Dua sastrawan muda menghadirkan kembali hal-hal klasik di Bali.
Balai Bahasa Provinsi Bali menggelar bedah buku dua penulis muda Bali pada Selasa, 21 Agustus 2018, lalu. Diskusi bertempat di aula Balai Bahasa Provinsi Bali, Jalan Trengguli I No. 20, Penatih, Denpasar.
Dua buku yang dibedah adalah buku kumpulan cerita pendek “Gadis Melukis Tanda Suci di Tempat Suci” karya Made Adnyana Ole dan “Lelaki Kantong Sperma” karya I Gede Agus Juli Sastrawan. Prof. I Nyoman Darma Putra, guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana tampil sebagai pembedah karya dipandu penulis dan aktivis sastra Wayan Jengki Sunarta.
Dalam penyampaiannya Darma Putra melihat kesamaan pada kedua buku kumpulan cerita pendek tersebut, yakni atavisme atau pencarian sesuatu yang klasik atau purba untuk ditampilkan kembali pada karya sastra.
“Atavisme pada karya Made Adnyana Ole terletak pada mitos-mitos di Bali yang ditulis kembali, sedangkan pada karya Sastrawan bisa dilihat pada penggalan surat dan pesan WA di cerpen-cerpennya,” ujarnya.
Istilah atavisme sebenarnya bukan hal baru. Pada 1971 sastrawan Subagio Sastrowardoyo pertama kali memperkenalkan istilah tersebut dalam buku ‘Bakat Alam dan Intelektualitas’ pada bab ‘Atavisme dalam Sajak’ (1969) untuk menyebut munculnya kembali ciri-ciri lama yaitu purba dan primitif yang sebelumnya sempat terpendam, misalnya ciri pantun dalam puisi modern.
Penting Dibicarakan
Darma Putra menyebut alasan mengapa atavisme penting dibicarakan dalam khasanah sastra.
Pertama, esensi karya sastra adalah kreativitas. Sastrawan berusaha keras untuk orisinal, inovatif, mencari identitas, dan tabu jadi epigon.
Kedua, atavisme merupakan fakta dalam dunia sastra. Perkembangan sastra bukanlah aliran yang patah tetapi sambung-sinambung dalam kerangka sistem sastra.
Ketiga, pemunculan ciri lama, purba, klasik adalah apresiasi atas kekayaan warisan sastra. Beda dengan poin pertama, pemanfaatan atavisme adalah kekaguman atas ciri purba karya sastra.
Sebagai alat analisis, atavisme lebih banyak digunakan dalam mengkaji puisi, walaupun gejala atavisme terdapat dalam prosa pun drama. Dengan atavisme sebagai alat analisis terbuka menyusun kritik inovatif. Walaupun atavisme jarang dipakai. Mungkin karena popularitas teori lain yang menjadi payungnya yakni intertekstualitas.
Buku cerpen “Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci” karya Made Adnyana Ole berisi sembilan cerpen dengan tema beragam, seperti masalah pariwisata, dilema humanistik politik 1965, mitos-mitos budaya Bali yang disampaikan dengan gaya realis, absurd, ironis bahkan humor.
“Atavisme dalam kumpulan cerpen ini lebih longgar tampak dalam setidaknya dua mitos: mitos politik dan mistik,” katanya.
Atavisme mitos politik muncul dalam cerita dengan tema atau latar politik anti-komunisme dari peristiwa 1965. Cerita ‘Men Suka’ paling kental, total, dan sebagai latar-sentuh dalam cerpen ‘Gede Juta’, ‘Siat Wengi’, dan ‘Darah Pembasuh Luka’. Atavisme mitos mistik muncul dalam cerita ‘Siat Wengi’ dan ‘Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci’.
Tema Seksualitas
Adapun buku kumpulan cerpen “Lelaki Kantong Sperma” karya Juli Sastrawan yang juga berisi sembilan cerpen didominasi tema seksualitas seperti homoseksualitas, korban seksual dan lain-lain dengan gaya realis, semi-absurd dan serius. Atavisme yang menonjol dalam cerpen-cerpen Juli adalah atavisme espitolari yaitu teknik penulisan prosa dengan menyisipkan surat atau dokumen.
Genre epistolari popular abad ke-18 dalam sastra Inggris dan Jerman. Novel awal Indonesia seperti Siti Nurbaya dan Student Hijo berisi sisipan surat. Epistolari muncul kembali dalam WA, dan banyak cerpen dewasa ini mengandung WA atau SMS.
“Cerpen ‘Di Ujung Percakapan Kontemporer’ misalnya, ada banyak WA dan diakhiri dengan surat. Epistolari penanda atavisme dalam cerpen ini. Juga beberapa cerpen “Percakapan Sembilan Pencarian”. Pada Cerpen ‘Laki-laki Kantong Sperma’ mengutip lagu Michael Learns to Rock ‘That’s Why (You Go Away).
“Entah apa istilah untuk lirik lagu masuk ke prosa, tapi ini juga ciri purba prosa yang berasal dari opera atau film India,” kata Darma Putra.
Ia menekankan, karya sastra tidak serta merta bermutu atau tidak bermutu hanya karena ada dengan ada atau tanpa atavisme.
“Mutu karya sastra ditentukan inovasi yang tercermin lewat orisinalitas kisah, isi, tema dan motif, serta orisinalitas bentuk misalnya struktur dan alur. Selain itu, inovasi style dan bahasa serta target pembaca atau “implied reader”, dan terakhir adalah agensi,” pungkasnya.
Seribu Tafsir
Terbitnya dua buku cerpen ini menandakan gairah kepenulisan yang tinggi dari penulis kontemporer Bali. Cerpen-cerpen dalam dua buku ini telah sampai ke tangan pembaca dan bebas untuk ditafsirkan, yang bisa jadi memiliki seribu tafsir berbeda, tergantung dari pembaca.
Selain itu, kehadiran kedua buku cerpen ini memberi kemungkinan baru akan tema dan teknis menulis cerpen. Walau tema seksualitas telah banyak digarap penulis perempuan seperti Djenar Maesa Ayu, yang barang tentu berbeda ketika ditulis dari pandangan laki-laki seperti Juli Sastrawan yang banyak mengangkat tema sama pada karyanya.
Juga tema peristiwa 1965 yang ditulis oleh Made Adnyana Ole tentu berbeda ketika dibandingkan dengan cerpen-cerpen Martin Aleida atau Putu Oka Sukanta yang notabena mengalami langsung dan menjadi tahanan politik akibat peristiwa tersebut. Sebagai “orang luar”, Ole menuliskan kembali apa yang pernah terjadi di sekitarnya yang ia dengar dari penuturan keluarga dan warga kampung tentang peristiwa 1965. Dua hal yang berbeda, tentunya.
Kemungkinan-kemungkinan baru pada cerpen penulis Bali dewasa ini menurut saya akan terus lahir dan memperkaya khazanah sastra Indonesia. Selamat untuk Ole dan Juli! [b]