Oleh Seira Tamara dan Bram Wasito
Petani dan pengepul muda bermunculan di sentra kopi arabika Bali, Kintamani. Ternyata kopi Kintamani lebih diburu pembeli luar Bali, walau cafe-cafe trendi makin menjamur di kawasan itu.
Bulan Mei telah tiba. Waktunya para petani di kebun dataran tinggi menyambut hasil panen kopi. Desa Mengani, salah satu kawasan Kintamani penghasil kopi arabika di Bali. Rata-rata pekerjaan masyarakatnya adalah bertani. Hamparan kebun kopi jadi pemandangan pertama jika mengunjungi daerah Kintamani Barat ini. Seperti hamparan kedai kopi yang bermunculan di pinggir jalan Denpasar, apakah keberadaannya memberikan imbas positif ke petani lokal?
Pada awal Juli lalu, kami berkesempatan untuk datang ke Desa Mengani di Kintamani dan berbincang bersama orang-orang yang berkecimpung dalam rantai proses kopi. Salah satunya adalah I Kadek Punia Atmaja yang akrab disapa Dek Pong, seorang petani muda di Mengani, Bangli. Petani kopi kelahiran tahun 1993 yang mengolah kopi di Desa Mengani. Kami berbincang dengannya di tengah kebun kopi miliknya.
Selain kopi, pohon jeruk juga sangat mencolok keberadaannya di kebun tersebut. Bukan tanpa sebab, hal ini dikarenakan pohon kopi memerlukan tanaman yang menaunginya, dan di desa tersebut pohon jeruklah yang dijadikan sebagai tanaman penaung. Sehingga ketika masuk ke kebun, kita dapat melihat banyak buah jeruk berwarna hijau dengan semburat kekuningan yang masih tergantung di pohon. Tidak hanya digunakan untuk bercocok tanam. Ada pula beberapa ekor ayam yang tampak cukup gemuk berkeliaran serta dua ekor sapi di kandang mereka.
Lahan seluas 500m² itu ditanami 500 pohon kopi dan dapat dikerjakan seorang diri.
“Satu orang?” tanya kami mengkonfirmasi.
“Iya.”
Hanya pada saat pemangkasan pohon barulah banyak orang dipekerjakan karena memangkas 500 pohon sendirian akan memakan waktu yang terlalu lama.“Idealnya pohon kopi itu tingginya sebahu orang dewasa.”
Dengan asumsi setiap pohon kopi panen 5kg ceri merah. Maka Dek Pong bisa panen 2,5 ton dalam satu tahun. Harga ceri merah saat ini sekitar Rp8.500/kg. Jika semua hasil panen 2,5 ton tadi dijual dalam bentuk ceri merah, nilainya hanya Rp21.250.000. Sementara jika diolah, 5kg ceri merah dapat menghasilkan sekitar 1kg kopi HS (hard skin).
“Hama nggak begitu banyak sih, cuma tantangan utamanya penggerek batang,” terangnya. “Sekali kena langsung mati pohonnya.”
Citarasa Jeruk
Di Desa Mengani, sapi masih dilihat sebagai produk investasi yang terpercaya. Ketika seseorang baru saja menerima uang banyak, dia cenderung akan berinvestasi dengan membeli sapi dan sapi itu kemudian akan dijual ketika dia membutuhkan uang.“Setiap yang punya lahan biasanya memiliki ternak 2-4 ekor sapi,” tutur Dek Pong.
Namun kontribusi sapi kepada pemiliknya tidak hanya terjadi di kala sang pemilik membutuhkan uang. Selama dalam pemeliharaan, kotoran sapi dikumpulkan untuk dijadikan pupuk organik bagi lahan perkebunan sang pemilik.
“Nanti setelah enam bulan dikumpulkan, kotorannya ditebar di lahan pertanian,” tambahnya. “Kami nggak pernah pakai pupuk kimia.”
Meski pohon jeruk Kintamani tumbuh di antara pohon-pohon kopi, petani dua anak ini meyakini rasa kecut yang menjadi ciri khas kopi Kintamani bukan berasal dari tanaman peneduh tersebut. “Di Lampung (kopinya) juga ditanam dekat jeruk. Tapi nggak rasa jeruk.”
Menurutnya ada tiga kriteria yang membuat kopi Kintamani memiliki cita rasa khas tersebut. Pertama adalah tingkat keasaman tanah di daerah Kintamani, lalu varietas kopi yang ditanam, dan terakhir proses pengolahan kopi Kintamani itu sendiri.
Trial and Errorr Meracik Rasa Agar Konsisten
Menyoal motivasi Dek Pong memilih jadi pelaku pengolah kopi, ia menuturkan bahwa ia melihat adanya peluang dan permintaan pasar. Ia bercerita ingatannya dulu bahwa kopi Mengani pernah booming berkat seseorang bernama Pak Hendarto yang membawa kopi Mengani ke Istana Negara. Hingga ia didatangi seorang konsumen dari Jakarta untuk minta dicarikan sample kopi. Pasca itu, banyak orang yang menghubungi Dek Pong dan menanyakan dari mana ia mendapat sample kopi tersebut.
Permintaan yang silih berdatangan, memotivasi Dek Pong untuk mulai melakukan perlakuan pada biji kopi. Berbekal saran dari temannya, ia melakukan serangkaian proses pada kopinya. Banyak percobaan ia lakukan, namun rasa kopi yang dihasilkan masih belum konsisten.
Menopang percobaannya yang kesekian kali tidak konsisten, Dek Pong akhirnya mengikuti training dari orang Korea. Penyedia training adalah salah seorang juri dalam kompetisi barista. Dalam training tersebut, Dek Pong mendapat banyak belajar tentang pengolahan kopi full washed.
Memberi Nilai Tambah pada Kopi Melalui Pengolahan
Dek Pong menjelaskan bagaimana tata cara pengolahan kopi yang dilakukannya. Pertama, kopi dalam bentuk red cherry yang telah dipanen dikumpulkan lalu ditimbang. Proses penimbangan ini dilakukan sekitar pukul 7 malam. Setelah itu, kopi dimasukan ke dalam alat yang bernama pulper. Alat ini berfungsi untuk memisahkan kulit cherry dengan bijinya. Proses ini menghasilkan biji dalam bentuk HS (hard skin) yang masih basah.
HS yang masih basah tadi kemudian dialihkan menuju bak penampungan atau bak fermentasi. Pada proses ini, dilakukan fermentasi dengan total waktu selama 36 jam yang akhirnya menghasilkan full washed. Setelah itu direndam, lalu dicuci dan kemudian ditampung untuk dibawa ke tempat penjemuran.
Kopi full washed harus melewati proses penjemuran selama kurang lebih satu sampai dua minggu untuk mendapatkan kopi dengan kadar air 12%. Proses penjemuran ini berbeda-beda bagi tiap jenis kopi. Terdapat kopi dengan jenis honey yang tidak melalui proses fermentasi terlebih dahulu.
Jadi pasca melewati proses dari mesin pulper, kopi tersebut langsung dijemur sehingga kulitnya masih mengandung kadar gula. Saat terkena sinar matahari, kandungan gula tersebut akan terkaramelisasi. Jika kandungan gula hasil karamelisasinya tinggi, maka akan menjadi black honey. Sedangkan jika kandungan gula hasil karamelisasinya rendah, akan menghasilkan red honey. Guna menghasilkan kopi jenis black dan red honey, proses penjemuran biasanya dilakukan pada pukul 1 atau 2 siang.
Ketika kopi yang sudah dijemur telah memiliki kadar air sebesar 12%, selanjutnya kopi tersebut akan masuk ke proses huller. Pada proses ini, dilakukan pemisahan kulit ari pada kopi. Terdapat dua mesin yang digunakan dalam proses huller, yaitu mesin untuk kopi jenis honey dan full washed yang dijadikan satu, serta mesin untuk kopi jenis natural. Pembedaan mesin untuk jenis kopi tersebut dilakukan karena kopi natural memiliki biji yang lebih keras.
Proses huller akan menghasilkan kopi dalam bentuk green bean. Kulit ari dari kopi yang sudah dipisahkan melalui proses tersebut, juga tidak langsung dibuang karena masih memiliki manfaat sebagai pupuk. Tahap selanjutnya yang dilakukan oleh Dek Pong dalam mengolah kopinya adalah grading. Setelah melakukan proses grading, maka kopi akan disortasi. Pada proses ini, biji yang bagus dan yang pecah akan dipisahkan. “Kalau sudah expert, bisa dapat 12 kg biji yang bagus,” ujar Dek Pong.
Tak cukup melewati serangkaian proses yang panjang untuk mendapatkan hasil akhir yang maksimal. Cara penyimpanan kopi juga harus dilakukan dengan benar untuk menjaga kualitas kopi tetap baik. Dek Pong menuturkan bahwa semua kopi di Kintamani yang diletakan di Gudang, harus diberikan plastik. Sebab suhu ruangan lebih dingin dari pada suhu di dalam wadah plastik.
Ekspor Kopi Dibatasi Birokrasi
Agar kopi dapat dinikmati oleh konsumen, tentunya ada satu proses lagi yang tidak kalah penting yaitu pengiriman. Dek Pong sudah beberapa kali mengirimkan kopi olahannya ke luar negeri seperti Singapura. Ternyata harga plastik yang menjadi wadah untuk mengemas kopi yang akan dikirimnya lebih mahal harganya dibanding harga kopi itu sendiri.
Ia menjabarkan bahwa plastik yang digunakan seharga Rp30.000 per buah dengan kapasitas 40kg. Jika mengirim kopi ke Singapore sebanyak 100kg, pembeli harus membayar senilai total Rp22.000.000 dengan rincian Rp10.000.000 untuk kopinya, dan Rp12.000.000 untuk biaya pengiriman.
Beruntungnya, konsumen Dek Pong tidak pernah mempermasalahkan biaya yang tinggi untuk pengiriman kopi. Namun mereka umumnya menginginkan kepastian waktu soal kapan kopi bisa diterima. Hal ini yang menjadi kendala bagi Dek Pong karena untuk mengirim kopi ke luar negeri, ia harus mengurus sejumlah birokrasi di Dinas Perindustrian. Tak jarang, birokrasi yang dilaluinya sangatlah lama. Ia bisa menunggu kurang lebih satu bulan untuk karantina produknya sebelum akhirnya mendapatkan nomor izin.
“Terkadang juga jika kami melakukan follow up ke dinas, jawabannya tidak jelas, sekarang saya datang lalu disuruh untuk coba datang lagi minggu depan, itu juga belum tentu beres,” keluh Dek Pong.
Kopi Kintamani adalah salah satu produk lokal Bali yang diekspor dan memiliki tiga grade utama yang menentukan harganya. Masing-masing grade juga sudah memiliki pasar dan destinasi di mana produk itu akan dikonsumsi nantinya. Yang pertama adalah specialty yang merupakan kopi grade terbaik dan kuantitasnya cenderung terbatas. Kopi Kintamani specialty cenderung diekspor dan sudah memiliki konsumen loyal di Australia dan Jerman. “Ada juga Korea yang semakin minat specialty,” terang Kadek Pong.
Melalui penelusuran di situs internet dapat ditemukan bahwa kopi Kintamani yang dijual oleh toko bernama LandDelikat yang berbasis di kota Barth, Jerman dipatok €9,90 (sekitar Rp167.500) untuk satu paket seberat 250g. Sementara di toko online Coffee Plant yang berbasis di Korea 1kg kopi Kintamani normalnya dipatok harga ?15.500 (sekitar Rp195.000). Di situs department store Tangs, satu paket kopi Kintamani seberat 200g dipatok S$7,30 (sekitar Rp77.500).
Menurut Dek Pong, untuk di Bali sendiri kafe-kafe di sekitar Canggu yang biasanya menyediakan kopi Kintamani kualitas specialty. Lalu di bawah specialty terdapat grade premium. Produk kelas ini biasanya dijual ke daerah-daerah lain di Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung, serta diekspor ke Singapura.
“Yang premium dari segi kualitas hampir mirip sama specialty, tapi harganya lebih rendah,” jelasnya.
Dia menambahkan untuk di Bali kafe-kafe di Sanur cenderung membeli kopi Kintamani dari grade premium ini dan yang diolah secara full washed.
“Full washed harganya lebih rendah.” Sementara mayoritas kopi yang kita, di kalangan masyarakat Bali, konsumsi berasal dari grade asalan, grade kopi dengan harga yang paling rendah.
“Untuk membedakan kopi tubruk yang specialty dari yang premium atau asalan, pertama lihat buihnya. Kalau kopi tubruk ada buihnya itu pasti premium atau specialty,” ungkapnya.
Dampak Pandemi
Fenomena yang terjadi di Brasil tetap harus ditanggapi dengan kehati-hatian. Menurut grafik Trading Economics, meski harga kopi dunia tahun lalu terlihat cukup stabil dengan harga lima tahun terakhir ia sempat turun saat pandemi Covid-19 mulai berdampak pada permintaan komoditas di seluruh dunia tahun lalu.
Dek Pong menuturkan tahun lalu ada permintaan 8 ton kopi diolah secara honey, kopi yang diproses sehingga rasanya manis dan berciri khas buihnya yang tebal. “Tahu-tahu ditutup, nggak bisa keluar,” kisahnya. “Sekarang green bean jenis honey tersisa banyak.”
Dia menuturkan bahwa tidak ada perjanjian tertulis di antara dirinya selaku petani sekaligus penjual dengan pembeli. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang membahas syarat-syarat sahnya suatu perjanjian pun tidak melarang adanya perjanjian berbentuk lisan.
Hanya saja jika terjadi sengketa di antara para pihak, penyelesaiannya menjadi lebih rumit karena tidak ada ketentuan bagaimana penyelesaiannya apabila hal yang bersifat force majeure seperti Covid-19 atau gagal panen terjadi.
“Kami hanya menanam. Nanti pasar yang akan datang. Kami tidak tahu tentang perubahan-perubahan seperti ini.”
Dek Pong juga sempat khawatir jika ada kenaikan permintaan pada tahun ini. Dalam keadaan tersebut, stok yang dimilikinya bisa saja habis jika dia tidak terus berproduksi sebagai dampak pembatalan tahun lalu.
“Bahan baku ini harganya mahal,” tuturnya akan dilema yang dihadapinya. “(Tapi) kalau (kopinya) distok empat bulan saja, uang kami nggak jalan.”
“Kalau bantuan pemerintah, nggak ada.”
Seingatnya, dia hanya mendapatkan bantuan berupa peningkatan kapasitas kopi yang menggunakan dana desa dua tahun lalu berupa bibit, cangkul, dan gunting pemangkas, serta sosialisasi tentang organisme pengganggu tanaman (OPT). Saat ini Dek Pong sedang rehat sejenak dari profesinya sebagai pengolah kopi dan kembali fokus di bidang pertanian. Ia mengakui bahwa pandemi Covid-19 menjadi salah satu penghambat yang menjadikan pasar kopi lesu.
“Untuk saat ini lebih baik kita tidak jual dari pada tidak menutupi biaya produksi. Karena untuk pasar lokal saja, pembayarannya agak susah karena dilakukan enam bulan sekali, sedangkan kita juga harus bayar tenaga kerja yang melakukan sortir,” terang Dek Pong.
Kurang Menjual di Kampung Sendiri
Dek Pong mengamati bahwa meski Kintamani dan sekitarnya adalah daerah penghasil kopi, namun mayoritas coffee shop di Batur dan Kintamani cenderung menggunakan kopi Jawa, Mandailing, dan Gayo.
“Kenapa nggak kopi Kintamani ini yang dipasarkan, ditonjolkan di kampung sendiri?”
Pernyataan yang dilontarkan oleh Munir, pemilik coffee shop di Denpasar yang kami wawancarai, terkait fenomena kurangnya animo terhadap kopi lokal Bali di Denpasar ternyata juga berlaku hingga ke daerah penghasil kopi di Bali. Dia mengatakan bahwa kopi dari Bali lebih dicari oleh orang-orang di luar Bali, sementara orang-orang di Bali mencari kopi yang ditanam di luar Bali.
Biji kopi yang berasal dari Desa Mengani secara otomatis mendapat perlindungan indikasi geografis sebagai kopi Kintamani sehingga bisa dipasarkan sebagai produk dengan ciri khas tersendiri dan dapat ditarik harga premium. Namun hal tersebut sepertinya belum cukup membuat pengunjung ke Bangli untuk ingin menikmati kopi Kintamani langsung di daerah asal produksinya.
“Kalau kopi Kintamani menonjol, kan berimbas ke petani dan masyarakat sini,” ucapnya penuh harap.
Pemain Baru di Tengah Pandemi
Bayu, anak muda yang baru saja kehilangan pekerjaan di kapal pesiar akibat pandemi kini jadi pengepul kopi di desanya, Mengani. Ia kedatangan seorang tamu pemilik kedai kopi di Denpasar. Orang tersebut bertanya tentang kopi namun Bayu tidak bisa menjelaskan karena tidak banyak informasi yang dia ketahui tentang kopi. Akhirnya dari situ Bayu menghubungi kawan-kawannya untuk meminta informasi dan masukan mengenai kopi.
Setelah dua minggu, pemilik kedai kopi tersebut datang lagi dan meminta sample kopi. Mereka kemudian sepakat untuk membahas sistem kerja sama yang mana Bayu menjadi supplier kopinya, dan pemilik kedai yang akan menjualnya di Denpasar.
Bulan September hingga November adalah masa memasarkan kopi yang telah diolah. Sedangkan masa panen, pengumpulan, dan pengolahan dilakukan pada bulan Mei hingga Agustus. Saat mengumpulkan kopi dari petani, Bayu yang berlakon sebagai pengepul rupanya tidak menentukan harga sendiri. Ia mengatakan bahwa ia mengikuti harga pasarannya saja. Jadi ketika di Kintamani sudah ada harga pasaran tertentu, maka seluruh pengepul akan mengambil kopi dari petani dengan harga yang sama.
Sebagai pemain baru dalam dunia kopi, Bayu mengakui bahwa salah satu tantangan terbesarnya adalah soal pengetahuan mengenai kopi.
Ia merasa bahwa pengetahuannya soal kopi masih sangat kurang. Namun Bayu didukung dan dibantu oleh teman-temannya yang sudah lebih berpengalaman. “Kalau sudah berkecimpung di dunia kopi, pasti akan punya banyak teman. Dari kelompok inilah akan saling support, dan saling bertukar banyak informasi,” ungkapnya. Karena masih merasa terkendala dari segi pengetahuan, Bayu belum berani menjadi penyedia kopi ke banyak tempat. Saat ini ia hanya menjadi pemasok untuk dua kedai kopi yang berada di Denpasar dan Kintamani.
Seperti halnya Dek Pong, sebagai pendatang baru dalam pengolahan biji kopi Bayu memperhitungkan perputaran pengeluaran yang diperlukan seorang pengolah kopi. Ia juga sekaligus mengumpulkan hasil panen kopi di Mengani.
Ketika biji kopi selesai dipanen, satu per satu petani membawa hasil panen ke rumah Bayu. Panen kali ini, Bayu mengambil 100kg gelondong merah seharga Rp8.000/kg. Dengan kondisi dalam 1kg tersebut tidak semuanya grade 1. Gelondong merah dan campuran itu akan masuk proses sortasi dan pencucian. Pada proses ini, Bayu melibatkan tenaga bantuan.
Dalam mengolah satu kwintal hasil panen ini, Bayu melibatkan 1 orang saja. Ia memberikan upah sebesar Rp8.000 untuk proses sortasi 1 kg untuk satu orang. Ditambah Rp60 ribu sebagai biaya harian. Sehingga untuk proses pengolahan Bayu mengeluarkan Rp68 ribu/hari sepanjang proses pengolahan kopi dari Mei sampai Agustus.
“Untuk proses sortasi karena masih manual jadi selesainya tidak menentu, tergantung mood kerjanya. Proses ini membutuhkan ketelitian, dan penglihatan yang cermat,” ungkap Bayu yang tidak pernah mematok pekerja dengan target dalam sehari.
Setelah proses sortasi, kopi disimpan dan diberi label sesuai grade. Proses selanjutnya seperti roasting, kemudian diolah sampai jadi bubuk dilakukan oleh Bayu sendiri. Kira-kira untungnya kalau di grade 1, ada di kisaran Rp20-25 ribu. Berbeda lagi kalau grade yang lain. Penentuan harga kopi, Bayu mengikuti perkembangan harga pasaran di daerah Kintamani.
Sebagai pengepul sekaligus pengolah kopi, sebelum pandemi Bayu bisa menghabiskan sekitar 10 kg green bean selama seminggu.
Ia memasok keperluan coffee shop di Denpasar. Namun, pembatasan akibat pandemi menyebabkan ia tak lagi bisa memperhitungkan berapa bahan baku coffee shop itu akan terjual.
Meski kondisi tidak menentu, panen tahun ini ia menyangrai satu kuintal untuk satu minggu. “Itu tidak hanya untuk memasok yang ke Denpasar saja, tapi sudah termasuk untuk dijual ke masyarakat sini,” katanya.
Kalau di Mengani, puncak panen biasanya jatuh di Bulan Juni-Juli. Namun panen sudah bisa dilakukan sejak Mei hingga Agustus. Sampai bulan kedelapan, kopinya sudah habis. “Sehingga kita ngolahnya dari bulan Mei sampai Agustus. Lalu bulan September sampai November itu masa kita jual barangnya.”
Bayu mengolah menjadi dua bentuk. Yaitu, green bean dan bubuk. Kalau bentuknya green bean, tahan 3 bulan. Sedangkan bubuk kualitas penyimpanan paling baik adalah berkisar satu bulan. “Saya menghitung-hitung, jika dalam satu bulan habisnya 10 kg, maka saya harus menyetok minimal 70 kg dan selama 6 bulan saya tidak mengolah,” ucapnya menyiasati penjualan yang tak menentu.
Saat tulisan ini sedang dikerjakan, produsen kopi terbesar di dunia, Brasil, tengah mengalami gelombang dingin yang tidak lazim terjadi meski bulan-bulan ini memang musim dingin di mayoritas wilayah Negeri Samba. Salju bahkan turun di beberapa daerah yang belum pernah mengalaminya. Mungkin perubahan iklim semakin menunjukkan taringnya.
Fenomena cuaca ekstrem tersebut telah merusak banyak kebun kopi di Brasil dengan perkiraan hingga 10 persen tanaman gagal panen. Hal ini jelas berdampak pada harga kopi global yang sudah mengalami kenaikan dan mencapai puncaknya pada 26 Juli lalu seharga US$207,80/lbs sebelum stabil di kisaran US$174/lbs hingga US$176/lbs di awal Agustus.
Kondisi kopi di Bali, menurut satu pohon kopi yang berumur empat tahun dapat menghasilkan 4-6 kg gelondong merah saat panen. Kopi varietas kopyol hanya panen raya dua tahun sekali, tetapi hasil panen kopi varietas Kolombia-Brasil (atau kerap disingkat Kobra) lebih konsisten setiap tahunnya.
“Kalau (umur pohon kopinya) sepuluh tahun, hasilnya lebih banyak. Bisa 10 kg, 14 kg,” tuturnya. Masih butuh waktu beberapa tahun sebelum produksi kopi di Brasil dan harga kopi dunia bisa kembali stabil. Itu pun dengan asumsi tidak ada anomali lain yang dapat semakin mengganggu stabilitas harga kopi dalam beberapa tahun ke depan. Ini bisa jadi peluang bagi produsen-produsen kopi lainnya, tak terkecuali bagi petani-petani kopi di Indonesia, termasuk di Kintamani.