
“Klejat di laut sekitar sini ada tapi tidak begitu banyak, paling dapat 10 sampai 20 biji saja,” ujar Made Jana (58) sambil tertawa pasrah. Wirausaha kecil kerupuk klejat ini terus memproduksi kerupuk klejat meski dalam himpitan kelangkaan klejat, si siput laut yang kian menghilang dari pesisir Serangan.
Di sebuah rumah sederhana yang berlokasi di Banjar Adat Dukuh, Serangan. Kecamatan Denpasar Selatan, Made Jana dan sang istri Ni Wayan Sumarni (56) memulai usaha kecil kerupuk klejat mereka sejak tahun 1995. Keduanya telah berusia senja, namun masih melanjutkan produksi kerupuk klejat meskipun bahan baku kian sulit dicari di tanah sendiri.
Menurut Jana, usaha kecil ini berawal dari keisengan Sumarni. Melalui usaha kecil-kecilan, Sumarni mengembangkan bisnis kecil kerupuk klejatnya hingga kini. Pernah dalam kurun waktu 3 hari, Jana dan Sumarni mampu meraup omzet hingga Rp 20 juta rupiah. Namun, itu dulu. Cerita manis menjadi jutawan dari kerupuk klejat kini hanyalah kenangan. “Masa-masa paling laris sebelum pandemi setelah pandemi merosot jauh, dulu jual sampai 500 bungkusan,” kenang Jana di teras rumahnya pada Selasa (05/09).
Sembari mengenang masa-masa kejayaan menjual kerupuk klejat, Jana menunjukkan sebuah video yang menunjukkan sosok Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno dan Pejabat Pemerintahan Kota Denpasar memperkenalkan kerupuk klejat sebagai buah tangan khas Serangan.
Mirisnya, bahan baku utama kerupuk klejat camilan yang diakui sebagai buah tangan khas Serangan itu justru didatangkan dari luar Bali, khususnya daerah Sapeken yang merupakan sebuah kecamatan di Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Terkadang siput laut itu juga didatangkan dari Madura.

Berkurangnya siput laut di Serangan telah terjadi sejak era-90 an. Menurut Jana, langkanya siput laut atau dalam bahasa Bali disebut klejat, disebabkan oleh reklamasi Pulau Serangan. Seingat lelaki yang dulu bekerja sebagai pegawai tata usaha di SMPN 11 Denpasar ini, saat tahun 70-an dirinya dan warga Serangan masih dengan mudah menemukan klejat. “Lambat laun karena ada reklamasi dan lain sebagainya karena alam, klejat tidak ada di sini sekarang,” jelasnya.
Sejak tahun 1994 telah terjadi reklamasi di daerah Pulau Serangan. Awalnya luas Pulau Serangan hanya 100-an hektar tetapi sejak tahun 1994-1998 pulau tersebut di reklamasi dan luasnya menjadi 400-an hektar.
Secara mendetail, Jana mengungkapkan reklamasi yang terjadi berada di sebelah timur Pulau Serangan. Setelah reklamasi, tepian pantai dan rumput laut yang menjadi habitat klejat minim terlihat. Tak hanya reklamasi, Jana lanjut menjelaskan pencemaran laut turut andil merusak habitat klejat. “Modelnya ada kapal pecah mengeluarkan bensin itu memengaruhi habitat klejat,” lanjut Jana.
https://public.flourish.studio/resources/embed.js
Harga bahan baku memengaruhi harga jual

Bahan baku utama kerupuk klejat yang didatangkan dari luar daerah Bali, mau tak mau Jana dan Sumarni menaikkan harga jual kerupuk klejat. Jana mengungkapkan, siput laut mentah per kilogramnya dijual seharga Rp 60 ribu rupiah. Ini belum dibersihkan.
Sedangkan, siput laut siap goreng Jana peroleh seharga Rp 400 ribu rupiah per kilogramnya, “dulu bisa pesan sampai 500 kilogram, paling sekarang 200 atau 300 kilogram yang mentah.”
Perbedaan harga karena bahan baku basah dan berat, jika siap goreng jadi kering dan menyusut sehingga beratnya jauh berbeda. Misalnya dari 10 kg bahan baku jadi 2 kg.
Siput laut yang didatangkan dari Sapeken maupun Madura itu telah dalam kondisi tanpa cangkang. Setelah menerima bahan baku utama, Jana bertugas mencuci dan merebus klejat.
Proses selanjutnya, rebusan klejat dicuci bersih tiga sampai empat kali dengan air biasa. Klejat yang telah bersih dijemur hingga kering dengan estimasi waktu dua hingga tiga hari dibawah terik matahari. Klejat kering itu harus diayak dahulu hingga akhirnya digoreng dalam wajan berisi minyak kelapa super panas.
Proses menggoreng klejat biasanya dikerjakan oleh Sumarni, pengemasan dikerjakan Jana dan adik kandungnya. Bahan baku kerupuk klejat yang bersifat musiman, membuat produksi kerupuk klejat tidak dapat dilakukan setiap hari. Pada bulan Juli, Agustus, dan Desember biasanya menjadi bulan-bulan pembeli klejat meningkat.
Namun, pemasukan dari klejat menurun. Semula Jana dan Sumarni melayani pesanan klejat hingga wilayah Surabaya dan Lombok, tetapi pandemi yang melanda sejak 2019 akhir membuat dua wilayah tersebut tidak lagi memesan kerupuk klejat sampai detik ini.
Dahulu, Jana dan Sumarni menjual kerupuk klejat seharga Rp 1500 rupiah, tetapi kini naik dua kali lipat menjadi Rp 3 ribu rupiah per bungkus kecilnya. Sedangkan, satu renteng kerupuk klejat dijual seharga Rp 30 ribu rupiah. Jana mengklaim, kerupuk klejat-nya mampu bertahan hingga 3 sampai 10 bulan dengan catatan harus dalam kondisi sangat kering.
Made Sudri, pengusaha kecil kerupuk klejat lainnya di Serangan mengungkapkan hal yang setali tiga uang dengan Jana dan Sumarni. Sudri menaikkan harga jual kerupuk klejat lantaran bahan baku kian meningkat harganya. “Serenceng kadang saya jual Rp 25-30 ribu rupiah,” ungkap Sudri sambil membersihkan halaman rumahnya. Suami Sudri, Wayan Budiana seorang nelayan di Serangan, mengakui bahwa siput laut sudah tak dapat ditemui lagi di Serangan. “Betul, sekarang sulit ketemu klejat di sini, semua klejat saya dapat dari Sapeken,” ungkap Budiana yang ditemui setelah melaut pada Rabu (06/09).

Mengharap penerus
Kala menelusuri penjual kerupuk klejat, beberapa warga yang ditemui menunjukkan rumah Jana dan Sumarni. Itu pertanda, kerupuk klejat pasangan suami istri ini terbukti lezat. Meskipun demikian, Jana hanya tertawa pasrah kala ditanya penerus usaha kecil kerupuk klejat-nya. “Mungkin tidak ada, anak pertama jadi guru di sini, yang nomor dua kerja di bank. Saya sudah pensiun tenaga sudah nggak kuat,” keluh Jana.
Berbanding terbalik dengan sang suami, Sumarni percaya diri bahwa usaha kecil kerupuk klejat-nya akan berlanjut. “Waktu ini menantu saya bilang akan melanjutkan, nanti saya ajari dia, saya yakin ini pasti lanjut,” terang Sumarni yakin sembari menaruh tumpukan klejat yang telah digoreng pada sebuah nampan.

Semula, keduanya sempat dibantu pemerintah setempat untuk mengurus izin usaha kerupuk klejat. Langkah tersebut dihentikan Jana dan Sumarni karena kembali pada realita bahwa bahan utama kerupuk klejat tidak selalu ada.
“Izin usaha maunya cari tapi malas sudah toh juga tidak banyak ada yang pesan, tidak seperti dulu setiap hari bisa 40 kilo yang kering kalau kirim sampai ke resto Surabaya dan Lombok, sekarang tidak ada. Apalagi restonya tutup,” ujar ibu dua anak ini.
Pertemuan kami berakhir dengan satu renceng kerupuk klejat dalam genggaman saya. Sayup-sayup, obrolan Jana dan Sumarni yang begitu ramah kembali membicarakan kejayaan usaha kecil mereka, kerupuk klejat mereka buah tangan khas Serangan.