Teks Anton Muhajir dan Luh De Suriyani, Foto Luh De Suriyani
Ada empat pantangan ketika umat Hindu Bali melaksanakan Nyepi yaitu menyalakan api (amati geni), bekerja (amati karya), bepergian (amati lelungan), dan bersenang-senang (amati lelanguan). Umat Hindu dilarang melakukan empat kegiatan tersebut selama 24 jam pada saat Nyepi. Tapi, bagi industri, Nyepi adalah peluang bisnis. Apalagi di Bali yang hidup dari pariwisata.
Circle K, jaringan waralaba minimarket menawarkan bonus pembelian satu kardus Bir Bintang. Tiap satu kardus bir akan mendapat tambahan satu botol. Promosinya dilakukan melalui spanduk ataupun poster yang ditempel kaca depan minimarket. Lewat promosi yang ditempel di semua waralaba jaringannya di Denpasar, Circle K menyatakan promo tersebut berlangsung dari 25 Februari hingga 15 Maret, persis sehari sebelum Nyepi .
“Happy serene Nyepi celebration with Circle K, buy one cartoon get one bottle,” tulis Circle K di spanduk dan poster tersebut.
“Belum ada yang beli bir promo itu di sini, mungkin belum banyak yang tahu,” ujar salah seorang pegawai gerai yang tak mau menyebutkan namanya ini, Senin, sehari sebelum Nyepi. Bir besar per satuannya dijual saat itu Rp 21.500. Jika membeli satu kardus berisi 12 botol besar, maka dapat gratis satu botol ukuran 650 ml, hanya untuk menyambut Nyepi.
Sementara bagi I Komang Ardana, ada bonus atau tidak, bir adalah menu utama jelang ritual agama atau adat. “Apalagi pas Nyepi, harus ada stok bir, tuak, dan soft drink,” ujarnya. Urusan mencampur minuman buat Ardana adalah sensasi sendiri. Ia sudah bereksperimen beberapa kali untuk mencampur tuak dengan softdrink. Campuran favoritnya adalah arak, bir, dan soda.
Bersama beberapa rekannya di Banjar Saraswati, Denpasar Timur, Ardana sendiri mengeluarkan uang Rp 350 ribu untuk pembelian bir dan makanan kecil. Pesta besar itu dimulai sejak malam pangerupukan dan berlanjut siang hari saat Nyepi sampai malam.
Promosi memanfaatkan Nyepi juga dilakukan berbagai hotel di Bali mulai dari Sanur, Kuta, Jimbaran, hingga Nusa Dua. Tiap hotel seperti berlomba menawarkan paket Nyepi untuk wisatawan. International Bali Resort, hotel di Jimbaran, misalnya menawarkan Nyepi Buffet Dinner, paket makan malam di Taman Gita Terrace. Paket ini dilakukan persis pada Hari Nyepi, 16 Maret 2010, dari pukul 6 sore hingga 10.30 malam.
Selain Nyepi Buffet Dinner itu tadi, turis juga ditawarkan paket Balinese Local Flavours dari pukul 11 siang hingga 6 sore. Paket ini berupa makan dengan menu ayam panggang atau babi guling ditemani bir Bintang.
Nyepi, yang bagi umat Hindu Bali adalah waktu untuk berefleksi, justru menjadi waktu untuk menawarkan promosi bagi pelaku industri.
“Pelaku industri memanfaatkan Nyepi sebagai demand bagi turis,” kata Prof Dr I Wayan Ardika, dosen Kajian Budaya, Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud) Bali.
Menurut Ardika, Nyepi sendiri memang memiliki keunikan (uniqueness) karena tradisi ini hanya ada di Bali. Karena keunikannya itu, Nyepi melahirkan adanya ketertarikan (curiousity) bagi orang lain. Karena ada keunikan dan ketertarikan tersebut, Nyepi pun menghasilkan permintaan (demand). “Dari situ, lahirlah komodifikasi Nyepi,” ujar Ardika.
Komodifikasi, secara sederhana adalah proses perubahan sesuatu menjadi komoditas, baik barang maupun jasa yang dijual pada konsumen. Perubahan ini terjadi ketika barang atau jasa tersebut dianggap bisa mendatangkan konsumen bagi produk yang dijual.
Ardika menambahkan terjadinya komodifikasi Nyepi adalah akibat pengaruh global di mana masyarakat semakin konsumtif. Budaya konsumtif itu yang dipakai industri saat menjelang Nyepi. “Orang-orang modern itu sangat konsumtif dan peduli citra. Mereka sibuk merayakan konsumerisme. Begitu pula dengan orang-orang Bali,” katanya.
Ritual umat Hindu Bali pun, lanjut Ardika, tidak bebas dari pengaruh konsumerisme itu. Dekan Fakultas Sastra Unud ini memberikan contoh penggunaan buah impor pada pajegan, rangkaian buah yang disusun menjadi sesaji dan biasanya dibawa di atas kepala oleh wanita. Penggunaan buah impor pada banten pajegan, katanya, adalah untuk memenuhi kebutuhan membangun citra dan rasa konsumtif tersebut.
Upaya membangun citra tak bisa dilepaskan dari Bali sebagai tujuan wisata di mana citra berperang sangat penting. Karena itu pula, tak sedikit ritual yang mengalami pergeseran demi kepentingan pariwisata. Di Kuta, Ardika memberikan contoh lain, semula melasti diadakan pada pagi hari. Tapi untuk membangun citra sekaligus memenuhi ketertarikan turis maka melasti saat ini dilakukan menjelang matahari tenggelam. “Karena kalau saat sunset bisa menjadi tontonan turis juga,” katanya lalu tertawa.
Kalau ritual sudah menjadi tontonan, maka akan mendatangkan turis makin banyak. Ini adalah logika pasar di mana supply dan demand saling mempengaruhi. “Orang Bali sekarang menjadikan Dewi Pasar, Dewi Melanting sebagai raja. Semua UUD, ujung-ujungnya duit,” lanjutnya.
Meski demikian, lanjut Ardika, pergeseran tersebut masih bisa dimaklumi selama tidak menghilangkan esensi ritual itu sendiri. “Suka tidak suka, semua hal bisa mengalami komodifikasi. Melasti boleh saja dipindah dari pagi ke sore hari asal prosesinya tetap,” ujarnya.
Pada konteks Nyepi, Ardika mencontohkan, menjadi tidak wajar kalau komodifikasi itu justru menghilangkan esensi Nyepi. Menjadi tidak wajar kalau saat Nyepi, di mana umat Hindu seharusnya tidak bersenang-senang (amati lelanguan), justru minum-minuman.
“Sekarang tugas kita semua, termasuk media dan ilmuwan, untuk menjelaskan makna Nyepi yang seharusnya,” ujarnya. [b]
iya tuuh.. ada kaitannya sama kasus si IBNU ga yaa???
Di pulau ini segalanya ‘pertunjukan’, atau bahasa gagahnya ‘society of spectakle’, yang sudah tentu dijual dan dipasarkan. Karena itu, kritik dari Ibnu,dan sejenisnya harus di beri ruang -jangan belum2 sudah ngajak ‘perang’ (mati2an) -padahal suasana nyepi (amati) belum berlalu!
Ngurah K
Di dunia Tours & travel agent juga banyak yang menggarap dan menjual Nyepi sebagai sebuah paket tour yang unik, dengan rangkaian mulai dari Melasti, pengerupukan dan yang terakhir adalah neyepi itu sendiri di hotel sesuai pilihan mereka.
Betul 1000% -segalanya pertunjukan (spetacle) dan diperdagangkan!
Ungkapan Ibnu dan sejenisnya harus diakui -bukan belum2 kibarin bendera ‘perang’, lengkap dengan ‘mati2an’ padahal suasana nyepi (amati) belum berlalu tuh.
Ketika orang hanya sekadar berjalan pada tradisi sebagai perayaan, hal-hal seperti ini akan sangat lumrah ditemukan.
Lets see…
Selain Ritual budaya dan agama, apa yang bisa dijual di Bali ini?
Jangan terlalu naif lah dengan mengatakan ritual itu terlalu dikomersialisasikan. Jika tidak menjual ritual, trus apa yang mau dijual?
Manufaktur? Teknologi? Tenaga Kerja?
Lets see…
Selain Ritual budaya dan agama, apa yang bisa dijual di Bali ini?
Jangan terlalu naif lah dengan mengatakan ritual itu terlalu dikomersialisasikan. Jika tidak menjual ritual, trus apa yang mau dijual?
Manufaktur? Teknologi? Tenaga Kerja?
semua yang ada dibali untuk pariwisata .tapi jgn terlalu kebablasan.mana yang boleh dan mana yang tidak.agar bali masih ada sakralnya