Oleh Luh De Suriyani
Sanitasi Buruk dikatakan sebagai salah satu Penyebab Peningkatan Penyakit Menular di Bali. Salah satunya karena kualitas air dan kebersihan lingkungan yang kurang baik. dr. I Ketut Subrata, Kepala Sub Dinas Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Bali mengatakan Bali sangat rentan dengan penyakit menular akibat lingkungan.
Hal itu disampaikan dalam Policy Dialog on Household Water Treatment for Urban Poor Water Supply, Senin lalu, di Denpasar. Kegiatan diadakan oleh Yayasan Balifokus dan CIDA-Asian Institute of Technology (AIT) Partnership.
Subrata mengatakan pada 1995, wabah kolera membuat penurunan drastis kunjungan wisata, lalu serangan Salmonellosis pada 2002 pada sejumlah wisatawan. Infeksi itu oleh bakteri bernama Salmonella di mana sebagian besar orang yang terinfeksi Salmonella akan mengalami diare.
“Padahal sarana air bersih di Bali jauh lebih baik dibanding daerah lain,” ujarnya. Karena itu, pihaknya menargetkan peningkatan sarana air bersih menjadi 96 persen, jumlah warga yang menggunakan jamban diharapkan 84 persen, dan semua institusi memenuhi syarat kesehatan.
Dinas Kesehatan Bali mengklaim, pada 2008 cakupan air bersih 85 persen, dan penggunaan jambang keluarga baru 74 persen. Sanitasi dasar diakui Subrata masih sulit diimplementasikan di daerah geografis yang kesulitan air seperti Kecamatan Selat dan Bebandem, Karangasem dan Desa Trunyan, Bangli.
Selain itu, kebijakan ini juga terkendali koordinasi atas kebijakan. “Kesepakatan tiga menteri yakni Pekerjaan Umum, Kesehatan, dan Depdagri belum berjalan optimal selain kurangnya dukungan dana dari dinas kesehatan di tingkat kabupaten,” katanya.
Zainal Nampira, Kepala Sub Direktorat Kesehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan mengatakan sumber daya air dan pengolahannya kini menjadi isu penting. Salah satunya pengembangan household water treatment. “Kualitas air yang dikonsumsi masyarakat adalah sumber penyakit,” ujarnya.
Data Departemen Kesehatan pada 2007 bayi menyebutkan diare adalah penyebab sepertiga kematian balita berusia 29-13 bulan di Indonesia atau sekitar 31 persen. Kontribusi kematian bayi dan anak-anak di Indonesia penyebabnya 55 persen karena penyakit dari sanitasi, air, dan lingkungan.
“Pravelensi diare di Bali di atas angka rata-rata nasional yakni 9 persen. Bali masih tinggi di banding Maluku,” tambah Zainal.
Hal ini terkait kualitas sanitasi warga. Studi Departemen Kesehetan tahun 1997 memperlihatkan tingkat air minum yang dimasak di Bali sekitar 81 persen. Namun air minum tanpa pengolahan di kota Denpasar mencapai 36 persen, diasumsikan karena warga lebih banyak membeli air kemasan atau isi ulang.
Pengolahan air minum juga terkait pada ketersediaan bahan bakar minyak seperti minyak tanah, gas, dan kayu bakar. “Kami takut akibat krisis minyak tanah saat ini, semakin banyak warga yang tidak memasak air sebelum diminum,” ujar Zainal.
Strategi dan implementasi pengelolaan sanitasi yakni jangan ada yang buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air rumah tangga, pengelolaan limbah dan limbah cair.
Faktanya, Zainal menyebutkan secara nasional lebih dari 50 persen masyarakat Indonesia tidak punya tong sampah di dalam dan luar rumah. Tren pengolahan limbah cair juga memburuk karena pada 2007 rumah tangga yang tidak punya istalasi limbah meningkat jadi 45 persen dari 27 persen (2004).
Kristin Darundiyah, Staff Sub Direktorat Kesehatan Lingkungan Departemen Kesehatan memaparkan opsi teknologi dan implementasi pengelohan air minum rumah tangga sangat beragam tergantung pada tingkat harga, rasa air, isu gender, dan prestise. “Misalnya soal isu gender, perempuan cenderung merasa tugas mengganti galon air adalah laki-laki atau suami karena berat galon. Tidak ada satu pun teknologi yang terbaik untuk semua orang,” ujar Kristin.
Lebih 90 persen masyarakat merebus air untuk air minum. Namun 47 persen masih terkontaminasi mikroorganisme seperti e-coli karena kesalahan penanganan seperti wadah air tercemar dan tidak cuci tangan.
Metodologi opsi water treatment di antaranya filtrasi dengan sistem biosand filter, keramik filter, merebus, khlorinasi proses pembubuhan zat khlor atau sodium hypchlorite ke dalam air untuk membunuh bakteri.
Floakulasi yakni penggumpalan dan disinfeksi. Selain itu ada mekanisme Solar water disinfection (Sodis) yakni pemaparan air selama 6 jam saat matahari terik untuk merusak mikrorganisme. Semua alternatif water treatment sangat tergantung penanganan oleh warga. Misalnya cuci tangan sebelum minum atau mencuci wadah air minum.
Namun persepsi masyarakat akan cara pengolahan air alternatif tergantung keuntungan yang didapat. Selain itu kesinambungan pemberdayaan masyarakat.
Di Denpasar salah satu alternatif water treatment yang dilakukan adalah dengan sistem biosand filter yang diujicobakan di Pemukiman Segina Asri, Jalan Teuku Umar Barat, Denpasar oleh Balifokus.
“Sekitar 60 persen penduduk miskin di Denpasar membeli air Rp 50.000 -120.000 per bulan per keluarga. Pendekatan proyek ini yakni meningkatkan kemampuan masyarakat miskin kota untuk memenuhi kebutuhan air dan kualitas air secara swadaya,” ujar Yuyun Ismawati, Director Balifokus. [b]
Versi Bahasa Inggris tulisan ini dimuat di http://www.thejakartapost.com/news/2009/03/04/bali-needs-water-treatment-facilities.html