Oleh Anton Muhajir
Dua anak perempuan itu menyerbu kami di tangga menuju bagian paling bawah Pasar Badung, pasar terbesar di Bali. Mereka membawa keranjang kosong di kepalanya. Muka dan pakaian mereka kusam. Dekil. Rambut kemerahan berantakan.
Saya dan tiga teman segera berhenti. Kami melihat ke mereka lalu saling mengangguk. “Ya sudah. Kita ngobrol sama mereka saja,” kata salah satu teman dari Jakarta itu.
Kami keluar dari areal pasar ke tempat lebih sepi. Dua anak itu bersama kami. Lalu satu gadis lagi menyusul. Tiga atau empat ibu juga mengikuti. Kami lalu ngobrol di tepi jalan di depan pasar yang selalu riuh itu.
Gadis-gadis kecil itu, juga para ibu, adalah buruh pasar (tukang suun) di pasar yang menjual kebutuhan sehari-hari tersebut. Bedanya ibu-ibu itu memang sudah waktunya bekerja sedangkan anak-anak itu kerja karena terpaksa.
Saya membantu teman dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Jakarta yang sedang membuat pelatihan legal drafting di Bali. Salah satu agenda pelatihan adalah field trip untuk simulasi legal drafting. Dari tiga isu field trip, aku membantu jadi pemandu untuk isu pekerja anak. Pasar Badung salah satu tujuan untuk isu pekerja anak selain ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bali.
Dan, anak-anak perempuan itu memang masih sangat belia untuk bekerja sekeras itu. Usia mereka ada yang delapan tahun, tujuh tahun, bahkan ada yang kurang dari itu. Namun, mereka harus bekerja mengusung barang belanjaan di atas kepala. “Berat,” kata Ketut, salah satu dari anak itu ketika ditanya tentang bawaan mereka di kepala.
Mereka bekerja 12 jam tiap hari, dari pukul enam pagi hingga enam sore. Kerja 12 jam dan mereka hanya dapat rata-rata Rp 10 ribu per hari. Kalau lagi rame seperti Galungan bisa dapat Rp 25 ribu per hari. “Tapi kan jarang-jarang,” kata Komang, anak yang lain.
Dengan pendapatan rata-rata, katakanlah, Rp 300 ribu, anak-anak itu harus menghidupi diri sendiri. Mereka tidak tinggal dengan orang tua. Tapi kos sama temannya. Ada yang berdua, ada yang bertiga. Maka, pendapatan itu harus dipotong untuk kos sekitar Rp 150 ribu dan makan sehari-hari, tentu saja.
Tapi, ini bukan soal bagaimana mereka menghidupi diri sendiri. Ini tentang bagaimana anak-anak itu kehilangan haknya sebagai anak.
Pertama, anak-anak itu tidak ada yang sekolah sama sekali. Semuanya. Ketika anak-anak seumur mereka sedang gembira saat tahun ajaran baru, -setidaknya itu anak-anak di gang rumahku- anak-anak di pasar itu harus bekerja demi hidup mereka. Mencari orang-orang yang belanja, menawarkan jasa, lalu membawa barang belanjaan itu untuk orang yang mau berbelas kasihan pada mereka. Mereka seharusnya ada di kelas. Duduk manis untuk belajar tentang pengetahuan yang seringkali memang hanya omong kosong.
Bukankah Negara (dengan N kapital) sudah berjanji untuk menanggung pendidikan mereka. Lalu?
Kedua, anak-anak itu seharusnya didampingi wali. Di usia itu mereka harusnya masih merasakan hangatnya dekapan orang tua, becanda dengan keluarga, dan seterusnya. Tapi mereka harus kos sendiri di Denpasar. Sementara ibu, bapak, dan kakak mereka tinggal di Tianyar, Karangasem, salah satu daerah termiskin di Bali.
Ketiga, anak-anak itu bekerja bahkan melebihi jam kerja orang tua. Bekerja harian, kata aturan soal ketenagakerjaan, seharusnya tak lebih dari dari delapan jam per hari. Tapi ini mereka bekerja sampai 12 jam per hari. “Kadang-kadang kerja lagi sampai jam sepuluh malam,” kata anak lainnya.
Keempat, kelima, keenam, mungkin lebih banyak lagi hal yang seharusnya mereka bisa nikmati tapi harus lenyap karena alasan ekonomi. Parahnya, tidak ada satu pun lembaga atau instansi yang peduli pada mereka. Maka, salah satu peserta field trips yang bekerja di Save the Children UK, hanya bisa menggeram.
Dulu, katanya, Departemen Sosial pernah menawarkan program untuk anak-anak telantar di seluruh provinsi di Indonesia. Namun, Dinas Sosial Bali adalah satu-satunya provinsi yang menolak program itu dengan alasan tidak ada anak jalanan di Bali. “Sombong sekali mereka,” katanya merujuk ke Dinas Sosial Provinsi Bali. “Sekarang saya lihat sendiri bagaimana anak-anak itu disembunyikan dari data,” tambahnya.
Usai ngobrol kami pergi.
Seperti biasa, saya hanya bisa menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Saya hanya bisa menulis tentang kalian. Hanya itu yang bisa kubantu untuk kalian.
Oya, pas sampai di rumah dan baca Kompas saya baru tahu kalau Rabu (23/07) ini adalah Hari Anak Nasional. Selamat Hari Anak untuk kalian. Meski aku tidak tahu apa yang harus kalian rayakan.. [b]
dan saya hanya bisa berkomentar…
siapa yang salah? tentu bukan hal yang tepat kalau mencari siapa yang benar dan siapa yg salah, tapi sebaiknya mencari solusi.
Penghuni tanah air Indoensia ini, semua tahu bahwa UUD 45 menyatakan:fakir miskin dan anak terlantar ditanggung negara. kenyataanya malah anak anak semakin sengsara. Beginilah kalau negara dikendalikan penguasa pengusaha. Sudah saatnya semua pihak mengubah perilaku bisnis tidak hanya profit oriented namun lebih kepada welfare and happiness oriented.