Apakah kualitas udara di Bali masih bagus?
Pertanyaan itu bisa dijawab melalui aplikasi Android yang dikembangkan organisasi lingkungan terkemuka Greenpeace Indonesia. Greenpeace memasang sejumlah alat pemantau kualitas udara yang bisa mengukur partikulat debu sulit dilihat mata ukuran 2,5 mikron. Selain di Jakarta yang mulai dipasang pada 2017, alat itu juga dipasang di Bali.
Di Jakarta, alat pengukur kualitas udara ada di enam lokasi. Adapun di Bali ada di tiga titik yaitu yakni Celukan Bawang (Buleleng), Abiansemal (Badung), serta Kota Denpasar.
Hasil pengukuran kemudian dianalisis dan dilaporkan oleh aplikasi UdaraKita. Greenpeace Indonesia meluncurkan pengukuran kualitas udara di Bali ini, saat kapal legendaris milik Greenpeace Rainbow Warrior menyandar di Pelabuhan Benoa pada 15 April lalu.
Saat dibuka pada dua pekan lalu, aplikasi itu menunjukkan warna hijau atau masuk kategori sehat untuk wilayah Bali. Selain laporan kondisi saat itu ada juga rekap 24 jam memperlihatkan perbedaan kualitas udara dari warna hijau, kuning, sampai merah.
Aplikasi itu juga memberikan penjelasan kualitas udara efek bagi kesehatan dan peringatan khusus untuk PM2.5.
PM2.5 berupa partikel mikroskopis yang dihasilkan dari semua jenis pembakaran, termasuk kendaraan bermotor, pembangkit listrik, dan kegiatan industri. Partikel ini sangat berbahaya karena mudah terhirup dan masuk ke aliran darah manusia dikarenakan bentuk kecilnya.
Paparan jangka panjang PM2.5 dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut, terutama pada anak-anak, dan juga kanker paru-paru.
Dengan meningkatnya konsentrasi PM2.5 di daerah perkotaan, penyakit asma akan menjadi lebih umum, terutama pada anak-anak. Partikulat ini dapat menyebabkan stroke, penyakit kardiovaskular dan penyakit jantung lainnya. Bagi wanita hamil, PM2.5 menimbulkan risiko serius bagi bayi yang dikandungnya.
Partikulat 2,5 menurutnya debu yang bersifat beracun, tak masuk hidung saja juga paru-paru. Debu beracun ini tak menimbulkan gejala sampai 1-2 tahun tetapi ketika berkumpul di saluran udara, bisa menimbulkan stroke.
Keterlibatan Publik
Bondan Andriyanu Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan sangat penting publik tahu kualitas udara sekaligus ikut melaporkan situasi sekitar melalui aplikasi ini.
“Tak bisa berharap dari alat milik pemerintah saja, apalagi jumlah alatnya kurang,” ujarnya.
Menurut Bondan data pemerintah baru sampai pengukuran ukuran partikulat PM10. Ambang batasnya 65 mikron per meter kubik dan ini jauh lebih rendah dibanding standar WHO. “Kami berusaha meningkatkan standarnya direvisi draf UU tentang kualitas udara, tapi belum ketok palu terkait ambang batas polusi udara dan batas emisi PLTU,” jelasnya.
Bondan mengatakan warga bisa membeli sendiri alat seperti yang mereka gunakan, seharga sekitar Rp 10 juta dan bisa turut disinergikan dengan aplikasi UdaraKita.
Hingga saat ini belum banyak laporan warga via aplikasi Udara Kita untuk menyandingkan atau melengkapi hasil pengukuran kualitas udara. Padahal keterlibatan warga sangat diharapkan misalnya dengan memantau rutin kualitas udara sekitar rumah atau kantornya, bisa terlihat di menu “laporan” dan “fav”.
Secara umum kualitas udara di Bali sendiri masih cukup baik. Pantauan dari situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kualitas udara di Bali masih masuk kategori baik.
Dari tiga lokasi pemantauan di Denpasar dan Karangasem, hanya satu alat yang menunjukkan kualitas sedang yaitu di Karangasem, tepatnya Kecamatan Abang. [b]
Catatan: versi lain artikel ini dimuat Mongabay Indonesia.
Saya baru tau kalau Greenpeace bikin aplikasi pengukur kualitas udara di berbagai daerah di Indonesia.
Kalau di jalan raya di Bali saya belum pernah lihat alat indikator kualitas udara milik pemerintah, tapi kalau di Surabaya udah sering lihat ada di beberapa titik dekat lampu lalu lintas. Dan kualitas udara di Surabaya nggak terlalu bagus juga.