban, Kecamatan Kubu; dan PLTS 15 KVA tahun 2013 di Desa Datah, Kecamatan Abang.
Selain PLTS, Bali juga telah memanfaatkan air sebagai sumber energi. Saat ini bali juga memanfaatkan listrik bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Panji Muara berkapasitas 2 x 700 kiloWatt (kW) ini merupakan pembangkit mini hidro komersial pertama di Bali. Pembangkit ini berada di Desa Sambangan, Singaraja, Buleleng, sejak Oktober 2016.
Jelang KTT G20, di Bali juga diresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Waduk Muara Nusa Dua, Kabupaten Badung 100 kWp, PLTS Atap 10 kWp dan PLT Hybrid 3,5 MW di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.
Selain itu, atap kantor pemerintahan, unit bisnis, sekolah dan bahkan atap rumah individu ada yang menginstal PLTS Atap baik on grid maupun off grid yang listriknya untuk kebutuhan sehari-hari.
Di tingkat komunitas, pemanfaatan energi terbarukan juga menjadi solusi bagi pemenuhan kebutuhan listrik warga. Seperti yang ada di PLTS sistem off-grid 10 kWp di dusun Manik Aji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem yang dibangun pada tahun 2017 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali. PLTS tersebut kini dikelola oleh komunitas dan listriknya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan 17 rumah tangga, 2 Pura serta 1 Balai Banjar.
PLTS ini terbukti menjadi solusi bagi warga untuk memenuhi kebutuhan listrik hariannya. Pada tingkat tapak ini juga menunjukkan bahwa kesempatan mengelola pembangkit listrik berbasis energi terbarukan bukan hal mustahil untuk dilakukan. Terbukti, dengan perawatan yang sederhana, PLTS Dusun Manik Aji beroperasi 5 tahun tanpa kendala.
Tidak semua proyek energi terbarukan di Bali berjalan sukses adalah benar adanya dan faktanya memang ada proyek mangkrak. Tetapi ada juga yang berhasil dan menjadi jawaban atas kebutuhan listrik bagi warga yang ada di pelosok Bali, adalah fakta lain yang tak bisa diabaikan. Inilah pengalaman kolektif Bali, dan pengalaman jatuh bangun ini menunjukkan Bali punya modal untuk melakukan transisi energi dan berhenti bergantung pada energi fosil.
Bali pernah ditunjuk sebagai KNEB
Sebelum transisi energi ramai di perbincangkan seperti yang dibahas di dalam G20, Bali telah digagas dan proyeksikan sebagai kawasan nasional energi bersih melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 4421 K/20/MEM/2015 tentang Penetapan Provinsi Bali Sebagai Kawasan Nasional Energi Bersih pada 15 Oktober 2015. Terdapat 5 point penting dalam keputusan tersebut, yaitu :
- Menetapkan Provinsi Bali sebagai Kawasan Nasional Energi Bersih.
- Memprioritaskan penggunaan energi bersih, baru, dan terbarukan dalam penyediaan kebutuhan energi di Provinsi Bali.
- Mengkonversi penggunaan energi tak terbarukan dalam penyediaan kebutuhan energi di Provinsi Bali menjadi energi bersih, baru, dan terbarukan.
- Menunjuk Tim Pengembangan Kawasan Nasional Energi Bersih yang dibentuk oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memfasilitasi para pemangku kepentingan dalam mewujudkan Provinsi Bali sebagai Kawasan Nasional Energi Bersih.
- Tim Pengembangan Kawasan Nasional Energi Bersih berkoordinasi dan bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Bali.
Terbitnya Keputusan Menteri ESDM pada masa itu telah diawali dengan komitmen-komitmen secara verbal, misalnya Menteri ESDM dalam rangkaian kegiatan Coal Trans (Juni, 2015) menyampaikan niat pemerintah pusat menjadikan Bali sebagai contoh pelaksanaan program energi bersih. Alasannya jelas untuk amplifikasi, pemilihan Bali sebagai wilayah percontohan energi bersih karena banyak dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Penetapannya sebagai wilayah percontohan dapat cepat tersebar dan diikuti wilayah lain.
Tidak hanya itu, sebelumnya, pemerintah Provinsi Bali dan Kementerian ESDM juga telah membahas tentang rancangan pembangunan KNEB bahkan pada saat itu Tim KNEB bersama Dinas Pekerjaan Umum – ESDM Provinsi Bali telah melakukan survei lokasi rencana pengembangan center of excellence (CoE), salah satunya di Kabupaten Jembrana.
Bali pernah menyelenggarakan pertemuan Bali Clean Energy Forum (BCEF), sebuah forum hasil kerjasama antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan International Energy Agency (IEA). Kala itu, Menteri ESDM Sudirman Said juga meresmikan pendirian Pusat Unggulan Energi Bersih (Clean Energy Center of Excellence/CoE) di Gedung PLTG Pesanggaran, Bali, 01 April 2016. CoE Indonesia didirikan sebagai pusat dukungan investasi dan bisnis terhadap percepatan pengembangan energi bersih di seluruh Indonesia, bahkan di daerah yang terpelosok, terpinggir, dan terdepan. Selain diluncurkan CoE, Kementerian ESDM pada masa itu juga membentuk tim persiapan pembentukan kelembagaan.
Meskipun saat ini, isu tentang Bali sebagai kawasan nasional energi bersih tidak lagi muncul ke permukaan. Bahkan perlu dipastikan ulang keberadaan tim tersebut, akan tetapi setidaknya pernah ada persiapan menuju arah tersebut, jejaknya pun dapat ditelusuri karena telah dilakukan pembahasan hingga penetapan kebijakannya.
Dukungan Regulasi dan Ekosistem Energi Terbarukan di Bali
Bali mungkin menjadi salah satu Provinsi di Indonesia yang paling siap untuk melakukan transisi energi jika dilihat dari sisi regulasi. Bali telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED), Peraturan Gubernur Bali Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih dan sebagai salah satu pemanfaatan terakhirnya Bali telah memiliki Peraturan Gubernur Bali Nomor 48 Tahun 2019 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Di dalam dokumen Rencana Umum Energi Daerah (RUED), potensi energi terbarukan yang dimiliki oleh Bali sangat besar, melampaui kebutuhan beban puncak sebelum pandemi 980 MW. Potensi energi terbarukan di Bali diantaranya adalah bersumber dari tenaga air 208 MW, mini dan mikrohidro 15 MW, angin 1019 MW, surya 1254 MW, energi laut yang secara teoritis memiliki potensi 5119 MW. Belum lagi potensi dari biomassa 146,9 MW dan biogas 44,7 MW dan panas bumi dengan total 262 MW.
Temuan menggembirakan tentang potensi energi surya juga dihasilkan oleh akademisi Bali. Bekerja sama dengan Greenpeace Indonesia, Center For Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana. Dibandingkan energi terbarukan lainnya, energi surya di Provinsi Bali memiliki potensi yang paling tinggi, yaitu sekitar 98% dari total potensi energi terbarukan yang terdapat di Bali. Simulasi dengan RETScreen dan Helioscope menunjukkan potensi energi matahari di pusat kabupaten/Kota di Bali berkisar antara 4,01-6,13 kWh/m²/hari dengan rata-rata 4,89 kWh/m²/hari. Karena Bali adalah pulau yang cukup kecil maka perbedaan potensi energi matahari di 9 Kabupaten/Kota tidak terlalu besar. Bali memiliki iradiasi solar berkisar 1,490 hingga 1,776 kWh/m²/tahun, atau melebihi standar yang diberlakukan di Eropa untuk kelayakan proyek energi surya, yaitu 900 kWh/m²/tahun. Dengan menggunakan sistem pemodelan pemetaan, dapat diketahui bahwa total potensi energi surya di Provinsi Bali dapat mencapai 113,436.5 GWh per tahun, di mana jauh melebihi jumlah permintaan energi penduduknya pada tahun 2027, yaitu 10,014 GWh per tahun.
Selain sudah banyak contoh pemanfaatan energi terbarukan dan kesiapan regulasi, Bali juga memiliki segudang praktisi rakyat, praktisi yang aktif bekerja di tengah komunitas baik untuk fasilitasi teknis pemanfaatan energi terbarukan maupun edukasi. Tidak hanya itu, di Bali juga terdapat lembaga keuangan non bank yang menjadi pioner dalam penyaluran kredit untuk pemanfaatan energi terbarukan, yakni koperasi Amoghasiddhi, bahkan menyabet berbagai penghargaan dari pemerintah atas inisiatifnya dalam menyalurkan kredit untuk energi terbarukan. Bali juga memiliki lembaga think-tank, Center For Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana yang juga telah mengeluarkan hasil riset untuk Peta Jalan Pengembangan PLTS Atap.
Potensi energi, baik yang ada di RUED maupun hasil studi lainnya jelas meyakinkan kita bahwa modal dasar Bali untuk melakukan transisi energi menuju energi terbarukan sangat besar. Ke depan, dengan terus berkembangnya teknologi untuk energi terbarukan bukan tidak mungkin potensi energi terbarukannya bisa dimanfaatkan lebih maksimal dengan teknologi yang semakin bersih. Tentu saja potensi panas bumi patut dikesampingkan mengingat lokasinya yang tidak tepat juga penolakan secara kolektif dari masyarakat Bali.
Bali Mandiri Energi.
Dokumen RUED menyebut tujuan pembangunan energi di Bali adalah untuk menuju Bali mandiri energi dengan memprioritaskan pengelolaan energi bersih yang berkeadilan, mudah terjangkau, berkelanjutan dan mensejahterakan dalam pembangunan daerah. Dengan potensi energi terbarukan, sumber daya manusia, regulasi dan pengalaman yang sudah dimiliki oleh Bali jelas bahwa modal besar untuk transisi sudah ada, untuk itu momentum JETP harus dilihat sebagai kesempatan untuk mempercepat kemandirian energi di Bali.
Bagi bali, pendanaan JETP penting untuk meningkatkan ambisi dan realisasi transisinya sehingga kemandirian energi juga terefleksi dalam realisasi. Mengingat, data terakhir realisasi energi terbarukan di Bali hanya 0,27 %. Meski memiliki potensi energi terbarukan sangat besar, Bali justru bergantung pada energi fosil dimana 99 persen listriknya dihasilkan dari pembangkit listrik berbasis fosil. Berdasarkan hasil pemodelan Long-range Energy Alternatives Planning (LEAP) tahun dasar 2015, bauran energi daerah Provinsi Bali terbagi atas 4 jenis : batubara 19,63 %, minyak bumi 75,71 %, gas bumi 4,39 %, dan energi baru dan terbarukan menyumbang sebagian kecil 0,27 %.
Bali harus bekerja keras untuk mencapai target 11,15% pada 2025. Meskipun persentase yang ingin dicapai dalam bauran energi primer EBT sebesar 11,15 % pada tahun 2025 dan 20,10% pada tahun 2050 masih belum mengarah pada kemandirian, namun demikian angka tersebut patutlah diapresiasi dan diletakkan sebagai target minimal. Dengan potensi yang dimiliki juga pengalaman panjang yang sudah ada, Bali harus bergantung 100 persen pada energi terbarukan yang ada dan dapat dibangkitkan di wilayah Bali. Hanya dengan menggantungkan sumber energi pada energi terbarukan, Bali akan mandiri dan berdaulat energi.
Kembali kepada momentum G20, bali seharusnya tidak hanya berbangga hanya mendapatkan keuntungan karena terselenggaranya G20 saja, lebih visioner daripada itu, Bali harus memperjuangkan agar transisi energi menuju Bali mandiri energi dapat didanai dari kesepakatan JETP bernilai USD 20 miliar tersebut.
Saat ini, detail JETP masih dalam pembahasan, 6 bulan sejak kesepakatan itu ditandatangani. Jika pemerintah di Bali memiliki kemauan politik yang kuat untuk melakukan transisi energi, ini adalah saat yang tepat untuk memperjuangkan agar Bali mendapatkan pendanaan yang bersumber dari dana JETP tersebut untuk melakukan transisi energi.
Dari uraian di atas, ada beberapa faktor yang menguntungkan bagi Bali untuk terlibat aktif dalam transisi energi. Pertama, Tuan rumah tempat KTT G20, tuan rumah tempat kesepakatan bernilai USD 20 miliar dilakukan, Bali seharusnya juga dijadikan tempat pertama dan utama untuk transisi energi. Sehingga tidak hanya menjadi tempat untuk bersepakat saja, tapi juga tuan rumah untuk implementasinya. Punya pengalaman panjang dalam mengimplementasikan energi terbarukan, punya segudang sumber daya manusia yang sudah berpengalaman, punya contoh lembaga keuangan non-bank yang terlibat aktif untuk menyalurkan pendanaan kepada masyarakat yang memanfaatkan energi terbarukan dan memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, Bali sangat layak menjadi tuan rumah transisi energi.
Kedua, tersedianya peraturan yang memadai untuk mengimplementasikan energi terbarukan dan transisi energi di Bali. Bali masih menjadikan energi fosil sebagai sumber pembangkitan energi listrik di Bali, namun dengan semangat semangat kemandirian energi, seharusnya ketergantungan terhadap energi fosil dapat dieliminir. Regulasi yang ada saat ini seharusnya dimanfaatkan pada sisi pengaturan yang mendukung implementasi energi terbarukan. Momentum JETP dapat digunakan untuk memperkuat kebijakan dengan melakukan revisi dan mengeliminir pengaruh energi fosil dalam kebijakan energi Pemerintah Provinsi Bali.
Ketiga, pendanaan yang bersumber dari JETP bukan hanya ditujukan untuk pembangunan proyek baru saja, tetapi juga memperkuat dan memperbesar skala pembangkit energi terbarukan yang sudah berjalan baik di berbagai tempat di Bali.
Sebagai tuan rumah bagi agenda transisi energi di KTT G20, transisi energi di Bali wajib berpegang pada prinsip keadilan, sebagaimana juga dimuat dalam Bali mandiri energi dengan memprioritaskan pengelolaan energi bersih yang berkeadilan, mudah terjangkau, berkelanjutan dan mensejahterakan dalam pembangunan daerah dengan mengarusutamakan partisipasi dan menggunakan energi terbarukan sebagai sumber energi bersihnya.
Bali sejak lama telah diharapkan melakukan transisi energi juga diharapkan menjadi role model bagi energi terbarukan. Dengan momentum JETP, yang juga diluncurkan di Bali, maka ini menjadi kesempatan yang baik bagi Bali mendapatkan dukungan pendanaan untuk Bali Mandiri Energi, 100 persen Terbarukan.