“Namanya siapa?”
“Kenzu”
“Paling kenken?”
“Oh… Tidak isi nama Bali. Biar nasional saja.”
Ada yang mengalir deras di dada saya ketika menyimak perbincangan mahmud, mamah mamah muda. Rasanya ingin menggenggam pundaknya, lalu menanyakan dengan serius tentang arti nasionalisme itu.
Lantas niat ini saya urungkan. Ya… anak-anak mereka sendiri. Merekalah yang berhak menamai seperti apa buah hatinya itu. Soal nama, ada harapan, ada doa. Tidak ada nama yang buruk. Semuanya baik. Tergantung pada bakat lingkungan yang turut membesarkannya.
Bukan sekali ini saja saya menemukan seorang ibu muda yang memberi nama anak mereka dengan sentuhan modern tanpa mengikutsertakan identitas kebalian yang sudah termasyhur.
Jika menengok sahabat di belahan timur Indonesia, mereka akan berbinar mengatakan nama marganya yang terdahulu. Telenggen, Doken, Kogoya, lantas mereka menyebut namanya, Annike, Salomo, Dakus. Senyum sumringah merekah di bibir masing-masing.
Bagi mereka, ketika menyebut nama marga ini, mereka berharap menemukan nama marga yang sama, menemukan keluarga jauh, lalu memeluknya erat seolah menemukan sekandungnya.
Kebanggaan ini juga saya rasakan ketika berkunjung ke luar daerah. Meski telah mengenalkan diri atas nama Uci, kawan-kawan di pulau seberang lebih senang memanggil saya Komang. Terkesan seperti sedang di Bali, katanya memuji. Hingga saya tegaskan, jika mereka tetap memanggil saya Komang sampai di Bali, maka ribuan pasang mata akan berbalik menoleh atas panggilan itu, bukan hanya saya.
Namun, lagi-lagi mereka tidak peduli. Dengan jelas di kontak telepon selulernya ditulis “Komang Bali”
Bagi saya, menjadi insan modern tidak lantas membuat saya harus meninggalkan identitas lokal kebalian saya yang justru jadi daya tarik tersendiri. Ke manapun saya melangkah, sejauh apapun itu, seseorang akan tahu bahwa saya berasal dari Bali, agama saya Hindu, dan saya dibesarkan di sebuah pulau yang katanya bak surga.
Keluarga saya akan dengan cepat menemukan saya jika tersesat di luar negeri atau melakukan tindak kejahatan. Semuanya akan sepakat… “Oh, orang Bali.”
Saya cukup paham dengan kekhawatiran mahmud tadi terkait menjadi minoritas ketika kelak anak-anak kesayangan mereka pergi meninggalkan Bali. Menuntut ilmu ke tanah luar, mencari kos-kosan, bahkan mencari pasangan seumur hidup, mungkin menemui kendala dalam identitas sebuah nama.
Embel-embel Putu, Made, Komang, Ketut, bahkan Wayan balik akan memberi rasa tidak nyaman dan susah diterima dalam sebuah komunitas yang rentan membully minoritas. Lantas sampai kapan akan bersembunyi ketika menjadi minoritas?
Mari tunjukkan diri dengan merangkul setiap yang berbeda. Minoritas tidak boleh bersembunyi. Tidak ada waktu untuk memperdebatkan apa agamamu, apa yang halal atau haram bagimu. Arahkanlah waktu lebih banyak untuk ikut berkarya agar generasinya tidak dianggap gagap. Atau paling tidak ikut tepuk tangan menyaksikan negeri ini mulai berbenah.
Soal modernitas itu terletak pada pemikiran, sama sekali tidak ada korelasinya dengan nama, apalagi embel-embel kelokalan nama Bali. Jadi, jangan takut terlihat kuno atau takut mendapat perlakuan buruk hanya karena menggunakan nama khas Bali, seperti Putu, Made, Komang, dan Ketut. Jangan latah yang kebablasan.
Michael White, seorang warga asing berkewarganegaraan Australia akhirnya memilih nama Made Wijaya. Dia belajar Bahasa Bali dan Agama Hindu di Griya Kepaon. Saat itu juga, dia memutuskan untuk memilih Agama Hindu dengan mengikuti prosesi Suddhi Wadani. Baginya, nama Made Wijaya serupa roh yang menyatukannya dengan Bali. Meski menggunakan embel-embel Made, pemikirannya tak terbatas, karya dan kecintaannya juga mendunia.
Jika nanti Anak anda bertanya, “Ayah, Ibu, kenapa nama saya tidak isi Ketut, Komang, Made, atau Putu”
Jawaban apa yang akan Anda beri? [b]
Karakter “Bali”, selayaknya ditunjukkan oleh prilaku. Nama hanyalah salahsatu cara. Banyak koq, kalau tak bisa dibilang sangat banyak, orang Bali yg tdk berperilaku Bali, sekalipun mereka menyandang embel2 nama Bali. Begitupun sebalikbya.
Untuk pengingat saja, sejak jaman awal Majapahit datang pun, orang Bali tidak mengenal Wyn Md Nym Kt. Apakah mereka bukan orang Bali?!
Mulai kolonialisme, politik devide et impera penjajah, membuat kita terkotak-kotak (dan memang itu tujuannya!!)
Catur Kasta berkembang, Catur Warna hilang.
Dan kita begitu bangga pula melestarikannya, walau sdh dihapus, termasuk turunannya (manak salah, nyerod, alangkahing karang hulu, dsb)
Jadi menurut saya, silakan memakai nama apapun, krn itu hak, dan harapan. Kita hrs hormati, jgn malah memojokkan dgn persepsi tdk bangga dgn kebaliannya. Sangat banyak koq, orang Bali ygtdk pake embel2 nama Balinya, tetapi dharma Hindunya yg ditonjolkan. Why not?
(Just meluruskan, agar kita tak justru menyalahkan pilihan cara orang, dinilai dari satu kasus saja)
Semoga Bali tetap Shantih, dgn karakter Dharma nya.
kalau menurut saya sih mungkin orang-orang tersebut hanya menghindari sistem perkastaan di Bali
Mungkin mereka ingin biar anak mereka tidak dibeda2kan denggan sistem kasta makanya tidak memakai nama wayan made nyoman ketut. Sehingga orag-orang yang berkasta (oknum ya, bukan generalisir) lebih hati2 bicara, soalnya terkadang ada orang2 yang berkasta setelah ngomong dengan orang yang dibawahnya langsung berubah bahasanya, lebih tidak sopan dibandingkan dengan orang yang sederajat.
Mungkin seperti itu…..
Keren, setuju.
Siapakah yg akan melestarikan Bali, kl bukan orang Bali itu sendiri..? Bali sdh mengalami degradasi dari segala sisi, dan ini sungguh ironi. Kl bagi sy orang Desa, dl waktu ortu memberi nama, hrs menunggu 3 bln, dan diiringi dengan upakara, karena sungguh benar, nama adlah doa dr ortu. Kl skr bnyk orang,begitu selesai USG dan jenis kelamin sdh diketahui, langsung dikasi nama. Akan bnyk sudut yg bs diperdebatkan di sini, tp bagi saya, nama hrs sesuai dengan nilai dan perbuatan, karena bekal kita kelak hanyalah nama dan perbuatan kita, bukan yg lain.
Sah sah saja.. hehehhehe karena sayav menamai anak saya dengan asal usulnya plus satu nama modern yang kami sukai.. i putu kenzo angwirata… neneknya bali, kakeknya cina, dan nama yang disukai kami.
Nama saya Ketut Soekarno, tapi orang jawa asli. Sehari-hari dipanggil Ketut. Diberi nama Ketut karena saya anak keempat yg lahir di Denpasar, nama Soekarno karena pada waktu saya lahir presiden Soekarno sedang berkunjung ke Bali. Saya tidak beragama Hindu, tapi beragama minoritas juga. Sekarang saya tinggal di Jawa Barat. Selama hidup saya tidak pernah mengalami masalah dengan menyandang nama Ketut. Jadi mengapa orang Bali justru meninggalkan identitasnya ?
saya suka tulisan ini, matur suksma Mbok. majeng ring sameton tityang sane tiyosan, ngiring piteket2 niki anggen pakeling manten nggih, artinya saya senang penulisnya ‘mengingatkan’, dari banyak hal yg harus kita ingat. saya tidak berpikir substansi tulisan ini dibuat untuk mendeskreditkan posisi lainnya, tetapi justru mengingatkan. saya menyetujui juga jika ada hal lain yg menjadi simbol selain nama, namun bukan berarti kita menghilangkan satu atau lainnya. maksud saya adalah selain nama, tyang pikir bahasa bali, adat istiadat, religi, budaya berupa gamelan atau tarian juga diposisi yg penting (bagian mana yg belum anda pelajari?). semua mendapat nilai, terlebih kita dalam upaya yg sama dalam menjaga dan melestarikannya, dan meskipun dlm ranah praktisnya anda (baru) melakukan satu atau dua simbol identitas itu sudah bagus, apalagi mendalami semuanya malah lebih istimewa… dumogi rahayu sinamian nggih…