Seribu penari tari jangkang memadati Pantai Banjar Nyuh.
Dari anak-anak hingga kakek-kakek, mereka semua menarikan tarian itu pada Jumat pekan lalu. Semuanya laki-laki. Tarian ini termasuk tarian sakral di Banjar Pelilit, Desa Pejukutan, di bagian selatan Pulau Nusa Penida.
Kali ini tari jangkang dipentaskan dalam pembukaan Nusa Penida Festival 2016. Festival tahunan ketiga kalinya ini bertujuan untuk mempromosikan potensi wisata tiga pulau di Nusa Penida yaitu Nusa Gede, Nusa Ceningan, dan Nusa Lembongan.
Tiap tahun, pembukaan Nusa Penida Festival mementaskan tarian-tarian kolosal. Tahun lalu, tarian yang dipentaskan adalah 000 penari rejang yang semuanya perempuan. Kali ini tari jangkang yang dipentaskan laki-laki.
Jangkang sendiri berasal dari kata jungkang jungking, gerakan menghindari musuh.
Menurut sejarahnya, tari jangkang merupakan tarian perang antara warga Banjar Pelilit dengan desa tetangga. Pada saat itu, warga Pelilit menggunakan tombak, melemparkan batu, menghindari serangan, mengintip musuh, dan merangkak. Gerakan-gerakan itu pun dilambangkan dalam tarian jangkang.
Para penari membawa tombak perang. Di ujung tombak terdapat benang tiga warna atau tridatu. Ada pula ilalang yang diikatkan untuk menghormati rumput raksasa yang ketika itu dipakai berperang. Penari mengenakan pakaian khas Nusa Penida yaitu kamben atau sarung berwarna merah dan selendang berwarna kuning.
Tarian ini diiringi baleganjur, instrumen musik khas Bali. Bedanya, alat musik pengiring tari jangkang ini termasuk sederhana. Tidak ada baleganjur lengkap layaknya musik Bali pada umumnya tapi hanya kendang, cengceng (semacam simbal), tetawe, kempul (gong kecil), dan bonang (gamelan kecil).
Menurut kepercayaan warga Banjar Pelilit, kempul memberikan semangat dan kekuatan bagi para penari, seperti halnya pada saat perang.
Tarian jangkang sebenarnya termasuk tarian sakral. Hanya dimainkan pada saat upacara agama Hindu. Seiring perubahan waktu, tari jangkang juga beradaptasi dengan zaman. Jumlah penari biasanya hanya sembilan orang. Namun, saat ini sesuai kebutuhan.
Dari semula sebagai tarian di pura saat upacara agama, sekarang juga ditarikan untuk tujuan menghibur. Namun, kali ini dipentaskan sebagai bagian dari hiburan. “Kami juga mulai menari untuk acara-acara seperti festival saat ini,” kata Ketut Teguh, salah satu penari.
Bagi para penari, pementasan tari jangkang kali ini menjadi waktu untuk mengenalkan bahwa mereka juga memiliki tradisi-tradisi tari yang unik. Karena itu mereka antusias berlatih lagi, terutama anak-anak SMP dan SMA, sejak sebulan sebelum pementasan.
Pertunjukan penari lintas-generasi kali ini pun menjadi waktu untuk belajar sekaligus meneruskan tradisi tari di Banjar Pelilit. I Komang Wisnu termasuk salah satu siswa yang menari bersama bapaknya, Ketut Teguh.
Sabtu sore itu, Wisnu pun menari bersama Teguh dan para penari lainnya. Mereka menari menirukan gerakan-gerakan serupa perang diiringi tabuhan gamelan Nusa Penida. Ribuan warga menyaksikan mereka bahkan meluber sampai pantai sisi barat Nusa Penida itu. [b]