“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” begitu kata Pramoedya Anantar Toer dalam Bumi Manusia.
Kaus abu-abu dengan salah satu quotes dari Pram ini baru saja saya letakkan di tumpukkan baju kotor di samping lemari. Kata-katanya kembali mengganggu pikiran dalam beberapa minggu ke belakang ini.
Seorang Ibu mengirimkan pesan via aplikasi messenger. “Ya sudah, gapapa, jangan dipermasalahkan lagi. Makasih atas bantuannya,” tulisnya.
Syukurlah, begitu sebelumnya saya sampaikan ketika mengetahui bahwa sang anak dijanjikan akan mendapatkan bangku di salah satu SMA di Denpasar sesuai haknya. Bahkan anak itu sudah mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Sebelumnya beberapa orang tua melaporkan ke Ombudsman RI Bali bahwa sang anak tidak lolos salah satu jalur baru dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2017/2018. Jalur lingkungan lokal diberikan kepada calon siswa yang memiliki lokasi rumah dekat dengan sekolah yang dituju. Jalur ini, dalam aturan Juknis PPDB 2017/2018 oleh Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Bali memberikan kuota 10 persen dari daya tampung total masing-masing sekolah
Namun, hingga pengumuman hasil PPDB pada 1 Juli 2017 yang lalu, ternyata si anak tidak lolos. Padahal jarak dari rumah tinggalnya ke lokasi sekolah hanya sekitar 200 meter. Ia pun mempertanyakan. Kenapa peserta lain lolos padahal jaraknya lebih jauh, sekitar 1000 meter meskipun masih dalam desa yang sama.
Ada pula pendaftar yang lolos padahal tidak dari desa tersebut. Untuk jarak pun tidak perlu ditanya lagi, tentu tak masuk akal.
Awalnya Perbekel desa mengaku tidak tahu menahu mengenai seleksi dan pemeringkatan (perankingan) peserta dari desanya. Dia sepenuhnya menyerahkan ke sekolah yang justru melempar kepada desa. Setelah didatangi pihak Ombudsman Bali ke sekolah, Perbekel desa baru mengaku ada kesalahan dalam perangkingan. Kesalahan secara detail tidak Ia jabarkan.
Sebagai solusi, saat itu di depan awak media, Ia akan melakukan perankingan ulang. Dia memberikan hak kepada yang berhak sesuai aturan, sehingga bisa saja daftar yang telah lolos itu berubah lagi karena dilakukan perankingan ulang.
Namun ternyata pemulihan hak tidak 100 persen dilaksanakan secara prosedur. Anak si pelapor kini mendapatkan kursi di sekolah itu. Tapi tidak ada perubahan dalam daftar yang lolos sebelumnya. Alias semuanya tetap diterima.
Lalu dari mana kemudian nama dua anak yang diterima di jalur lokal tersebut masuk? Sementara jika tidak meranking ulang, berarti ada penambahan siswa, dan itu melebihi kuota jalur tersebut.
Saya teringat satu tahun lalu pun ada kasus serupa tapi tak sama. Beberapa orang tua menggeruduk kantor Ombudsman Bali melaporkan bahwa sang anak tidak diterima di jalur prestasi di salah satu SMA lainnya di Denpasar.
Aduannya pun senada. Sambil menunjukkan bukti sertifikat prestasi milik sang anak, para orangtua mempertanyakan mengapa anak mereka tidak lolos. Mekanisme apa yang digunakan untuk mengukur prestasi tersebut.
Hingga laporan dilayangkan dan Ombudsman turun ke sekolah untuk bertemu pihak Kepala Sekolah. Namun tak lama kemudian orang tua mencabut laporan, dengan alasan sang anak sudah diterima.
Pertanyaan yang sama: lalu dari mana kemudian nama anak-anak yang diterima di jalur prestasi tersebut masuk? Padahal, jika tidak meranking ulang, berarti ada penambahan siswa di luar kuota, dengan anak yang sudah lolos sebelumnya.
Sebenarnya tidak masalah jika memang sekolah masih memiliki kursi untuk menampung siswa khususnya mereka yang memang memiliki hak sesuai prosedur. Namun, penyelesaian masalah tanpa mengikuti prosedur pun tidak bisa dibenarkan.
Jika dalihnya, oh ada yang tidak mendaftar ulang di jalur non reguler, sehingga masih ada kursi makanya bisa dimasukkan. Kalau saya melihat lagi aturan pada petunjuk teknis (juknis), kursi kosong pada jalur non reguler dialihkan ke jalur reguler atau menggunakan NEM.
Karena yang menjadi kekhawatiran adalah menyelesaikan masalah dengan masalah baru.
Sayangnya pihak orang tua pun begitu mendapatkan haknya, menganggap selesai begitu saja. Tanpa melihat sebenarnya masih ada yang salah dalam pemberian haknya.
Jadi apakah keadilan di mata masyarakat semata atas hak yang sudah terpenuhi saja? Apakah kemudian caranya benar atau salah tidak jadi acuan?
Tidak juga lupa, ternyata kasus titip-titipan hingga jual kursi nyatanya masih terjadi.
Permen Baru
Cerita sebelumnya hanyalah salah satu dari contoh kasus sebagai respon publik terhadap Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan aturan baru (zonasi) ini.
Seperti diketahui, bahwa pada tahun 2017 ini, sekitar Mei 2017 lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RepubIik Indonesia mengeluarkan Permendikbud baru terkait proses PPDB 2017/2018. Sistem zonasi yang kemudian ditonjolkan dari Permendikbud 17 Tahun 2017 tersebut. Bukan lagi asal lokasi sekolah yang menjadi syarat untuk memilih sekolah lanjutan namun kini disertai Kartu Keluarga (KK).
Jadi baik jalur reguler dan non reguler (prestasi, miskin dan jalur lingkungan lokal) memiliki tambahan syarat berupa KK. Sementara itu kehadiran jalur baru, yakni jalur lingkungan lokal, diberikan kepada masyarakat yang memiliki akses terdekat ke sekolah dan dalam satu kecamatan.
Namun rupanya aturan baru ini menjadi menarik dengan kekisruhan yang muncul. Hal tersebut menjadi tanda bahwa masyarakat merespon kebijakan pemerintah.
Tak Sesuai Sosiologis?
Salah satu satu orang tua yang mendaftarkan anaknya pada PPDB 2017/2018 gelombang II menilai bahwa Permendikbud No 17 Tahun 2017 telah bertentangan dengan UU No 23 Tahun 2014 yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah.
Di mana seharusnya setiap siswa di Bali dapat mendaftar SMA dan SMK manapun di Bali sebagai otonomi pengelolaan SMA dan SMK di level provinsi. Pria asal Batu Bulan ini mempertanyakan mengapa Permen tersebut tidak menjadikan UU No 23 Tahun 2014 tersebut sebagai rujukan hukum.
Lebih lanjut Ia menyayangkan bagaimana aturan Zonasi pada Permendikbud 17 Tahun 2017 ini tidak melihat kondisi lapangan. Di mana setiap daerah memiliki kultur dan karakteristik berbeda.
Khususnya di Bali, dari aspek sosiologis, bagaimana masyarakatnya terikat dengan adat. Walaupun tinggal di Denpasar, namun masih ada kewajiban adat di tempat tinggal asalnya yang menyebabkan mereka tidak mengganti kartu keluarga (KK)-nya.
“Secara sosiologis masyarakat Bali terikat dengan adat. Tiang dari tahun 2010 tinggal di Denpasar, tapi masa harus ganti KK, sementara masih ada kewajiban adat di kampung. Aturan Zonasi ini menurut Tiang tidak punya argumen Yuridis dan Sosiologis,” ujarnya.
Di sisi lain, karena kurangnya pemahaman akan aturan baru tersebut, banyak juga orang tua mempertanyakan mengapa sang anak dengan NEM tinggi tidak lolos di jalur reguler. Hal tersebut tak lain karena KK yang tak memenuhi syarat. KK Gianyar, namun mendaftar di jalur reguler di Denpasar.
Permen Dilabrak Pergub
Seperti diketahui proses PPDB 2017/2018 ini memicu berbagai polemik. Khususnya dengan aturan zonasi sesuai Permendikbud No 17 Tahun 2017 terkait PPDB. Akibatnya, Pemprov Bali menelurkan Pergub baru, seizin Kemendikbud RI, yang digadang-gadang untuk menyelamatkan siswa-siswa yang tercecer pada PPDB Gelombang 1.
Dari Pergub No 40 Tahun 2017 itulah kemudian dibuka PPDB Gelombang 2.
Pesannya agar para siswa miskin tetap mendapatkan sekolah. Tentu saya setuju. Apalagi di daerah dengan kantung kemiskinan minim sekolah. Namun, ternyata jalur yang dibuka tidak hanya untuk miskin saja begitu juga untuk prestasi dan reguler.
Tapi kemudian apa Pergub tersebut memperbaiki keadaan? Atau menimbulkan kekisruhan baru, pada sekolah swasta salah satunya.
Seperti pada Pasal 9 dan 10 Pergub No 40 Tahun 2017, di mana untuk menampung siswa dari PPDB 2 ini, sekolah negeri boleh melakukan double shift, menambah siswa per rombongan dan menambah rombongan belajar.
Sementara itu pihak swasta bertanya, bagaimana nasib mereka dengan masih dibatasinya jumlah per rombongan belajar yang mengacu pada Permendikbud 17 Tahun 2017.
Pemerataan
Sesungguhnya Permen tersebut sendiri ideal hanya saja tidak melihat kondisi lapangan. Tujuan Mendikbud sendiri dengan meneken Permendikbud 17 Tahun 2017 adalah pemerataan pendidikan untuk semua siswa dan lebih lanjut mampu menghilangkan label sekolah favorit.
Label sekolah favorit sendiri sesungguhnya ciptaan masyarakat. Di mana mereka yang memiliki anak dengan tingkat akademis dan berprestasi bagus berlomba-lomba memasukkan ke satu sekolah. Sehingga kemudian sekolah tersebut karena berisi anak-anak yang dinilai pintar, yang kemudian menjadi “rujukan” sebagai sekolah favorit.
Dengan Permen tersebut sesungguhnya bisa melihat kualitas sekolah sesungguhnya. Jika benar-benar diterapkan, dengan input (siswa) seragam, sekolah akan berupaya bagaimana membuat manajemen terbaik yang bisa mengeluarkan output (lulusan) yang baik baik dari sisi akademis, prestasi, skill dan karakter.
Namun sesungguhnya dengan tujuan pemerataan kualitas pendidikan yang dimaksud dari Permendikbud 17 Tahun 2017 sendiri seharusnya tidak hanya dari sisi pemerataan siswa saja. Hal ini baiknya dimulai dengan pemerataan kualitas SDM (tenaga pengajar), sarana dan prasarana, penunjang kegiatan operasional di setiap sekolah.
Apakah hal tersebut sendiri sudah merata, ini pun menjadi pertanyaan publik. Baru dari sana kemudian dilakukan sosialisasi. Ini pun harus dilakukan jauh-jauh hari, sekali lagi jauh-jauh hari, agar publik tahu dan paham dan meminimalisir konflik seperti yang terjadi kemarin. [b]