“Jangan samakan aku dengan anjing peliharaanmu yang diam di rumah, aku memang sedikit tidak umum, tapi aku bukanlah gila…”
Lirik yang dituangkan dalam lagu Jangan Pasung Aku, adalah perasaan miris kata I Gede Kartika Wiguna alias Dedika melihat fenomena pemasungan. Melihat betapa kejamnya pemasungan pada orang dengan skizofrenia, menggugah rasa Dedika yang diekspresikan dalam lagu berjudul “Jangan Pasung Aku”. Dedika, seorang dengan skizofrenia bersama teman-temannya di Ruma Berdaya berkarya di kancah musik menyampaikan kritik terhadap stigma sosial itu.
Dalam mini album yang dirilis pertengahan Februari lalu, tertuang 7 lagu yang menjadi aspirasi para Alumni Rumah Sakit Jiwa (Arusaji). Dibawakan oleh 3 personil Arusaji Band, Dedika (vokal dan gitaris), Loster (bassis), dan Pak Man (Kajoon). Tujuh lagu itu rata-rata berdurasi 2 menit, dengan judul lagu; Di Rumah Berdaya, Jangan Pasung Aku, I’m Skizofrenia, Halusinasi, Gadis Jalanan, dan Anarchy War dan Penjahat.
Musik yang dilantunkan dengan genre punk rock ini menjadi aspirasi Dedika menciptakan lagu dari fenomena yang terjadi di sekitarnya sebagai penyintas skizofrenia. “Jangan Pasung Aku”, menjadi lagu pertama yang diciptakan dari tahun 2016. Waktu itu Rumah Berdaya masih di Hayam Wuruk. Dedika melihat salah satu warga rumah berdaya ketika di rumahnya dipasung.
“Saya lihat pemasungan itu gak layak buat manusia. Makanya saya buat lagu untuk menyuarakan hati saya. Sangat miris saya melihat itu,” kata Dedika.
Pengalamannya memperjuangkan hak atas pemasungan karena ia melewati betapa mirisnya perlakuan masyarakat ketika mengalami skizofrenia. Nyoman Sudiasa, Koordinator Rumah Berdaya juga menceritakan, perlakuan tidak baik terhadap orang dengan skizofrenia justru datang dari keluarga terdekat.
Pengalaman yang menginspirasi lagunya Dedika, misalnya. Orang dengan skizofrenia pasti melibatkan keluarga besar untuk mengambil keputusan. Jika ada salah satu keluarganya sudah mau peduli, justru terancam karena tidak mengikuti keputusan keluarga besar.
“Kami akhirnya hanya berani bertindak sesuai izin keluarga. Kami ke sana justru di marah-marah. Akhirnya kami kasi tau kalau, kami tidak diizinkan memberikan obat, artinya keluarga sudah melanggar HAM karena tidak memberikan akses orang dengan skizofrenia untuk diobati. Akhirnya kami bisa mengobati hingga saat ini sudah bisa beraktivitas di rumah berdaya,” tutur Sudiasa.
Pemasungan khususnya di Denpasar, menurut Sudiasa sudah mulai berkurang. Tapi ia tak menampik jika masih ada orang yang dipasung. Terlebih di daerah-daerah terpencil.
“Kalau kita bisa menjangkau, rumah berdaya biasanya akan memberikan bantuan obat. Seperti di Denpasar kita mendapat informasi, kita langsung datangi bersama teman-teman,” tutur Sudiasa.
Pengalaman ini mendorong Dedika untuk menolong teman sebayanya melalui musik. Kenal musik sejak SMA, melancarkan langkah Dedika untuk terus berkarya. Sebelum rumah berdaya terbentuk, Dedika sering berkumpul di Batubulan bersama teman untuk mengekspresikan skizofrenia dalam bentuk seni. Sekitar 2016 ia belum punya band. Akhirnya didukung ketika di Rumah Berdaya Dedika antusias membentuk band.
Setelah di Rumah Berdaya, ia iseng-iseng bermain musik. “Dulu kami masih pakai galon air kosong dan gitar bolong. Itu sekitar tahun 2020. lama-lama saya punya gitar saya bawa ke rumah berdaya. Lalu ada dana utk beli kajon dan gitar, makin semangat untuk rekaman,” ungkapnya.
“Sejak saya sakit, saya belajar skizofrenia di Rumah Berdaya sehingga terciptalah lagu Jangan Pasung Aku,” kata Dedika.
Dedika menceritakan dulu ketika di rumah saja, tak ada kegiatan apapun. Keluarganya terus menuntut untuk punya kerjaan. Itu membuat ia merasa stres, sehingga skizo-nya sering kumat. Tapi setelah sering berkegiatan di Rumah Berdaya sudah jarang kumat. Bisa lebih aktif dan berkarya.
Hingga lagu yang kedua kemudian berhasil ia rampungkan dengan judul “Halusinasi”. Lagu itu tentang pemahaman Dedika ketika mengalami gangguan jiwa. Semua yang dilakukan itu adalah halusinasi. Dalam lagunya ia paparkan bagaimana halusinasi penglihatan, halusinasi perasaan, pendengaran, dan waham itu terjadi pada dirinya.
“Waham itu saya seperti merasakan menjadi sesuatu, tapi yang tidak masuk akal,” ungkap Dedika.
Ia masukkan dalam penggalan lirik. “…pikiranku mengatakan, aku adalah tuhan. Akhir-akhirnya menyuruh saya bunuh diri… dan saya sadar yang saya alami adalah halusinasi…”
Pada saat Dedika kumat, ia menuliskan dalam lagu yang berjudul I’m skizofrenia. Bagaimana ketika ia kumat, tidak memikirkan kebersihan diri, telanjang di jalan.
“Saya sempat melewati itu. Saat saya baru awal-awal ke rumah berdaya, saya belum stabil betul, saya sampai 7 kali bolak balik rumah sakit jiwa. Tapi setelah saya aktif, nggak pernah kumat lagi,” tuturnya.
Menurut Dedika untuk menyelesaikan satu lagu ia butuh waktu yang lama. Tapi inspirasinya sering muncul tiba-tiba. Cukup 10 menit lagunya jadi. Banyaknya lagu yang sudah tercipta, namun terlupa karena tidak tercatat. Menyebabkan Dedika cepat-cepat mencatat dan menyusun kuncinya ketika inspirasinya datang.
“Bagi kami, orang dengan skizofrenia, ini adalah prestasi buat kami. Paling kecil aja, kami punya kebanggaan tersendiri, itu berimbas pada diri sendiri. Kami bisa menghargai diri sendiri. Kalau dulu, kami saja tidak menghargai diri sendiri, bagaimana orang lain bisa menghargai kami. Kami merasa kok gaada hal yang bisa dibanggakan ya. Itu yang membuat kami tertekan. Karya ini juga yang mengubah sudut pandang orang lain tentang orang dengan skizofrenia,” cetus Pak Man Sudiasa menutup sesi wawancara.