Oleh Anton Muhajir
Ketika keluar dari kantor di daerah Yangbatu, Denpasar, saya sebenarnya berpikir untuk makan soto ayam di Jl Teuku Umar. Lama tidak makan di sana. Mendung dan sesekali gerimis sejak pagi membuat saya ingin menikmati makan siang dengan kuah hangat. Hmm, sepertinya pas untuk mengusir dingin.
Tapi begitu keluar dari Jl Letda Kajeng masuk Jl Cok Agung Tresna, saya mulai merasa terlalu jauh makan di Jl Teuku Umar. Otak saya bergerak. “Makan apa ya yang kira-kira berkuah hangat, ada di daerah Renon, dan bisa dinikmati dengan cepat?”
Aha, saya ingat Warung Nusa Lembongan di jalan searah yang saya lewati. Persisnya di depan Kantor Bagian Registrasi dan Identifikasi Polda Bali di Renon. Dari arah yang saya lewati, warung ini ada di kiri jalan.
Pengalaman pertama ketika makan di warung ini saya harus menunggu sekitar 30 menit. Karena itu saya sudah bersiap-siap untuk menunggu ketika sekitar pukul 12.15 Wita sampai di warung tersebut. Maklum, jam makan siang. Saking banyaknya pembeli, maka waktu itu saya harus mengantri.
Tapi ini tidak. Ketika saya baru saja duduk di kursi, datang satu pelayan membawa ikan laut goreng dan sup kepala ikan. Wah, rupanya pengelola warung sudah belajar. Pembeli tidak perlu menunggu lama, termasuk saya.
Warung Nusa Lembongan di Renon ini memang hanya menjual satu menu. Makanya meski saya belum pesan, makanan langsung datang.
Menu di depan saya: sepiring nasi putih, sepotong ikan laut goreng kering, semangkuk sup kepala ikan. Ikan laut itu –aduh apa ya namanya?- digoreng sampai berwarna cokelat saking keringnya dan ditambah sambal berwarna sama. Sedangkan kuah itu selain berisi kepala ikan laut –sepertinya sih ikan jangki tapi lebih besar- juga berisi beberapa potong timun. Saya tidak terlalu suka sayur. Jadi timun disingkirkan saja. Tapi kuah itu, ketika saya sendok lalu masuk mulut, sruuuup, aduh segernya..
Ketika pelayan saya tanya apa nama ikannya, dia hanya menjawab, “Pokoknya ikan itu beli di Benoa.” Aduh, ternyata dia juga tidak tahu. But, who care? Rasa lebih penting dibanding nama ikan itu. Dengan gorengan kering, ikan itu terasa kriuk-kriuk gurih di lidah. Masalahnya ketika saya colekkan ke sambal, kok rasanya jadi terasa agak manis. Saya penikmat pedas. Jadi ketika sambal itu terasa agak manis, saya kecewa.
Tapi, sudahlah, mari menikmati kuah segar dengan kepala ikan di dalamnya itu bersama nasi dan ikan goreng tersebut. Ketika nasi sudah habis, ikan goreng dan sup itu masih tersisa. Mau menambah nasi, takut terlalu banyak. Jadi ya ikan goreng itu saja dicolek-colek ke sambel.
Sambil kriuk-kriuk menikmati ikan goreng, saya lihat sekeliling. Ada tujuh meja besar di warung itu. Saya hitung ada rata-rata delapan kursi di tiap meja. Berarti kalau penuh paling tidak ada 56 orang pada saat makan. Paling lama makan ya 30 menit. Dalam satu jam berarti ada 112 orang. Kalau warung itu buka, misalnya, lima jam tiap hari berarti ada 560 orang. Wah, banyak juga ya..
Ramai tidaknya pembeli merupakan tanda enak tidaknya makanan di satu warung atau restoran atau tempat makan apa pun itu. Artinya, karena banyak pembeli, berarti Warung Lembongan masuk tempat makan enak di Denpasar.
Balik ke hiutng-hitungan tadi. Kalau satu orang menghabiskan minimal Rp 10 ribu berarti…, aduh!!, hitungan saya terhenti. Saya kaget. Saya tertipu. Sambal itu ternyata pedas di akhir. Pedasnya sampai terasa panas di ujung lidah. Padahal ketika pertama makan, sambal itu terasa manis. Sambal berwarna cokelat itu campur aduk antara manis dan pedas. Kombinasi unik.
Ini peringatan kalau makan di sini: jangan remehkan sambal yang terasa manis di awal. Pedasnya terasa di akhir.
Peringatan lain, seperti umumnya, makanan ikan laut, siapkan makanan penutup setelah menyantap menu di sini. Setelah makan ikan laut, biasanya di tenggorokan atau rongga mulut bagian atas agak terasa berlendir. Saya sih biasa mengalami seperti itu. Tidak tahu orang lain. Ya sebagai jaga-jaga saja, siapa tahu Anda mengalami hal sama. Siapkan makanan penutup bisa krupuk bisa juga merokok. Ini akan membuat mulut lebih enak setelah menyantap menu di sini.
Selain itu, siapkan uang pas. Untuk satu porsi makanan tadi ditambah teh hangat, saya harus bayar Rp 12.000. Masalahnya duit saya satu lembar Rp 100 ribu. Karena tidak ada kembalian, dengan PD-nya, kasir yang sepertinya pemilik warung itu, bilang, “Nah, tidak usah bayar tidak apa-apa.”
Kalau muka badak sih ya tinggal pergi saja. Kapan lagi dapat makan enak gratisan. Tapi kalau sadar sebagai manusia, ya silakan tukarkan uang Anda lalu kembali bayar. he.he. [b]
wajib di coba nich, biasa nya selalu makan di mak beng kalo ke sanur
Judulnya provokatif dan bisa mengundang intrepertasi yg gilirannya menipu pembaca yg tidak hati2 membaca artikel ini.
baiknya kalimat “Ini peringatan kalau makan di sini: jangan remehkan sambal yang terasa manis di awal. Pedasnya terasa di akhir.” dibuat menjadi…”pedasnya terasa di akhir, ini sungguh menipu, maka hati2lah!”
btw, in my tounge, enakan yg di sebelah bank sinar mas. rasanya lbh mendekati sup ikan dan sambel mak beng
*sok jadi kritikus bahasa..
*ngumpet ah..
Setuju tulisan sdr. Yos… judul nya sangat provokative, dan tidak cocok dengan isi..