Cerita pahit getir usaha kecil menengah di Bali.
Kesuksesan para pegiat usaha kecil dan menengah di Bali ternyata diawali dengan pengalaman getir. Mereka melalui hidup dengan penuh perjuangan. Mimpi untuk merengkuh kesuksesan selalu mengiang dalam keseharian hidup.
Memelihara mimpi itulah yang menjadi pemandu hidup mereka. Jalan terbuka. Berbagai kesempatan kemudian hadir silih berganti. Ketika kita melihat mereka sukses hari ini, dibaliknya penuh dengan cerita perjuangan.
“Ape jemak gae to kau urek,” sindir seorang krama (anggota) banjar kepada Yande suatu waktu.
Pekerjaan yang dipilihnya dianggap remeh karena selalu mengeruk buah kelapa untuk diambil tempurungnya. Usaha rumah tangga yang dilakukan awalnya berada di lingkungan banjar.
Banyak keluhan ketika itu ia dapatkan. Salah satunya tetangga di banjar yang tidak nyaman karena genangan air selalu meluber hingga ke pinggir jalan. Situasi seperti ini merugikan masyarakat lain. Bau busuk air kelapa yang menggenang membuat para tetangga mulai menunjukkan sikap tidak suka.
Namun, Yande bersama dengan adik dan keluarganya tetap bekerja dan berusaha untuk mengurangi genangan air kelapa di halaman depan rumahnya. Perlahan namun pasti ia mulai memikirkan untuk pindah ke tempat lain. Semuanya tercapai karena usaha batok kelapanya berkembang dengan pesat ketika itu.
Sindiran kau urek ini masih membekas hingga kini. Ledekan itu Yande jadikan motivasi untuk semakin jengah (semangat) terus berjuang dalam hidupnya. Perlahan-lahan, pesanan datang silih berganti.
Ia dan istrinya berhasil menabung dan membeli tanah yang lebih luas di sekitar desanya. Tanah ini ia rencanakan untuk tempat tinggal juga gudang seluruh kegiatan usahanya. Ia juga bermimpi dengan tempat barunya ini, ia bisa mendidik anak-anak muda untuk menekuni usaha batok kelapa dengan serius.
Perlahan tapi pasti, kini, cita-citanya itu mendekati kenyataan. Yande dengan tangan terbuka menerima kunjungan dari berbagai pihak yang ingin belajar tentang usaha batok kelapanya. Tidak hanya yang berasal dari Bali, tetapi juga dari daerah lain yang melakukan studi banding. Yande juga menyiapkan kamar-kamar untuk bermalam selama proses belajar di rumahnya.
Ngacung
Kini kerajinan batok kelapa bernama “Yande Batok” sudah terkenal hingga ke luar negeri. Siapa menyangka juga jika sebelum memiliki workshop seperti sekarang, ia melalui jalan berliku merintis usahanya. Yande mengakui bahwa awal mula terjun ke usaha batok kelapa ini karena begitu banyaknya kelapa di daerah mereka di Banjarangkan, Klungkung ketika itu.
Yande bersama dengan adiknya merintis usaha batok kelapa ini dengan tujuan untuk memanfaatkan potensi yang besar dari buah kelapa tersebut. Pada tahun 1997, Yande mendapatkan ide awalnya dari adiknya untuk coba memanfaatkan kelapa yang berlimpah untuk dijadikan kerajinan tangan. Pada saat itu harga kelapa adalah Rp 1.000 per tiga butir.
Tahun 1997-1998 adalah masa-masa awal dan sulit dari perjuangan Yande bersama adiknya untuk merintis usaha batok kelapa ini. Pada tahun-tahun ini, ia berjuang untuk mengenalkan produknya dan mencari pelanggan. Yande dengan mengendarai Vespa membawa empat tas plastik yang berisi contoh-contoh kerajinan batok kelapa yang diproduksinya.
Ia ngacung (menawarkan barang) ke daerah pariwisata Kuta. Masuk dari satu toko ke toko lainnya tanpa mengenal lelah. Hasil kerja kerasnya itu adalah ia berhasil mengenalkan barang produksinya dan mendapatkan langganan baru. Ini adalah langkah awal yang baik pada saat itu untuk memperkenalkan produk batok kelapanya kepada masyarakat.
Yande menuturkan bahwa masa-masa ngacung itu adalah masa terberat dalam hidupnya. Pada masa ngacung inilah titik balik dari kehidupannya. Ketegarannya untuk terus mencari order (pesanan) akhirnya perlahan-lahan membuahkan hasil.
Contoh-contoh produk batok kelapa yang diproduksinya perlahan mulai dikenal oleh publik. Pada saat ngacung di Kuta itulah ia mendapatkan pesanan dari seorang yang tidak dia sangka sebelumnya. Yande mengaku sering menawarkan dagangannya di kawasan Kuta, terutama di sekitaran Toko Joger yang terkenal saat itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa suatu saat nanti Mr. Joger yang menjadi pemilik dari Joger akan membeli hasil kerajinannya.
Yande mengisahkan pada suatu hari ia menawarkan kerajinan batok kelapa miliknya kepada sesorang yang berdiri di depan Joger. Saat itu memang hari keberuntungannya. Tanpa Yande menyangka, laki-laki yang ia hampiri itu kemudian memesan barangnya ratusan buah. Sungguh ia sangat senang sekali.
Yang membuat Yande makin semringah adalah Mr. Joger, yang ia baru ketahui belakangan mengatakan bahwa potongan yang ia dapatkan hanya 2 persen, tidak 10 persen seperti penjual yang menaruh barang di Joger. Saat ini usahanya sudah maju dan berhasil untuk membuat Gudang dan rumah baru serta menyerap tenaga kerja di desanya.
Pesanan pun hadir silih berganti. Kini, bekerja sama dengan pemerintah dan Perusahaan Angkasa Pura, ia mengenalkan kerajinan batok kelapa hingga keluar negeri. Pemerintah juga semakin terbuka dan selalu mengajak Yande untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan pembinaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) kerajinan tangan di Klungkung maupun di Bali secara umum.
Tidak hanya sampai di Bali. Yande juga membuka pintu workshopnya bagi pegiat-pegiat UKM yang ingin sungguh-sungguh belajar di tempatnya.
Limbah
Jika Yande fokus untuk “hanya” menggunakan batok (tempurung) kelapa untuk memproduksi kerajinan, tidak demikian yang dilakukan oleh Endy Suryanta. Anak muda ini justru secara cerdik melihat limbah kelapa yang tidak dipergunakan.
Selama ini yang menjadi prioritas memang hanya tempurung (batok) kelapanya. Sementara bagian yang lain, meski sudah dimanfaatkan, namun tetap tidak maksimal. Celah inilah yang dilihat Endy untuk kemudian memutar otak untuk menjadikannya bernilai guna.
Limbah batok kelapa yang biasanya hanya digunakan untuk kayu bakar tersebut disulap oleh Endy Suryanta menjadi berbagai kerajinan tangan yang cantik, bermanfaat, dan juga bernilai ekonomis. Dengan kerajinan limbah batok kelapa ia bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah. Hal itu berawal dari banyaknya limbah batok kelapa yang berada di sekitar rumahnya (Lihat “Endy Sukses Olah Limbah Batok Kelapa”, Tribun Bali, 12 Agustus 2019).
Endy memulai usahanya sejak tahun 2017 di Tabanan. Ia mengumpulkan batok-batok kelapa yang sudah tidak terpakai lalu dibuat menjadi produk mangkok, gelas, hingga lampu hias. “Supaya batok kelapa tidak terbuang sia-sia, saya berpikir kenapa tidak dipakai untuk kerajinan saja,” ujarnya.
Kini setelah usahanya mulai berkembang, ia mulai melangkah maju untuk membuka pasar. Ia melakukan produksi dan pemasaran produknya sendiri. Oleh sebab itulah ia aktif untuk mengikuti pameran dan promosi lainnya. Hal ini ia lakukan untuk mencari peluang mempromosikan produknya.
Harga kerajinan tangannya juga bervariasi dari mulai dari Rp 5000 sampai dengan Rp 5.800.000. Bahkan sekarang juga ada hiasan meja yang laku terjual Rp.7.800.000. Apabila dalam sebulan penjualannya ramai, Endy mengaku bisa meraup keuntungan bersih sampai Rp 6.000.000 per bulan.
Ke depannya ia ingin terus berkarya dengan menghasilkan berbagai bentuk kerajinan tangan yang unik dan tentunya bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. “Siapa tahu ke depannya bisa memotivasi adik-adik yang lain untuk berkarya dan semoga batok kelapa tidak lagi hanya dipandang sebelah mata,” ungkapnya (Lihat “Endy Sukses Olah Limbah Batok Kelapa”, Tribun Bali, 12 Agustus 2019).
Kisah Yande dan Endy bisa menjadi cermin bahwa hal yang tampak remeh dan tidak berguna di sekeliling kita bisa menjadi peluang besar.
Kau urek, adalah sindiran pejorative (merendahkan) yang diterima Yande pada awalnya. Namun, sekarang ia bisa dengan kepala tegak mengatakan bahwa dengan kau meurek lah ia bisa sukses seperti sekarang. Yande juga selalu mengingatkan kepada anaknya bahwa apa yang mereka lihat sekarang adalah berkat jasa kau (tempurung kelapa).
Sindiran kau urek membuatnya jengah dan kemudian bangkit berjuang dalam hidupnya hingga bisa sukses seperti sekarang. [b]