Bali adalah wajah dan salah satu pintu masuk Indonesia. Secara geografis, Pulau Bali kaya akan energi terbarukan. Namun, hingga saat ini hampir separuh kebutuhan listrik pulau dipenuhi oleh pembangkit di Pulau Jawa.
Hal yang lebih mengenaskan di masa keberlanjutan dan kebangkitan ekonomi sirkular adalah separuh energi yang dihasilkan dalam pulau justru didominasi oleh energi fosil. Padahal secara historis, Bali kerap dipercaya sebagai tempat perundingan energi bersih.
Mulai dari Bali Clean Energy Forum yang dihelat pada 12-13 Februari 2016 di Bali Nusa Dua Convention Centre berlanjut dengan dirintisnya Pusat Energi Terbarukan di Bali yang berkantor di Kawasan Renon oleh Kementerian ESDM meski bertahan hanya kurang dari satu tahun.
Berdasarkan data Rencana Umum Ketenagalistirkan Nasional (RUKN) 2019-2038, tercatat bahwa daya mampu pembangkit listrik di pulau bali sekitar 948 Megawatt (MW) yang didominasi oleh pembangkit listrik tenaga batubara dan kemudian tenaga gas. Pada dokumen RUKN tersebut, ditargetkan pada 2028 pasokan tenaga listrik di Bali menjadi 1051 MW dan pada 2018 menjadi 3098 MW. Artinya, dalam setiap tahun Bali membutuhkan tambahan pembangkit sebesar 15 MW. Suatu target kemandirian yang terhitung ambisius.
Pada tahun 2020, pemerintah daerah provinsi Bali memiliki momentum penting transisi ketenagalistrikan, namun situasi pandemik Corona Virus Disease (COVID) 19 membuat perhatian publik surut terhadap isu interseksi ini. Pada tahun lalu telah disahkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (Perda RUED) Bali tahun 2020-2050.
Perda RUED Bali telah mengidentifikasi tiga poin penting permasalahan ketenagalistrikan Bali. Mulai dari tingginya pemanfaatan energi yang tidak ramah lingkungan sebagai industri pembangkit listrik di pesisir utara Bali. Berikutnya, banyak potensi energi terbarukan, khususnya gas bumi yang belum dimanfaatkan sebagai bahan bakar transisi pemanfaatan gas bumi domestik yang belum dimanfaatkan sebagai bahan bakar transisi menuju menuju energi bersih. Terakhir, aksesibilitas terhadap energi yang belum inklusif yaitu kebutuhan di daerah terpencil yang belum terpenuhi.
Permasalahan pertama telah mampu dipetakan terlebih dahulu oleh gerakan masyarakat sipil di Bali lewat munculnya gugatan izin lingkungan atas pembangunan PLTU ekspansi 2X330 MW di Celukan Bawang pada awal tahun 2018. Meski kemenangan tidak didapat melalui jalur litigasi setelah 2 tahun proses mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga ke peninjauan kembali (PK), namun Pergub Bali memberi secercah harapan untuk setidaknya pada PLTU Celukan Bawang ekspansi tidak akan mempergunakan batubara melainkan gas alam atau menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG).
Pergub Bali Energi Bersih juga menjawab pemetaan permasalahan yang kedua, yaitu pemanfaatan energi gas bumi. Seperti masalah yang dipetakan pada RUED, terdapat potensi energi bersih yang besar di Bali sebagai pulau yang dikelilingi oleh pesisir dan memiliki gunung, mulai dari energi surya maupun energi gas bumi yang dapat dijadikan sebagai transisi peralihan dari Bali yang sebelumnya bergantung pada batubara dan minyak bumi.
Bila pemerintah daerah benar melihat persoalan secara holistik, maka penyelesaian persoalan ketiga yang berkaitan dengan keterbatasan infrastruktur dapat berjalan beriringin dengan menghentikan pembangkit energi yang kotor dan di saat bersamaan mengoptimalisasi potensi energi terbarukan.
Masalah Pembangkit Listrik Tenaga Gas Mendatang
United States Energy Information Administration dalam tulisan Natural Gas: The Advantages and Disadvantages mengungkapkan bila gas bumi menghasilkan karbondioksida 45% lebih rendah dari batubara dan 30% lebih rendah dari minyak bumi. Gas alam juga mengurangi kebutuhan akan angka penyimpanan bawah tanah sehingga potensi akan tanah yang terkontaminasi dan tercemar akibat tumpahan minyak turut berkurang.
Meskipun terbukti lebih bersih dari batubara dan minyak bumi, ketersediaan dari gas alam sebagai energi fosil tentu akan terbatas. Pemanfaatan gas alam jika dalam skema dan pola pikir pembentukan kebijakan sebagai suatu transisi masih tepat dan memungkinkan, namun penting untuk dicatat dan diingat bukan sebagai tujuan utama ketenagalistrikan Bali. Potensi terbesar, yaitu energi surya tetap harus dikedepankan.
Beberapa pertimbangan akan resiko PLTG adalah proses pengeboran sumur yang akan menghasilkan polusi udara dan suara memiliki potensi menganggu kehidupan sosial hingga satwa maupun sumberdaya air di sekitar tapak pembangunan PLTG, dalam hal ini pesisir Bali Utara bila dikaitkan dengan konversi perluasan PLTU Batubara Celukan Bawang menjadi PLTG Celukan Bawang.
Operasional PLTG memerlukan regulasi dan penetapan standar untuk kepastian pengangkutan, penyimpanan dan distribusi gas alam agar dilakukan secara aman sehingga mampu mencegah kebocoran. Hal ini menjadi begitu krusial mengingat karakteristik dari gas alam yang memiliki sifat kimia tidak berbau, berasa serta mudah terbakar.
Pada kenyatannya, meski PLTU Celukan Bawang tahap kedua hanya akan beroperasi bila dikonversi menjadi PLTG, masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dan wajib dibuka kepada publik terutama warga terdampak. Pemerintah daerah wajib memberi akses pengawalan perubahan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari PLTU menjadi PLTG kepada masyarakat sipil. Perubahan AMDAL adalah hal yang tidak dapat ditawar mengingat proses kegiatan maupun usaha yang berubah, begitu pula dengan karakteristik dari gas alam yang tidak dapat diperlakukan sama dengan batubara.
Kehadiran Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) juga berdampak signifikan dalam mengawal peta pembangkit energi di Indonesia, termasuk di Bali. Mulai dari penghapusan Komisi Penilai AMDAL yang kemudian diganti oleh Lembaga Uji Kelayakan tanpa representasi yang mumpuni dari elemen masyarakat, termasuk organisasi masyarakat sipil yang berkonsetrasi pada isu lingkungan seperti WALHI Bali, LBH Bali maupun organisasi lainnya.
Namun demikian, dalam lampiran II Perda RUED Bali telah diamanatkan audit energi berkala mencakup industri energi, industri besar, industri sektor komersial dan industri kecil menengah yang diikuti oleh indentifikasi dan pelaporan terhadap seluruh kegiatan yang terkait dengan usaha untuk menurunkan dampak dari gas rumah kaca.
Hal tersebut dilakukan secara berkala dalam rangka pengendalian audit pencemaran lingkungan dari sektor energi. Audit berkala dan sistem pelaporan berdasar RUED Bali adalah hal yang juga harus menjadi perhatian, selain bagaimana reduksi atas partisipasi masyarakat mulai berlaku selepas UU Cipta Kerja.
Melalui pengawalan yang tepat oleh masyarakat terhadap realisasi mekanisme audit berkala dan pelaporan mandiri kepada publik dapat menjadi basis dari penerapan regulasi dan mengurangi resiko dari rezim cipta kerja.
Pasca satu tahun pandemik COVID-19 berkunjung di Indonesia, dan menghantam Bali, dampak langsung maupun dampak bayangan yang dialami dunia belakangan adalah cerminan dari abainya manusia terhadap hubungannya dengan lingkungan. Bila COVID-19 hadir dikarenakan zoonosis dan berkembang oleh mobilitas, maka bukan tidak mungkin limbah dan pencemaran dari pembangkit energi menjadi penyebab berikutnya.
Mimpi buruk itu bisa menjadi nyata bila pemerintah daerah setengah hati dalam menjalankan komitmen transisi energi di Bali. Belum lagi, konsekuensi dari manuver-manuver pemerintah pusat yang semakin hari semakin kontradiktif dan menceminkan anti sains dengan limbah batubara yaitu Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dan Spent Bleaching Earth (SBE) yang merupakan limbah sawit, keduanya dikeluarkan dari limbah B3 dan menjadi limbah Non B3 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.22 Tahun 2021 tentang Lingkungan yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo sebagai turunan dari Omnibus Law Cipta Kerja.
Bagaimanapun juga energi ada dan dibangkitkan untuk kehidupan dan menyokong penghidupan, bukan untuk mematikan Bali sebagai ruang hidup.
Oleh: Ni Putu Candra Dewi, Pengacara HAM, saat ini berkerja di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali