Oleh Anton Muhajir
Gde Aryantha Soethama tak mau berpaling dari pengembangan sastra Bali modern. Maka, ketika mendapat hadiah uang tunai Rp 100 juta pada Khatulistiwa Literary Award (KLA) November lalu, Aryantha ingin mengembalikannya pada pengembangan sastra Bali modern. Dia ingin membeli mesin cetak dengan hadiah tersebut. “Agar teman-teman (sastrawan) di Bali bisa mencetak buku dengan harga murah,” katanya pekan lalu.
KLA merupakan penghargaan tahunan yang digagas Richard Oh, pemilik QB World Book sejak 2001. Goenawan Mohammad dan Linda Christanty termasuk dua wartawan cum-sastrawan yang pernah mendapat penghargaan tersebut. Tahun lalu, buku kumpulan cerpen karya Aryantha Soethama Mandi Api dinyatakan sebagai terbaik pertama bersaing dengan, di antaranya, Filosofi Kopi karya Dewi “Dee” Lestari. Di bidang puisi, kumpulan karya Dorothea Rosa Herliany, Santa Rosa sebagai terbaik pertama.
Mendapat penghargaan di bidang sastra, Aryantha Soethama ingin mengembalikannya pada pengembangan sastra Bali. Mesin cetak yang akan dibelinya, menurut Aryantha, untuk menambah dua mesin di percetakan Prasasti O miliknya di daerah Pedungan, Denpasar. Dengan mesin cetak lebih banyak dan bagus, Aryantha berharap bisa mencetak buku lebih murah. Sebab, mahalnya biaya cetak buku memang jadi salah satu masalah sastrawan di Bali saat ini.
Namun masalah mendasar dalam dunia perbukuan di Bali, menurut pria kelahiran Klungkung, 15 Juli 1955 ini, adalah kurangnya minat orang Bali untuk berusaha di bidang percetakan. “Orang Bali yang kaya lebih tertarik berinvestasi di bidang pariwisata karena hasilnya dianggap lebih jelas,” katanya. Hal ini ditandai dengan maraknya pembangunan fasilitas pariwisata dibanding membuat usaha grafika, sebagai salah satu pilar pengembangan sastra di Bali.
Atau, lanjutnya, kalau toh punya uang, orang Bali lebih memilih menghabiskan uang itu untuk keperluan upacara. Upacara yang sebenarnya bisa dilakukan dengan sederhana kemudian dijadikan mewah. Padahal maknanya sama. “Sekarang malah orang Bali berlomba-lomba invasi bikin pura ke luar Bali,” ungkap Aryantha. Karena terlalu sibuk dengan pariwisata dan upacara itu tadi, orang Bali tidak terlalu peduli pada sastra.
Padahal, menurut Aryantha, Bali memiliki tradisi sastra kuat. Teks sastra itu tersimpan pada lontar-lontar kuno yang dibuat jauh sebelum Eropa mengenal karya sastra seperti William Shakespeare. Karya Arjuna Wiwaha misalnya mengandung cerita-cerita rakyat yang bahkan dijadikan pegangan hiudp karena kandungan filsafatnya. Cerita-cerita itu lebih banyak disampaikan pada orang lain melalui oral, bukan teks. Menurut Aryantha penggandaan sastra Bali memang lemah sejak dulu.
Saat ini, sastra Bali tersebut masih dengan dipelihara cara mekidung atau dharma gita. Kidung dan kakawin berisi cerita rakyat maupun filsafat hidup itu sering diperdengarkan di radio atau TV. Menurut Aryantha hal ini sebagai bukti kemampuan pelaku sastra Bali untuk bernegosiasi dengan modernitas.
Sayangnya potensi sastra yang luar biasa itu tidak diikuti dengan penggandaan yang baik. Salah satunya ya karena orang Bali malas terjun di usaha grafika yang menerbitkan buku. Kalau toh ada usaha grafika mereka lebih menerbitkan brosur, poster, dan semua sarana promosi pariwisata Bali.
Aryantha memilih berbeda. Dia mendirikan percetakan yang lebih banyak mencetak buku meski juga menerima pesanan cetakan lain. Dia mendirikan usaha percetakan sejak 1991. “Karena hobi saja,” kata suami Ni Suryani tersebut. Aryantha memang senang menulis, membuat desain, dan mencetak. Namun hal lebih besar yang ingin dia lakukan adalah menyadarkan orang lain bahwa Bali juga kaya dengan teks. “Banyak teks yang bisa diangkat untuk industri buku,” kata Aryantha. Sayangnya teks-teks itu tidak ada yang mengurus. Buku-buku tentang Bali justru lebih banyak ditulis oleh orang luar Bali, terutama warga negara asing.
Buku cetakan Prasasti O sebagian besar menggunakan bendera Penerbit Arti Foundation, yayasan di bidang penggalian dan pengembangan seni Bali. Selain penerbitan, yayasan ini juga melakukan pengembangan seni dan sastra Bali itu melalui pementasan, dialog, penelitian, dan pameran. Karena itu buku terbitan Arti Foundation lebih banyak buku-buku karya sastra atau seni Bali. Aryantha lebih banyak menerbitkan bukunya sendiri di Arti Foundationl. Misalnya Basa Basi Bali (2002), Bali is Bali (2003), Bali Tikam Bali (2004), dan Bolak Balik Bali (2006). Untuk itu dia melakukan semuanya sendiri. Mulai merancang kemasan, mengedit isi, hingga menjajakannya ke toko buku.
Sekali cetak buku dia mencetak 400 hingga 500 eksemplar. Menurutnya tiap bulan buku karyanya bisa laku antara 10-15 eksemplar. Karena itu dia membantah pendapat bahwa orang malas baca, apalagi beli, buku. “Buktinya toko buku makin bertambah. Buku Habibie (maksudnya kesaksian BJ Habibie menjelang pemberhentiannya) dan (novel) Harry Potter laku keras sampai saya susah mencari di toko buku,” ujar bapak dua anak ini.
Menurut Aryantha laku tidaknya buku dipengaruhi isi, kemasan, dan promosi. Tiga hal itu yang masih jadi masalah di Bali. Pertama buku di Bali kurang memperhatikan isi seperti materi atau editan. Kedua kemasan pun dibuat kurang menarik pembaca. Ketiga promosinya pun kurang.
Semua buku karya Aryantha adalah kumpulan tulisan, esai maupun cerpen. Tak hanya diterbitkan penerbitnya sendiri, kumpulan cerpen Aryantha juga diterbitkan Kompas. Beberapa cerpennya juga masuk kumpulan cerpen terbaik Kompas. Materi yang disajikan Aryantha dalam esai maupun cerpen cenderung kritis terhadap persoalan Bali. Dia tak hanya mendeskripsikan, tapi juga mengambil sikap. Masalah yang dia tulis selalu “nyambung” dengan tema aktual di Bali, terutama masalah-masalah adat, pariwisata, dan modernitas. Bisa jadi karena latar belakangnya sebagai wartawan.
Pengabdian Aryantha pada sastra Bali modern sudah dimulai sejak remaja. Ketika masih sekolah menengah dia sudah rajin menulis puisi, cerpen, prosa, laporan perjalanan, dan karya jurnalistik. Dia ikut mendirikan Pers Mahasiswa Akademika Universitas Udayana Bali. Dia juga mendirikan media harian Karya Bakti. Pernah pula jadi pemimpin redaksi harian Nusa.
Di harian Nusa, yang kini berganti nama jadi Nusa Bali, Aryantha menentukan muatan hingga rubrikasi. Salah satunya esai harian di rubrik Secangkir Kopi. Rubrik ini berganti jadi Nusa Ning Nusa dan terbit tiap minggu. Aryantha jadi penulis tetapnya. Dia intens, tidak hanya menulis tapi juga, mengumpulkannya. Dari kumpulan esai itu lahirlah buku Bolak Balik Bali. November tahun lalu, buku ini meraih penghargaan dari Departemen Pendidikan Nasional sebagai Buku Berbahasa Indonesia Terbaik Kedua.
Meski karya-karyanya sudah mendapat penghargaan di tingkat nasional, Aryantha masih menyimpan mimpi. Dia ingin sastra Bali makin disenangi generasi muda. Sebab, menurut Aryantha, sastra Bali saat ini diisi orang-orang itu saja. Generasi yang intens pada sastra Bali saat ini masih generasi 1980an seperti Mas Ruscitadewi, Oka Rusmini, dan Cok Sawitri. Generasi setelahnya belum terlalu terlihat. Antar generasi pun tidak nyambung.
Aryantha juga ingin agar banyak orang Bali yang peduli pada pengembangan sastra dan seni Bali. Sebab hampir tidak ada orang yang kaya karena pariwisata kemudian peduli pada penyembangan sastra Bali. Menurut Aryantha jangan-jangan hal ini terjadi karena orang pariwisata memang tidak mengurus hal lain di luar pariwisata. Atau malah mereka tidak punya intelektualitas di luar masalah yang mereka kelola sehari-hari.
Atau bahkan inilah ciri khas orang Bali, tidak bisa berpikir lintas sektoral. Ini juga bisa dilihat dari malasnya orang Bali untuk keluar dari Bali. “Orang Bali seperti “dikutuk” –dalam tanda kutip- untuk tetap di Bali,” ujarnya. [+++]
-tulisan ini pernah dimuat The Jakarta Post. Lupa kapan muatnya-
Suatu saat tiang ingin bertemu, dan belajar banyak tentang sastra Bali…:-)
saya sudah baca, beberapa buku dr bapak aryantha soetama, isinya menarik,ringan, dan benar-benar hasil riset yg serius membuka wawasan saya ttg kondisi bali saat ini.
Sekedar informasi.
aryantha soetama pada bulan mei 2015 ini akan hadir sebagai pembicara bersama Budi Darma dalam workshop cerpen kompas 2015. Untuk informasi bisa melihatnya dihalaman kami http://balievent.info
Ty ingin mengoleksi buku karya bapak gde aryantha soethama yang sudah dibubuhi tanda tangan asli dari penulisnya apakah itu mungkin