Teks dan Foto Anton Muhajir
Laki-laki itu mengejar seperti mau menerkam kami.
Dia berlari di samping motor saya menjelang masuk pintu gerbang terminal Ubung, Denpasar sore tadi. Saya di atas sepeda motor dengan anak dan Udin, keluarga dari Jakarta yang mau ke Malang, di belakang.
Laki-laki itu berteriak, “Ayo, Mas. Suroboyo, Suroboyo.” Dia terus mengejar kami sampai tempat parkir.
Di tempat parkir terminal, belasan laki-laki lain kemudian ikut mengepung kami yang masih di atas motor. Kami sampai susah turun dari motor. Mereka menawarkan hal yang sama, tiket bis.
Kalau cuma tiket sih tidak masalah. Lha, ini mereka menawarkan dengan sikap yang beringas, menurut saya. Mereka tanya ke mana tujuan kami sore itu: Surabaya apa Malang? Kami jawab ke Malang.
Namun, jawaban kami justru membuat mereka semakin beringas. Tak hanya menawarkan tiket, mereka juga menarik-narik kami. Mereka memberikan tiket pada anak saya selain juga menarik baju Udin. Di antara mereka sendiri saling rebut. Kami serasa daging empuk yang dilempar ke kandang singa: jadi rebutan!
Para calo tiket itu memang seperti singa. Mereka menganggap tiap penumpang seperti kami ini adalah mangsa. Konsumen? Maaf. Itu tidak ada dalam kamus mereka.
Maka, tiap calon penumpang pun diseret-seret, ditarik-tarik, seperti halnya pengalaman kami sore tadi.
Suasana seperti ini hampir selalu kami temui tiap kali mau naik bis antarkota dari Terminal Ubung, terminal terbesar di Bali. Entah berapa kali saya mengalami. Kalau melawan, mereka akan lebih beringas. Seorang teman malah pernah dipukul salah satu calo tiket ini gara-gara dia mencoba berteriak menolak.
Kali ini pun begitu. Para calo itu tak menawarkan tiket. Mereka memaksa kami sambil teriak-teriak seperti membentak. Kalau sudah begini, pasrah saja. Kami tak punya cukup nyali untuk melawan.
Setelah saling tarik menarik, satu per satu calo tiket itu pun meninggalkan kami. Tinggal tiga orang yang sepertinya dari satu kelompok. Mulut mereka bau arak. Mata mereka merah. Satu di antara mereka yang berpakaian loreng ala tentara celana, kaos, plus sikap kasar, membawa kami ke salah satu bis. Itulah bis yang HARUS kami pilih. Kalau tidak, orang-orang itu sepertinya siap menerkam kami.
Terminal Ubung, bagik saya memang menakutkan urusan tiket ini. Kondisi yang sama pernah saya alami dua kali di terminal di Semarang. Kalau di Bungurasih, Surabaya yang terkenal paling ganas pun saya tak seganas di Ubung.
Memang pernah ada saat di mana suasananya lebih bersahabat di Terminal Ubung. Ada banyak petugas yang mengawasi biar calo tiket tak sembarangan memaksa calon penumpang. Tapi, itu hanya sebentar.
Buktinya, kali ini saya mengalaminya lagi, dikepung para calo tiket. Ironisnya, di pintu masuk itu dua petugas sedang duduk-duduk. Jelas saja mereka melihat kejadian tersebut. Tapi, tak satu pun petugas itu yang melerai.
Salah satu petugas berseragam Dinas Perhubungan itu baru mendekat ketika kami melewati loket masuk terminal. Tapi, bukannya melerai para calo tiket sialan itu, petugas yang seharusnya melindungi itu malah melakukan hal yang sudah saya duga, minta duit retribusi masuk terminal! [b]