Gambar dari Dinda Mahadewi
Air menjadi masalah yang krusial ketika kita tidak mengelola dan membagi rata aliran ke pemukiman warga. Bahkan perilaku pengguna yang rakus membuat beberapa warga kesulitan mendapatkan air bersih dan terjadi kekeringan. Hal ini menyebabkan Tim Citizen Science AJW 2024 mengangkat isu tentang Sumber Air dan Kerusakan Hutan, mereka khawatir warga Bali tidak punya kesempatan lagi mendapatkan air bersih.
“Pariwisata yang masif membuat air bersih di daerah Kuta Selatan berkurang sehingga warga harus membeli air tangki untuk memenuhi kebutuhan air bersih,” diungkap oleh Dinda Mahadewi selaku Tim Citizen Science AJW 2024 tentang Sumber Air. Melansir dari Walhi Bali (2010) juga diungkapkan bahwa Bali menjadi salah satu pulau yang terkena ancaman krisis air bersih.
Isu ini muncul semenjak adanya pengelolaan air berupa suplai air besar-besaran bagi kepentingan pariwisata, seperti di kawasan Kuta Selatan khususnya BTDC sebesar 1300-3000 m3/hari. Berbanding terbalik dengan pasokan konsumsi air bersih rumah tangga yang mencapai 1 m3/hari. Beberapa daerah di Kuta Selatan mengalami krisis air bersih, khususnya Jimbaran dan Pecatu. Pada tahun 2022, pemukiman warga mengalami kekeringan, seperti Perumahan Taman Penta Jimbaran, wilayah Kampus Unud, Perumahan Puri Gading, Pecatu, Balangan, dan Kutuh. Ironisnya pasokan air bersih yang sedemikian besar masih kurang sehingga PDAM Badung menambah suplai air bersih ke kawasan tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara, air kotor dan mati sudah sering terjadi di kawasan Jimbaran sehingga membeli air tangki menjadi solusi yang tepat untuk mereka. Lalu, apakah semua warga mampu membeli air tangki? Dengan harga Rp 250.000 sebesar 5.000 liter? Tentu saja warga lebih memilih menggunakan layanan PDAM Tirta Mangutama Badung untuk memenuhi suplai air bersih rumah tangga. Untuk itu, pemerintah perlu mendistribusikan secara adil pasokan air bersih ke warga dan industri pariwisata. Tidak hanya mementingkan keuntungan, tetapi menyadari pentingnya air bersih untuk warga lokal.
Jika dikaitkan dengan keadaan alam, maka hutan berperan penting dalam penyediaan sumber air. Namun berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi di Jembrana. Kekeringan terjadi di daerah ini karena penyerapan air berlebih dan penebangan hutan.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Yurika, Sutirta, dan Suarbawa selaku Tim Sumber Air di Kawasan hutan bahwa ada beberapa klaim kebenaran dari petani sawah dan petani hutan. Petani sawah mengatakan bahwa pembabatan hutan penyebab kekeringan, kemudian petani hutan mengatakan bahwa mereka telah berupaya secara swadaya dan bantuan pemerintah untuk menjaga dan memperoleh air bersih.
“Dari obrolan-obrolan bersama petani dari generasi yang lebih tua maupun lebih mudah. Cerita-cerita dari tahun 1965-1970-an dibandingkan dengan sekarang, kondisinya hampir sama. Bahkan mereka pernah menemukan hal yang lebih parah, ketika hutan produksi disana masih ditanami jati. Itu musim kering dan benar-benar tidak ada air di sungai.” Diungkapkan oleh Made Suarbawa pada Rabu, 15 Mei 2024 dari Tim Sumber Air di kawasan Hutan.
Selain itu, pipa-pipa yang tertanam di sepanjang hutan mengalami kebocoran akibat terlindas motor, tak sengaja terpotong, dan masalah lainnya. Hal ini menyebabkan aliran air warga terhenti dan sulit diperbaiki.
Ternyata, krisis air tidak hanya disebabkan oleh industri pariwisata namun pengelolaan air yang berubah, aliran air, dan pemanfaatannya juga menjadi penyebab sumber air warga tidak terpenuhi. Contohnya: Bendungan Palasari yang seharusnya memperbaiki kondisi air justru dialirkan ke daerah Buleleng sehingga suplai air di Jembrana tidak terpenuhi.
“Kondisi yang terjadi di Jembrana. Dari pengamatan teman-teman dan Kelian Adat juga yang kemudian menelusuri, sumber air terbanyak terdapat di Barat Barat, yaitu Buleleng. Sehingga, ketika mengambil air untuk minum, itu sudah tidak ada lagi yang mengalir ke Jembrana. Bendungan Palasari yang digadang-gadang bisa memenuhi semua subak di Kecamatan Melaya itu tidak terpenuhi,” lanjutnya.
Lalu, apa yang perlu dilakukan? Maka mengolah mata air di hutan dengan mempertimbangan aliran air yang mempunyai debit yang sama dan tidak berubah menjadi solusi agar air bersih sampai ke pemukiman warga. Memikirkan tanaman yang harus ditanam agar mengubah lahan kering menjadi subur. Selain itu, perlu adanya pendampingan kepada warga untuk mengelola sumber air di Kawasan hutan.
Dengan isu ini, bisakah Bali dikatakan Baik? Tidak. Sampai kapan kita akan mendapatkan air bersih secara gratis?
“Perubahan besar tidak bisa kita lakukan dengan cepat karena itu menyangkut orang banyak. Orang tua kita dulu benar banget mengingatkan bahwa clebingkah beten biu, gumi linggah ajak liu. Belahan pane belahan paso, ade kene ade keto. Jadi, bukan cuma pemikiran yang berbeda-beda yang harus kita pelan-pelan urai. Kita harus temukan common interest dan common platform. Kepentingan juga berbeda-beda, ada kompresi, ada negara yang memandang kalau ada kompresi pajak tinggi, ada subak untuk sawah, ada ibu rumah tangga untuk kebutuhan sehari-hari.” Ungkap Wayan Juniarta dari Yayasan Bambu Lestari.
Sebelum air gratis menjadi berbayar maka selamatkan air bersih dengan menyadarkan pemerintah untuk adil terhadap pendistribusian air bersih untuk warga lokal maupun industri pariwisata. Selain itu, warga juga harus memikirkan tanaman-tanaman yang sebaiknya ditanam agar tidak menyebabkan kekeringan.
Solusi apa yang dilakukan untuk pemerataan aliran air bersih di Kuta Selatan dan Jembarana? Mari, kita tunggu hasil liputan dari Tim Sumber Air dan Kerusakan Hutan, pada Ajang Jurnalisme Warga Tahun 2024.