Ratusan warga berkumpul di Bale Banjar Ubud Kelod, Gianyar, Bali, pada Sabtu (24/02) pagi untuk membahas permasalahan macet di Bali. Dalam diskusi bertajuk Bali Bicara Macet! Keterlibatan Masyarakat dalam Perbaikan Mobilitas dan Pengalaman Pariwisata di Bali ini, berbagai elemen mulai dari pelaku bisnis, aktivis, tokoh masyarakat, sampai dengan jurnalis menyampaikan keresahan, keluhan serta sejumlah opsi yang dapat menjadi solusi bagi permasalahan ini.
Diskusi ini digelar oleh Koalisi Bali Emisi Nol Bersih bersama World Resources Institute (WRI) Indonesia, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), dan Balebengong.id di Gedung Balai Banjar Ubud Kelod, Ubud, Kabupaten Gianyar. Hadir sebagai pemantik diskusi Luh Muni Wiraswari & Ni Putu Satya Sephiarini (Peraih Anugerah Jurnalisme Warga Balebengong 2023) dan I Nyoman Gede Maha Putra (Peneliti Arsitektur dan Masyarakat Urban di Universitas Warmadewa), serta Luh De Suriyani (Jurnalis Balebengong.id) sebagai moderator.
Dalam paparannya, Luh Muni Wiraswari dan Ni Putu Satya Sephiarini menyampaikan urgensi perbaikan transportasi publik dari pengalamannya sendiri. Menurut keduanya masih banyak tantangan yang membuat keberadaannya belum optimal menjadi solusi untuk mengurangi kemacetan di Bali, di antaranya halte yang belum memadai, fasilitas dan akses yang kurang inklusif bagi kelompok rentan, titik pemberhentian yang masih sangat terbatas, juga kampanye dan sosialisasi penggunaan transportasi publik yang kurang masif.
Bahkan transportasi publik yang seharusnya menjadi solusi sampai saat ini justru ikut terjebak dalam kemacetan karena infrastruktur yang kurang mendukung dan memadai. Alhasil “… tujuan itu (mendapatkan kenyamanan dan efisiensi waktu) tidak tercapai dengan menaiki transportasi umum”, menurut remaja yang akrab dipanggil Muni dan Satya ini. Keduanya juga menginisiasi Kaki & Roda, komunitas peduli transportasi umum di Bali sebagai salah satu upaya merespons permasalahan ini. Inisiatif ini dapat ditemukan di Instagram @kakidanroda.
Sedangkan I Nyoman Gede Maha Putra menarik diskusi lebih jauh dengan menceritakan sejarah pembangunan di Bali yang tidak dapat dilepaskan dari pariwisata. Keinginan untuk mendapatkan keuntungan dari sektor pariwisata membuat masyarakat bereksperimen membuat bangunan-bangunan baru, yang kemudian membentuk tata kota Bali saat ini. Ia menjadikan Sanur sebagai contoh, “Di Sanur kita bisa lihat, kalau kita mau membuat transportasi publik maka akan ada kerumitan soal rute karena di mana-mana sudah ada bangunan.”
Tjok. Gde Bayuputra Sukawati dari Yayasan Bisa Wisata Ubud memberikan tanggapan dengan menekankan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Dalam kondisi ini, penting untuk pertama-tama menciptakan ruang yang tidak diskriminatif, khususnya untuk pejalan kaki. Ia memberikan contoh, “Faktanya sekarang orang pakai kursi roda tidak bisa lewat, orang pakai tongkat juga menjadi masalah, orang mendorong kereta bayi tidak bisa. Bagaimana kita bilang Ubud ini obat ketika ruangnya menciptakan diskriminasi terhadap orang?”.
Laksmi DeNeefe, Putri Indonesia 2022 yang juga lahir dan besar di Ubud turut menyampaikan, “Di sini (Ubud) itu enak untuk berjalan kaki tetapi kita harus bergerak bersama mencari solusi, tidak hanya memberikan fasilitas untuk pejalan kaki, kita juga harus memerhatikan hal-hal kecil seperti lebih banyak lagi pohon agar kita (pejalan kaki) tidak kepanasan.”
Dalam diskusi ini hadir pula perwakilan pemerintah. Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Gianyar, Made Arianta, menyebutkan beberapa upaya yang sejauh ini sudah dilakukan untuk mengatasi kemacetan, salah satunya pengaturan lalu lintas di titik-titik rawan macet. Sedangkan Perwakilan Trans Metro Dewata mengamini bahwa masih banyak perbaikan fasilitas yang masih menjadi pekerjaan rumah di Bali. “Trans Metro Dewata ini kan stimulan dari pemerintah pusat, mudah-mudahan pemerintah daerah sadar dan menyiapkan infrastrukturnya”, katanya.
Salah satu infrastruktur yang perlu disiapkan menurut Ketua Paguyuban Transportasi Ubud adalah kantong-kantong parkir di luar pusat Ubud yang terkoneksi dengan transportasi publik. Ia mengusulkan, “Ke depannya desa-desa pendamping diupayakan membuat kantong parkir… bahwa tamu itu diturunkan di sana dan transportasi publik yang akan membawa mereka ke senter Ubud”. Menurutnya solusi ini akan sangat membantu mengatasi kemacetan di pusat pariwisata seperti Ubud.
Elektrifikasi kendaraan juga turut disinggung sebagai salah satu solusi dalam diskusi ini. Menurut Sofwan Hakim dari WRI Indonesia, elektrifikasi merupakan salah satu pilar penting selain pejalan kaki dan transportasi publik, tetapi Ia juga menekankan bahwa prioritasnya perlu diurutkan dengan baik. “Setelah pejalan kaki, transportasi publik, baru elektrifikasi”, ujarnya.
Selain nama-nama di atas, hadir pula perwakilan dari Institute of Essential Services Reform, New Energy Nexus, CAST Foundation, serta Percik Daya Nusantara sebagai penanggap. Diskusi ini turut diramaikan oleh warga non-Bali seperti Rame-rame Jakarta dan pendatang yang peduli terhadap isu ini.
Diskusi ini diharapkan dapat menciptakan kesadaran, rasa tanggung jawab, solusi bersama, serta rencana aksi terpadu terkait perbaikan mobilitas dan pengalaman pariwisata di Bali. “Mudah-mudahan kehadiran peserta yang datang hari ini memberikan kontribusi pemikiran-pemikiran, pandangan-pandangan, dan visi-visi yang dapat membangun dan memberikan kebaikan bagi masyarakat kita”, ujar I Ketut Suardana, Pendiri Yayasan Mudra Swari Saraswati.