Empat tahun lalu, sewaktu bekerja sebagai wartawan sebuah media daring yang berpusat di Kota Denpasar, Bali, saya berselisih paham dengan pemimpin redaksi. Pasalnya, sebuah berita tentang perempuan yang (maaf) berlari sambil telanjang di sebuah kawasan di Denpasar Selatan. Judul berita tersebut bombastis: “Perempuan Seksi Berlari Bugil di Jalanan Denpasar.”
Alih-alih mencari dan menelaah penyebab perempuan itu berlari telanjang, yang biasanya berkaitan dengan kesehatan mental seperti stres, depresi atau skizofrenia, berita itu mulai dari judul hingga isi hanya menonjolkan perempuan yang disebut “seksi” berlari tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya. Bahkan, foto yang ditayangkan adalah tangkapan layar video amatir yang beredar di media sosial, pada awalnya tidak disamarkan (blur). Tampil polos apa adanya.
Setelah saya mengajukan protes, foto tersebut kemudian disamarkan. Tetap saja saya masih kesal dengan atasan saya. Dia tampaknya tidak memikirkan dampak jangka panjang berita tersebut. Jejak digital di dunia maya akan tetap ada selama berita di media daring tersebut tidak dihapus.
Bagaimana perasaan anak dan keluarga saat melihat berita tersebut, tentu akan melukai perasaan mereka. Terlebih, bagi pelaku yang nantinya ketika pulih dan stabil melihat pemberitaan tersebut. Sisi kemanusiaan yang kerap luput dari perhatian para wartawan dan perusahaan media.
Jika pun ingin menulis tentang perempuan berlari sambil telanjang, semestinya memihak pada pelaku. Misalnya, dugaan depresi yang dialami sehingga di luar kesadaran ia telanjang dan berlari di jalan. Bukan malah mengekspos bagian “bugil” demi untuk meraih pembaca yang banyak dan berita menjadi viral. Dibagikan ribuan atau jutaan kali yang tentu akan menambah pendapatan, selain media menjadi terkenal dan tentu saja menjadi bahan pembicaraan warganet.
Begitulah, beberapa tahun terakhir sejak menjamurnya media online atau daring di Indonesia, masyarakat disuguhi menu berita yang bermacam-macam, mulai berita yang baik hingga berita yang kualitasnya buruk, jauh dari standar jurnalistik. Kini, membuat media daring sangatlah mudah, hanya bermodalkan website dan satu-dua pengelola yang dirasa “mampu” menulis.
Itu belum termasuk akun-akun media sosial yang menyebut diri “perusahaan media” yang biasanya mengambil dan menyalin berita dari media resmi dengan sedikit modifikasi desain dan foto ilustrasi. Jadilah sebuah media pemberitaan, di masa ketika banyak orang malas membaca berita panjang dan seringkali hanya membaca judul dan satu-dua baris caption.
Berdasarkan data Dewan Pers, hingga akhir 2021 terdapat hampir 1700-an perusahaan media di Indonesia. Pada tahun itu pula ada tambahan 374 perusahaan media yang diverifikasi Dewan Pers. Artinya, masih banyak perusahaan media yang belum terverifikasi. Hal ini tentunya menentukan kualitas dan kredibilitas media-media tersebut.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Arif Zulkifli mengungkap, selama 2021 telah menerima 620 aduan dugaan pelanggaran kode etik jurnalistik sejumlah media di Tanah Air. Angka tersebut naik jika dibandingkan aduan pada 2020.
“Kami di Komisi Pengaduan per 2021 kemarin itu menangani 620 kasus. Bayangin, 620 kasus, kalau dibagi 12, kira-kira ada 50-an kasus yang mesti kita tangani. Ini naik dibandingkan tahun sebelumnya, tahun sebelumnya itu hanya 527 kasus,” ujar Arif Zulkipli, seperti dikutip dari news.detik.com, Rabu 2 Februari 2022.
Arif membeberkan mengapa angka pelaporan tahun ini naik dibanding tahun sebelumnya. Menurutnya, seorang pelapor ada yang melaporkan lebih dari satu media dan lebih dari satu berita. “Kadang-kadang bisa ngelaporin 10 media, karena dia merasa terganggu oleh laporan atau liputan sepuluh media tersebut. Kadang-kadang dari 10 media yang dia laporkan itu nggak cuma satu berita yang dilaporin, tapi 3 berita. Jadi kita hitung berdasarkan kasus yang sampai unit yang terkecil,” ucapnya.
Lalu, kebanyakan kasus apa yang dilaporkan pelanggarannya? “Media-media kita umumnya melanggar Pasal 1 dan 3 dari pada kode etik jurnalistik, yaitu di seputar judul yang menghakimi, tidak konfirmasi, tidak uji informasi, dan hal-hal semacam itu,” ujarnya.
Kembali pada cerita saya di awal tulisan, pemuatan berita tentang perempuan tersebut tentu melanggar kode etik jurnalistik. Demi untuk viral dan terkenal.
Dalam Pasal 8 dan Pasal 9, tertulis:
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.