Teks dan Foto Yayasan Wisnu
Bali dinilai bisa menjadi percontohan pengembangan ekowisata desa di Indonesia.
Pengembangan wisata ekologi desa disebut sebagai jalan ketiga untuk meningkatkan kualitas pariwisata sekaligus pelestarian lingkungan. Hengky Hermantoro, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata mengatakan pengaturan tata ruang desa sangat penting sebagai model pengembangan pariwisata berkualitas. “Kalau sudah ada empat desa memiliki tata ruang desa, kita jadikan model di tingkat nasional. Saya akan koordinasi dengan PU (Pekerjaan Umum),” ujar Hengky.
Ia menambahkan, jumlah penduduk miskin, sekitar 64 persen tinggal di desa. Sayangnya dalam sistem perencanaan hanya jadi pelengkap kebijakan. “Penataan ruang idealnya harus dinamis, buat zonasi. Tata ruang harusnya dinamis,” ujar Hengky dalam Semiloka Mewujudkan Desa Berdaulat dalam Pengembangan Wisata Ekologis yang dilaksanakan Yayasan Wisnu, TIFA, dan Bali Desa Wisata Ekologis (DWE) di Denpasar hari ini.
Empat desa yang sudah mempunyai kajian hukum dan ilmiah tata ruang desa di Bali adalah Tenganan Pegringsingan Karangasem, Banjar Adat Kiadan Badung, Dukuh Sibetan Karangasem, dan Nusa Ceningan Klungkung. Keempatya masuk Jaringan Ekowisata Desa (JED).
I Gede Ardika, Ketua Pembina Bali DWE dan Perwakilan Indonesia untuk UNWTO mengingatkan pejabat dan masyarakat untuk tidak terperosok ke lubang yang sama. “Bali itu agama tirta. Kalau tidak ada air, hilang kebudayaan,” ujarnya soal eksplorasi air berlebihan untuk industri pariwisata.
Ardika menyebut Bali tidak bisa menerima kedatangan wisatawan dengan jumlah tak terbatas. “Secara fisik dan social budaya, tidak mungkin Bali menerima wisatawan dalam jumlah tak terbatas karena daya dukungnya,” ujarnya. Secara teroritis, Ia melanjutkan Bali tak bisa terus mengembangkan pariwisata yang bertumpu pada kuantitas. Harus bergeser ke kualitas. Jumlahnya relative kecil tapi memiliki kualitas.
“Jangan dilihat semata ekonomi, berapa besar pengeluaran wisatawan. Tapi jauh lebih penting adalah aspek social budaya, interaksi wisatawan dan masyarakat sekitar,” tambah Ardika, mantan Menteri Pariwisata dan Budaya ini.
“Kita harus mempunyai keyakinan, kita punya kontribusi, nilai-nilai luhur yang bisa turis bawa pulang. Jangan seolah-olah masyarakat Bali hanya menerima pengaruh,” katanya. Misalnya prinsip Tri Hita Karana melalui United Nation World Tourism Organization. Pariwisata massal di Bali ini, menurut Ardika mulai ada yang seperti benalu, industri yang hanya menempel di kebudayaan.
Dalam semiloka yang dihadiri ratusan orang dari desa pekraman, DPRD, dan perwakilan pemerintah ini diluncurkan (launching) dua buah buku tentang ketataruangan di Bali. Buku ini memuat pengalaman Yayasan Wisnu bersama masyarakat desa mengusahakan terwujudnya ketataruangan di Bali yang adil dan berwawasan lingkungan.
Buku pertama berjudul “Desa Berdaulat Menuju Keterbukaan Dunia: Panduan Mengelola Bersama Potensi Wisata Ekologis”. Buku ini merupakan buku panduan pengelolaan potensi desa sebagai upaya pengembangan wisata ekologis. Buku ini diterbitkan atas kerjasama Yayasan Wisnu, Asosiasi Bali DWE dan Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI).
Buku kedua berjudul “BALIisme: kearifan tradisi Bali menghadapi banjir besar 2020”, kerja sama Yayasan Wisnu dan sejumlah budayawan Bali yang mengulas prinsip-prinsip pokok ajaran hidup masyarakat Bali dalam menghadapi pasar bebas 2020. Diterbitkan atas kerjasama Yayasan Wisnu dan Departemen Dalam Negeri.
Sejak 2001, empat desa dan banjar adat itu membuat rencana kelola ruang wilayah desa yang kemudian usai disosialisasikan ke masyarakat dan pemerintah untuk mendukung detail RTRWP Kabupaten. Rencana kelola ruang tersebut sudah disepakati oleh masyarakat desa dan desa tetangga yang berbatasan. Secara substansial gagasan pengaturan penataan ruang di tingkat desa tersebut telah berjalan dan dilaksanakan, namun secara formal belum diajukan baik ke tingkat kabupaten maupun tingkat kecamatan. [b]
menarik dan berhasi desa wisata di bali, perlu dicontoh daerah lain.