Balinale kesebelas memutar beragam film mancanegara dengan genre cukup variatif.
Film-film Indonesia yang dihadirkan mengangkat tema seputar orang-orang terpinggirkan dan kisah-kisah yang tidak banyak dibicarakan. Mulai dari Ziarah (BW Purba Negara, 2016), Nokas (Manuel Alberto Maia, 2016), hingga Awal : Nasib Manusia (Gilang Bayu Santoso, 2017).
Pada 30 September 2017, sesaat sebelum pemutaran dokumenter AWAL: Nasib Manusia di Cinemaxx Lippo Mall Kuta dimulai, di hadapan hadirin yang jumlahnya tak sampai memenuhi setengah bioskop, panitia Balinale International Film Festival menyampaikan lelayu. Subjek film yang hari itu seharusnya hadir di tengah penonton, baru saja meninggal dua minggu lalu.
Penonton bergeming. Lampu bioskop redup pelan-pelan.
Kamera dengan sabar merekam Awal Uzhara menuruni anak tangga rumahnya dengan tertatih. Langkahnya bak bayi yang baru belajar merangkak, berat dan lamban. Di rumah yang belum genap lima tahun ia tinggali, Awal mengawali kerutinan lansia pada umumnya: sarapan buah dan makanan lunak disusul beberapa tablet obat. Kemudian menonton televisi sambil mengobrol dengan keluarga bersama sisa makanan yang tak pernah mampu ia habiskan.
Di akhir 1950-an hingga awal tahun 1960-an, Soekarno mengirim mahasiswa dan perwakilan Indonesia ke luar negeri untuk melanjutkan studi, mengikuti konferensi internasional, serta menjadi delegasi budaya. Ketika peristiwa 30 September 1965 meletus, banyak dari mereka tak bisa kembali ke Indonesia. Kewarganegaraannya bahkan dicabut karena dianggap mengkhianati kesetiaannya pada NKRI.
Beberapa di antaranya adalah akademisi dan seniman berhaluan kiri, juga nasionalis yang berpihak pada Soekarno dan menolak Soeharto. Sementara sisanya mereka yang dianggap berbahaya karena dekat dengan kelompok kiri dan nasionalis, atau semata-mata karena berkuliah di negara komunis seperti China dan Uni Soviet.
Awal Uzhara yang kisahnya difilmkan dalam dokumenter AWAL: Nasib Manusia adalah salah satu dari mereka. Karya ini diproduksi Gilang Bayu Santoso dan rekan-rekannya di Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.
Pada 1958, Awal Uzhara bersama Sjumandjaja, Ami Priono and Zubair Lelo mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di salah satu sekolah film tertua di dunia, Gerasimov Institute of Cinematography, Moskow, Rusia (saat itu masih bernama Uni Soviet). Ia menuntaskan studinya di Mokcow tak berselang lama setelah Peristiwa 1965.
Di tengah karut marut situasi politik, Awal dapat pulang ke Indonesia setelah dianggap lulus dari ‘pemeriksaan’. Sialnya ia harus kembali lagi ke Moskow karena anaknya sakit. Sejak saat itu paspornya dicabut. Setelah puluhan tahun menetap di Rusia, akhirnya pada 2012 Awal kembali ke tanah air.
Dalam durasi 27 menit, AWAL: Nasib Manusia memfilmkan hari tua Awal Uzhara dengan latar utama di rumahnya di bilangan Bandung. Sesekali dokumenter ini menampilkan cuplikan dokumentasi Awal Uzhara selama tinggal di Moskow dengan segelintir aktivitasnya ketika mengajar dan memperkenalkan budaya Indonesia di sana.
Film ini mengambil perspektif optimis dari seorang eksil melalui kegiatan-kegiatan yang dihimpunnya di Rusia, yang barangkali tak hanya dilakukan untuk melestarikan kebudayaan Indonesia, tapi juga mengobati kerinduannya pada tanah air. Penonton juga menikmati beberapa tayangan animasi yang digunakan pembuat film untuk menceritakan kejadian masa lampau yang tak terdokumentasikan. Salah satunya cerita pertemuan Awal Uzhara dengan Basuki Effendi, sutradara film dan aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), orang pertama yang memperkenalkannya pada dunia film.
Selain kisah penyintas di tanah air, kisah eks tapol dan eksil di luar negeri adalah topik yang jamak diangkat dalam film-film seputar Peristiwa 1965. Sebelum AWAL: Nasib Manusia, kita mengenal Restaurant Indonesia (Dhani Ignatius, 2007), r.i (Andrew Dhananjaya, 2011), Tarung (Steve Pillar, 2015), Saudara dalam Sejarah (Amerta Kusuma, 2015), Surat dari Praha (Angga Dwimas Sasongko, 2016), dan beberapa film lainnya.
Kelima film eksil tersebut mengambil latar dan menghadirkan subjek atau tokoh film beragam. Restaurant Indonesia dan r.i sama-sama mengisahkan tentang sebuah restoran bernama Restoran Indonesia yang didirikan oleh Sobron Aidit dan kawan-kawan eksil di Paris. Sementara Tarung mengikuti proses persiapan pameran para eks tapol sekaligus seniman seni rupa dari Sanggar Bumi Tarung yang berafiliasi dengan LEKRA, underbow PKI.
Di tahun yang sama ada Saudara dalam Sejarah, sebuah dokumenter pendek tentang perjalanan Tom Iljas bertemu rekan-rekan eksil di Eropa. Jika film-film tadi dihadirkan dengan pendekatan dokumenter pendek, maka Surat dari Praha menggunakan bentuk fiksi panjang untuk mengisahkan seorang gadis yang mencari kekasih lama ibunya di Praha, yang tak lain adalah seorang eksil.
Kelima film ini dengan pilihan cerita berbeda tentang eksil dan eks tapol, sama-sama menghadirkan narasi politik terkait Peristiwa 1965 sebagai pangkal masalah dari pilihan-pilihan yang dilakoni oleh masing-masing subjek film kita di masa sekarang. Penonton disajikan bagaimana Peristiwa 1965 merupakan kekuatan negara vis a vis rakyat.
Cerita-cerita tentang ‘kekerasan’ non-fisik yang dilakukan oleh negara terhadap para eksil akan memberikan gambaran pada penonton tentang rumitnya relasi yang terjalin antara eksil dan negara. Keterpisahan eksil dengan tanah airnya bukanlah hal yang dikehendaki dan bersifat sepihak. Ratusan atau mungkin ribuan eksil tidak bisa kembali ke kampung halamannya, identitasnya dicabut, eksistensinya dihapus.
Alhasil, mereka harus luntang-lantung tanpa kewarganegaraan, dan akhirnya terpaksa memilih kewarganegaraan lain.
Kehadiran AWAL: Nasib Manusia tentunya menambah glosarium film tentang eksil di luar negeri khususnya, dan tentang Perisitwa 1965 pada umumnya. Hal yang membuatnya berbeda, Awal Uzhara adalah eksil yang cukup ‘beruntung’ karena akhirnya dapat pulang ke Indonesia, meski harus menunggu selama lima puluh tahun.
Namun, dibandingkan dengan kelima film tentang eksil yang telah disebutkan, ada konteks yang luput dihadirkan dalam AWAL: Nasib Manusia. Kepulangan seorang eksil ke Indonesia tidak bisa kita anggap sebagai sesuatu yang lazim. Ia adalah peristiwa dan juga keputusan luar biasa, sebab di belakangnya terpendam campur aduk antara rindu berpuluh tahun, rasa kehilangan, sakit hati, sekaligus usaha untuk berdamai dengan masa lalu.
Relasi inilah yang tidak cukup dihadirkan dalam AWAL: Nasib Manusia. Dalam film ini penyebab kepulangan Awal Uzhara hanya dijelaskan oleh bagian ‘berbekal judul yang berat-berat itu (liputan tentang jasa-jasa Awal Uzhara), lalu akhirnya saya pulang’. Bisa jadi ini memang pilihan pembuat film, untuk mengambil sudut pandang heroik. Tentang seseorang yang terusir dan tidak diterima di negerinya sendiri, tetapi selama puluhan tahun begitu bersemangat memperkenalkan budaya Indonesia di Rusia melalui gamelan, tari-tarian, dan pengajaran bahasa. Betapa ironis.
Akan tetapi perlakuan pembuat film dalam menyajikan kepulangan Awal Uzhara ke Indonesia sebagai sesuatu yang terberi bisa berisiko melegitimasi bahwa seorang eksil dapat dengan mudah pulang ke Indonesia, asal selama di luar sana ia dengan tekun melestarikan budaya Indonesia sebagaimana yang diperjuangkan Awal Uzhara puluhan tahun. Bagaimana dengan eksil-eksil lain yang di luar sana juga gencar berkontribusi untuk pelestarian kebudayaan Indonesia tapi tetap tak bisa pulang?
Tentu masih segar di ingatan, pemberitaan mengenai Tom Iljas—yang kebetulan adalah subjek dalam film Saudara dalam Sejarah, seorang eksil yang ketika itu sudah berstatus warga negara Swedia, harus dideportasi pihak imigrasi Indonesia hanya karena ziarah ke makam ayahnya di Sumatera Barat.
Anggapan bahwa kepulangan eksil ke Indonesia adalah sesuatu yang lumrah dalam film inipun dikuatkan oleh ketiadaan bagian-bagian yang menceritakan upaya apa yang telah Awal Uzhara lakukan selama 50 tahun di Rusia. Apakah sebagai eksil ia sempat stateless, hidup tanpa kewarganegaraan sambil menunggu kepastian dari Indonesia? Kapan ia memutuskan untuk menjadi warga negara Rusia? Juga, apakah selama 50 tahun di Rusia ia sempat berkunjung ke Indonesia?
Upaya administratif untuk dapat pulang ke Indonesia tak banyak kita lihat atau dengar dalam film—selain Awal menerima sertifikat penghargaan dari KBRI Rusia atas jasanya dalam menjaga hubungan Rusia-Indonesia. Sebab dalam film, Awal sempat berujar ‘…waktu itu hubungan saya dengan KBRI sudah membaik, sudah bisa bolak-balik ke KBRI’. Pernyataan yang hanya hadir sebagai celetuk ini, justru adalah pemantik untuk membuka cerita hubungan antara KBRI dan eksil yang barangkali menjadi salah satu kesulitan Awal hadapi untuk mengurus kepulangannya ke Indonesia.
Memfilmkan tokoh dengan situasi sejarah tertentu bisa jadi tak seberapa sulit jika peristiwa sejarah yang melatarinya sudah menjadi pemahaman kolektif bagi khalayak. Penonton tak menemukan kendala dalam merasakan emosi yang dibendung subjek film melalui kisah-kisahnya. Namun, lain cerita jika cerita-cerita yang merangkainya masih berbentuk prasangka sana-sini, atau masih tabu dibicarakan sebagaimana Peristiwa 1965.
Dalam AWAL: Nasib Manusia, apa yang tidak dihadirkan dalam film tidak kalah krusial dengan apa yang telah dihadirkan. Memang untuk sebuah film pendek, keterbatasan durasi membuat pembuat film harus lebih cermat memilih apa yang harus dan tidak perlu disampaikan tiap detiknya, sehingga film mampu bercerita dengan lebih efektif . Terlebih jika cerita yang diangkat memuat latar sosial-politik yang kompleks.
Untuk film-film yang memikul isu sebesar Peristiwa 1965, bagaimana ia dipresentasikan kepada publik nantinya tidak hanya menjadi tanggung jawab pembuat film. Film-film seperti AWAL: Nasib Manusia, Saudara dalam Sejarah dan film-film lainnya pada akhirnya adalah potongan kolase dengan pilihan perspektifnya masing-masing yang tersusun untuk membentuk satu narasi besar.
AWAL: Nasib Manusia, meski narasinya kurang utuh, tetap penting untuk ditonton dengan catatan ia didampingi oleh film-film tentang eksil atau Peristiwa 1965 lainnya. Juga, jika perlu disertai pengantar program pemutaran sebagai benang merah dalam menghubungkan narasi yang berserak. Sebab yang membikin was-was jika karya ini hanya dinikmati sebagai karya tunggal tentang 1965 adalah penonton akan cenderung menyederhanakan Peristiwa 1965 dengan segala polemik sebelum dan sesudahnya, juga berpotensi membatasi pemahaman publik tentang nasib eksil sebagai penyintas Peristiwa 1965. [b]
Comments 2