Garuda Wisnu Kencana (GWK), patung setinggi 121 meter dengan Wisnu sebagai ikonnya menjulang di kawasan Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Perhelatan G20 mengusung GWK sebagai lokasi jamuan makan para pejabat negara. Sejak itu, nama GWK kian mentereng. Seiring dengan cita-cita awal I Nyoman Nuarta, seniman dibalik Patung GWK.
“GWK akan jadi bukti bahwa kita berdaulat di bidang kebudayaan, dan kita harap kiblat kebudayaan dunia itu akan terjadi di GWK Cultural Park, karena di sini tidak hanya ada patung, tetapi juga forum-forum kebudayaan dunia,” katanya melalui keterangan resmi, Rabu (25/10/2017), dikutip dari pemberitaan Bisnis Indonesia.
Kami mengadakan survei sederhana dengan pertanyaan sederhana. Apakah GWK sudah jadi landmark Bali seperti ide awalnya? Sertakan alasannya ya. Kami akan mengulasnya. Survei yang diadakan di Instagram @balebengong pada Jumat (15/09) ini menghasilkan grafik sebagai berikut.
Pilihan Ya, Tidak, dan Belum pada survei tersebut menunjukkan pilihan Tidak sebesar 57 persen. Belum sebanyak 24 persen dan Ya, 19 persen. Salah satu responden memberikan komentarnya.
“Landmarknya bukannya Krisna oleh-oleh ya klo buat wisatawan lokal? Jdi kyk “blm ke Bali kalo belum masuk krisna”. Mungkin karena rate nya yg kurang masuk untuk lokal ya GWK. Atau yg anak2 hype itu landmarknya jdi ke beach club daerah canggu, uluwatu, melasti,” tulis akun @kadeksastrawan.
Sebenarnya apa sih landmark itu? Kalau menurut Kai-Florian Richter, peneliti bidang bangunan dan perkotaan mendefinisikan landmark sebagai titik acuan dalam merepresentasikan mental spasial, dimana berfungsi untuk membangun koneksi antara tempat yang satu dengan lainnya dan mempermudah dalam menemukan suatu tempat.
Intinya, landmark adalah sesuatu yang dapat diingat dari suatu daerah. Richter juga membagi lagi beberapa 3 pemahaman dari landmark.
- Landmark sebagai suatu objek atau struktur yang mudah dilihat dan dikenali.
- Landmark sebagai suatu bangunan atau tempat yang memiliki peran penting dalam sejarah.
- Landmark merupakan suatu hal yang penting, seperti event atau pencapaian.
Lantas, dari ketiga pemahaman landmark itu, GWK tergolong yang mana? I Gde Agus Darma Putra, akademisi yang getol meneliti tentang kebudayaan Bali ini menjelaskan bahwa ada banyak sisi dalam melihat GWK apakah sudah menjadi landmark bagi Bali. Apabila dari segi pengarcaan dan kosmologi tata ruang, tidaklah tepat. “…Wisnu di sebelah selatan jelas tidak benar karena seharusnya dia di utara, kalau dari segi pengarcaan,” ungkap Darma.
Lelaki yang memperoleh Penghargaan Sastra Rancage 2018 ini mengungkapkan bahwa ada banyak titik bersejarah yang seharusnya diperkenalkan lebih luas dan menjadi landmark Bali. Beberapa situs bersejarah di Gianyar berupa candi maupun arca yang usianya telah berabad-abad lamanya, seperti Pura Hyang Tiba maupun Pura Canggi.
Darma juga menyebutkan lokasi lainnya yang berpotensi sebagai landmark tidak hanya sebatas pada patung saja. Baginya, situs bersejarah lebih layak menjadi landmark di Bali. “Sekarang masalahnya kita memetakan pariwisata tidak berdasarkan itu tapi berdasarkan oh ini ada gunung tertinggi ada upacara Eka Dasa Rudra, selain itu tidak ada yang membahas dari sisi lainnya,” jelas Darma.
Selama ini Darma memandang, Pemerintah Provinsi Bali sekarang sibuk memperkenalkan wacana Sad Kertih yang bersumber dari sastra lama. “Itu (Sad Kertih) kan diproduksi berdasarkan sumber sastra lama, tapi anehnya hal-hal lainnya tidak diekspos dan hanya bertumpu pada sesuatu yang baru saja,” ungkap Darma.
Harga Tiket Mahal
Ini bukan kabar kemarin sore, mahalnya tiket GWK bagi warga lokal adalah rahasia umum. Wisatawan lokal/domestik dikenakan tiket seharga Rp125 ribu. Sedangkan untuk wisatawan mancanegara dipatok seharga Rp375 ribu. Terkadang pihak pengelola GWK memberikan diskon, menjadi Rp115 ribu untuk wisatawan lokal dan Rp300 ribu untuk wisatawan mancanegara.
Pengalaman saya sebagai warga Bali mengunjungi GWK terasa hambar. Bagi beberapa wisatawan lokal yang jarang melihat tarian Bali seperti ngelawang maupun tari kecak akan terpukau. Namun, saya berusaha menjaga senyum saya, lantaran saat itu saya pergi bersama seorang teman dari luar Bali. Saya mempertahankan air muka saya agar senantiasa penuh senyuman, sebab Ia sangat ingin mengunjungi GWK.
Ragam tari dan seni pertunjukan yang ditampilkan di GWK terbilang lumrah. Harga tiket dengan apa yang didapatkan terasa tak sepadan. Namun, kala itu teman saya tetap tersenyum lebar dan saya hanya bisa menimpali.
Tak hanya saya, seorang pengunjung yang tak ingin disebutkan namanya ini mengaku sebagai warga lokal dirinya merasa tiket masuk GWK tidaklah terjangkau. “Makanya kalau dibandingkan mendingan saya disini,” jelasnya saat sedang berjalan-jalan di pasar malam yang berada di gedung tak terpakai kawasan Plaza Amata, Ungasan, Badung.
Wacana soal mahalnya tiket GWK telah ada sejak tahun 2018, saat GWK baru dibuka. Saat itu, harga tiket masuk orang Indonesia Rp80 ribu per orang (dewasa) dan Rp60 ribu per orang (anak-anak) sedangkan wisman Rp125 ribu per orang dan Rp150 ribu per orang. Sedangkan, harga tiket tersebut telah naik.
Menurut Darma, Bali bukanlah pendatang baru dari segi potensi pengembangan candi dan situs bersejarah lainnya. Perlu pemerataan pengembangan potensi pariwisata tanpa harus membuat lagi tempat-tempat baru. Hal lainnya seperti kemudahan akses mencapai titik lokasi landmark yang membuat Bali wilayah selatan penuh akan bangunan. Sedangkan wilayah potensial landmark lainnya kurang diperhatikan lantaran letaknya jauh dari lokasi strategis seperti salah satunya bandara.
Penting bagi sederet pihak membangun ekosistem pariwisata yang otentik khas Bali, Darma mengungkapkan caranya dengan membagi potensi berdasarkan masanya dan mengemasnya dalam arah pariwisata intelektual. “Bali tidak hanya sebagai konsumsi pariwisata tentang estetika, tapi juga keilmuan intelektualitas di Bali tidak hanya pariwisata budaya tapi pariwisata intelektual,” jelasnya.
Rupa-rupa GWK
Saya mencoba menikmati GWK dengan cara berbeda, masih di Jalan Garuda Wisnu Kencana, sebelum parkir GWK, di sisi kanan jalan terdapat gedung tak terpakai dengan cat bernuansa putih. Sore hari, pukul 17.00 WITA satu per satu para pedagang mulai menempati lapak masing-masing. Lapak itu bukan di dalam gedung, melainkan di luar gedung terbengkalai.
Saya mendekat ke lapak Komang Santi (28) menjual berbagai makanan ringan dan minuman kekinian. Santi baru dua minggu bekerja di lapak yang bernama Candy’ss itu. Makanan ringan yang disuguhkan beragam, mulai dari tahu bulat, jamur crispy, kulit ayam, tahu walik dan pisang coklat. Minuman kekinian juga tersedia untuk melepas dahaga seperti alpukat kocok, es milo, es cappucino cincau, es bubble gum, es taro, es red velvet, dan es matcha.
Perempuan asal Singaraja itu berujar menyambut saya. “Mbaknya pembeli kedua hari ini,” ujarnya sambil melempar senyum. Sempat bingung, akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada minuman andalan mereka, es alpukat kocok.
Mendengar pesanan saya, tangan cekatan Santi mengambil daging buah alpukat dan meletakkannya dalam sebuah gelas plastik, bahan lainnya pun menyusul seperti es susu vanila. Santi bertanya pada saya, pelengkap yang akan saya pilih antara milo atau keju. Saya mantap memilih keju. Segelas es alpukat kocok itu diberi harga Rp12 ribu dengan ukuran gelas yang cukup tinggi berukuran sekitar 12 cm.
Tak hanya Santi, penjual makanan lainnya bersemangat melayani setiap pembeli yang datang. Ada pula lapak pedagang lainnya, seperti pedagang bakso, seblak, martabak telur, dan berbagai jenis minuman. Santi mengaku kondisi di tempatnya berjualan tak dapat ditebak. “Kadang sepi kadang ramai, kalau rata-rata pembeli jarang ada dari dalam GWK, pasti dari luar,” ujarnya sambil menunjuk arah datangnya kendaraan di Jalan Garuda Wisnu Kencana.
Melangkah ke sisi kanan, anak-anak berlarian dengan gembira. Gelak tawa mereka diselingi dengan kayuhan sepeda, terkadang pelan terkadang mengebut. Gusti Andika (32) tampak sibuk membuka lapak dagangannya yang penuh warna, sebab dirinya adalah penjual mainan anak-anak. “Saya sudah hampir 3 tahun berjualan disini, ” ujar Gusti sambil menata mainan yang tergantung di gerobak sepeda motornya.
Kesehariannya, Gusti tak hanya berjualan lahan kosong yang disewakan Pengelola GWK. Pagi hari, Gusti berjualan keliling dengan sepeda motornya. Menjelang malam, Gusti membuka lapaknya di lahan kosong tersebut.
Selang 10 menit kemudian, seorang bapak, ibu dan anak perempuannya ingin membeli sebuah mainan berupa dispenser kekinian berbentuk beruang. Gusti menjualnya seharga Rp85 ribu.
Saya mengamati dengan seksama, si ayah menawar dengan harga Rp70 ribu, Gusti menolak. Si ibu semakin nekat, menawar hingga harga Rp50 ribu. Si ayah merayu agar anaknya membeli mainan lain saja, akhirnya mereka memilih bola mainan, apabila diinjak akan lompat.
Mainan itu masih ditawar, menurut Gusti harga yang ditawarkan pembeli memang terkadang tak masuk akal.”Ya sering ada yang nawar kebangetan, tapi tidak apa-apa selalu bisa dibicarakan sampai cocok harganya untuk dia dan saya,” ungkap Gusti.
Hampir 10 tahun Gusti mencari nafkah sebagai penjual mainan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya yang ada di Banyuwangi. Bapak satu anak ini biasanya membeli mainan untuk dijual kembali di salah satu distributor mainan di Denpasar. “Dulu saya jualan di Nusa Dua tapi karena banyak juga yang jualan gini, saya akhirnya pindah, kesini,” ungkap Gusti.
Berjualan di lahan dekat Jalan Garuda Wisnu Kencana bukan berarti tanpa biaya. Meskipun pedagang dengan lapak kecil, Gusti harus membayar uang sewa harian kepada pengelola lahan. Sewa harian pada hari kerja, Senin sampai Jumat dipatok seharga Rp10 ribu sedangkan sewa harian pada Sabtu dan Minggu dipatok seharga Rp25 ribu.
Apabila diestimasikan, dalam hari kerja Gusti harus membayar 200 ribu per bulan dan pada hari Sabtu dan Minggu perhitungannya sama, yaitu 200 ribu per bulan. Tak hanya itu, Gusti juga harus membayar uang sampah sebesar Rp60 ribu. Total yang harus dibayar Gusti setiap bulannya adalah Rp460 ribu.
Namun, penghasilan Gusti tak menentu. Dirinya terbiasa berhemat apabila pendapatan tak sepadan dengan modal yang telah diupayakan. Penghasilan tertinggi Gusti berada di angka Rp3 juta per bulannya, itu jarang terjadi. Meskipun begitu, menjual mainan anak-anak tetap dilakoni Gusti. Alasannya sederhana, dirinya bahagia melihat para pembelinya bermain ceria karena barang dagangannya.
Pembeli berlalu lalang mengunjungi lapak Gusti, ada yang membeli tanpa menawar. Ada pula yang menawar dengan sengit dan pergi berlalu apabila harga tak sesuai penawaran. Langit malam kian pekat, lampu hias menyala terang. Alunan lagu dangdut dan lagu anak-anak saling bersahutan,, mencirikan pasar malam ini adalah idaman semua kalangan.